Peningkatan jumlah murid dan jumlah sekolah tidak sebanding sehingga masalah zonasi akan menjadi masalah utama apabila hal ini masih diberlakukan.
3. Kecurangan dalam domisili
Ketika lokasi sekolah negeri berada di pusat kota sementara tempat tinggal warga sekarang ini sudah berada di pinggiran kota, Â hal ini membuat ketimpangan bagi warga yang berada di pinggiran untuk bisa akses ke sekolah negeri.
AKhirnya para orangtua melakukan praktek migrasi domisili melalui Kartu Keluarga (KK) Â calon siswa ke wilayah sekitar sekolah yang menjadi tujuan atau sekolah favorit oleh orangtua.
Salah satu teman saya sebagai orangtua juga melakukan hal ini.  Dia  memasukkan nama anaknya ke kartu keluarga  ibunya (yang sudah meninggal)  padahal dia sebagai orangtua tidak tinggal di tempat dekat sekolah itu.
Jika tidak ada keluarga yang berdomisili dekat dengan sekolah, biasanya mereka memalsukan kartu keluarga seperti yang terjadi di Bandung.
4. Minimnya prioritas  bagi anak guru
Di kalangan guru yang  mengajar, mengeluhkan baha PPDB kurang berpihak kepada mereka karena minimnya  kuota prioritas bagi guru yang ingin menyekolahkan anaknya di sekolah negeri dan tempat guru mengajar
Kuota guru hanya diberikan sebagai sisa dan harus mengisi berdasarkan sisa kuota dari  perpindahan tugas .
5. Sekolah melakukan transaksi untuk ketersediaan bangku
Sekoalh melakukan pungutan atau transaksi dengan calon orangtua  jika anaknya mau diterima sebagai PPDB.  Jalur khusus  PPDB ini harus berbayar.
Hal ini pasti terjadi karena kuota yang tersedia sedikit sementara peminta membludak, membuat peluang adanya transaksi  jual beli bangku.
Belum lagi ada "titipan" dari para pejabat yang berkuasa untuk memasukkan anak, saudara dan sebagainya.
6.Minim kuota melalui jalur prestasi
Sebagaimana kriteria PPDB adalah zonasi, usia dan waktu mendaftar,  tidak ada lagi  kriteria prestasi anak yang dipertimbangkan.