Profesi  Pekerja Rumah Tangga atau sering disebut dengan PRT (Pekerja RUmah Tangga) sungguh menyedihakan dan dilematis.
Di satu sisi, hampir tiap rumah tangga di Indonesia membutuhkan sekali PRT . Â Kerepotan suami-istri yang bekerja di luar rumah, ditambah jika telah memiliki anak-anak yang perlu bantuan PRT. Akhirnya para ibu rumah tangga membuat keputusan untuk memperkejakan seorang PRT untuk membantu pekerjaan rumah tangga.
Pekerjaan rumah tangga itu bagaikan pekerjaan yang tak ada habisnya, mulai dari bangun pagi, persiapan untuk makan pagi, persiapan anak sekolah, memasak, membersihkan rumah, mencuci pakaian, menyetrika pakaian, menyiapkan makan siang untuk anak-anak, membersihkan alat-alat makan di dapur, menyiapkan makan malam, membersihkan alat makan di dapur pada malam hari.Ada yang merawat orangtua yang invalid.
Begitu pentingnya peran PRT sehingga ibu rumah tangga bisa "kewalahan" jika para PRT pulang mudik saat Lebaran. Mereka terpaksa pindah ke hotel atau hostel atau ikut mudik karena tidak adanya pembantu rumah tangga.
Di sisi lain, ada kisah-kisah dramatis yang sering sering muncul di permukaan setelah PRT melaporkan kepada Polisi/Yang berwajib.
Kisah dari Siti Khotimah seorang PRT yang jadi korban penganiayaan majikan. Â Muka dan badannya yang telah babak belur karena dipukuli bahkan disulut oleh alat setrika di bagian tangan dan belakang. Â Tangan dan tubuhnya penuh dengan luka-luka, bahkan dia tak bisa berjalan ketika masuk rumah sakit.
Setelah terjadi penganiayaan tidak ada usaha dari pihak majikan untuk membawa Siti ke rumah sakit.   Penderitaan fisik,emosi, psikis dan trauma dialami Siti  dalam usaha untuk mendapatkan gaji dan ekonomi yang lebih baik dari sang majikan.
Bukan hanya Siti yang mengalami kekerasan dari majikan, tapi belasan PRT yang telah mengalami kekerasan tanpa ada payung hukum yang melindunginya. Â Tidak ada keamanan dan perlindungan yang bisa digunakan untuk menghukum majikan.
Menanti Jalan Panjang UU Perlindungan PRT
Hampir 18 tahun profesi PRT harus menanti jalan panjang untuk mendapatkan kekuatan dan jaminan hukum berupa Undang-Undang.
Bayangkan hampir  19 tahun nasib para ART yang jumlahnya cukp besar yaitu 10 juta itu benar-benar terombang-ambing.  Di satu sisi, mereka membutuhkan pekerjaan itu karena kondisi ekonomi keluarga yang tidak baik.  Di sisi lain, pekerjaan yang diberikan atau dipekerjakan untuk ART sangat jauh dari keamanan dan perlindungan.