Rizki seorang yang bermimpi ingin memiliki apartemen. Â Entah apa tujuannya. Jelas dia sudah menjadi salah satu pembeli apartemen Meikarta. Â Dia telah melakukan pembayaran apartemen Meikarta sebesar Rp.260 juta pada tahun 2018.
Namun, dia harus gigit jari karena apartemen yang jadi mimpinya itu tak pernah terwujud dimilikinya.  Janji  dari pengembang untuk penyerahan kunci apartemen tak pernah kunjung datang.
Baginya suatu kerugian besar bukan hanya secara materi saja. Tapi mentalnya sudah sangat lelah karena saat ini mereka yang tergabung sebagai pembeli apartemen Meikarta yang belum juga mendapatkan apartemen  , ketika mencoba untuk berdialog dengan DPR, justru digugat oleh pengembang sebagai tergugat. Â
Cerita lain, Ariesta  Sitepu termangu melihat lahan kosong seluas 1 hektare .Lahan penuh belukar tanpa adanya bangunan yang sedianya akan dibangun apartemen Cimanggis City. Dia sudah menyetorkan 137 juta dan penyerahan seharusnya di awal 2021.
Tegiur atas promo yang sangat menarik di harga Rp.200 juta untuk tipe studio, Â dapat dicicil dari mulai Rp.2,5 jutaan per bulan dan free biaya KPA, Â promosi bahwa akan kenaikan harga dan perkembangan revenue pasti tercapai jika sudah jadi semua.
Pengembang berhasil menjual 50% dari unit tower pertama  dengan nilai penjualan 100 miliar.
Sayangnya, gencarnya promosi itu membuat belasan konsumen tertipu . Sejak 201T8 dan hingga kini  tak ada pembangunan apa pun bahkan kantor marketingnya pun sudah tutup dan tak ada seorang pun yang ada bertanggung jawab.
Kenapa konsumen tergiur  beli apartemen?
Kebutuhan perumahan di kota besar seperti Jakarta dan daerah penyangganya sangat besar sekitar 11 juta unit. Â Namun, kondisi ini tidak sejalan dengan harga tanah yang makin tinggi. Meskipun kondisi covid 19 pun, harga tetap tinggi, di Jakarta mencapai Rp.50 juta per meter persegi sehingga para konsumen terpaksa mencari perumahan berupa apartemen yang dipercaya harganya masih lebih murah ketimbang beli rumah tapak.
Sebelum Covid ,  beberapa pengembang apartemen telah melakukan promosi yang gencar.  Bahkan promosi itu disertai dengan berbagai janji yang menggiurkan seperti  diskon berganda, apartemen dibawah harga 1 milyar dapat dicicil dan langsugn dapat cashback . Promosi ditayangkan di TV nasional secara terus menerus .
Tahun 2017 Meikarta sebagai pengembang apartemen meraih penjualan 16.800 unit dari 225.000 unit. Harga per unit sekitar Rp.200 juta.
Sebelum Covid terjadi, Â konsumen percaya bahwa membeli apartemen pun dapat dianggap sebagai investasi karena iming-iming dari pengembang kenaikan dari pembelian apartemen akan terjadi setelah pembelian. Â BUkan iming-iming kenaikan harga apartemen, tapi juga bisa disewakan dengan harga yang sangat bagus sebagai passive income.
Mangkrak pembangunan apartemen oleh pengembang
Sebagai contoh untuk Meikarta,  mangkraknya pembangunan apartemen  hampir 5 tahun dan berbagai polemic berkenaan hukum (izin proyek hanya 84,6 hektar dari yang dijanjikan 350 hektare), membuat kendala dan berbagai masalah di internal perusahaan hingga menyangkut Bank Nobu selalu bank penagih cicilan KPA yang mengancam konsumen yang belum menyelesaikan cicilannya.
Demikian juga dengan pengembang CImanggis City , hanya menjual maket saja sudah laris manis mendapatkan 50% dari target penjualan. Â Setelah itu pengembang tanpa diketahui konsumen, telah lari tidak bertanggung jawab kepada konsumen , meninggalkan lahan tanpa pembangunan sama sekali.
Aduan dari para konsumen apartemen meningkat
Menurut data Yayasan Lembaga Konsum Indonesia (YLKI), aduan konsumen perumahan selama lima tahun terakhir bergeser tentang aduan hunian vertical atau apartemen.  Jumlah aduan yang makin besar menurut  data dari YLKI aduan untuk apartemen di tahun 2022 totalnya 64 (7,3%) dibandingkan tahun 2021 27 (5%).
Tergiur manisnya janji pengembang, Â menjadi penyebabnya konsumen mudah tertipu .
Pembelian apartemen itu ada dua skema yaitu primer dan sekunder.  Primer artinya pembelian yang belum ada apartemennya  (berupa gambar atau maket saja).
Sekunder artinya  jika pembeli membeli apartemen atau unitnya dari pihak kedua (penjualan kedua) dan apartemennya sudah pasti ada.
Dalam pembelian primer harganya masih murah karena belum terlihat biaya-biaya pengembang dimasukkan sedangkan di pembelian kedua biasanya harga sudah lebih mahal karena semua cost ditambah biaya pembelian pertama dan profit.
Nach risiko pembelian primer inilah yang jadi masalah utama karena  pengembang dalam progresnya tidak tercantum dalam kontrak atau AJB , alhasil pembangunan tersendat, konsumen dirugikan .Â
Pengembang hanya berkutat dengan persentasi dari unit terjual yang belum riil hanya dalam hitungan kertas saja.
Masalah yang dihadapi oleh konsumen jika pembelian unit hunian vertical dengan menggunakan system kredit pemilikan rumah (KPR). Â Jika pengembang mangkir tidak melanjutkan pembangunan, pembelinya tetap harus tetap bayar cicilan, ini artinya merugikan sepihak saja.
Jika tidak bayar cicilannya, konsumen justru dimasukan dalam daftar black list di Bank Indonesia, Sistem Layanan Informasi Keuangan, Riwayat sebagai debitur jadi jelek atau tidak lancar.
Tips melindungi Konsumen Pembeli Apartemen
Teliti sebelum membeli adalah kunci utama sebelum lakukan transaksi apartemen:
1.Luangkan waktu untuk meneliti dan mengecek status lahan baik secara fisik maupun hukum.
2.Apakah dokumen perizinan untuk pembangunan sudah lengkap, izin bangunan , izin peruntukkan ruang atau tanah.  Kelengkapan dokumen ini sesuai dengan  pasal 42 UU No.20 tahun 2011  isinya Pelaku usaha memiliki keleluasaan memasarkan produk sebelum pembangunan berjalan.
Sementara pasal 43 Â mengatakan kewajiban yang harus dipatuhi pengembangan, proses jual beli sebelum rumah susu selesai dibangun, ada pengikatan jual beli (PPJB) dihadapan notaris. Seharusnya PPJB ini dapat dilakukan apabila ada kepastian tentang kepemilikan tanah, IMB, ketersediaan sarana, fasilitas dan sudah berproses 20 persen.
3. Hindari pembayaran tunai karena skema pembayaran bertahap sesuai dengan progress pembangunan. Jadi kalo progress baru 20% yach bayar 20%, lalu progress tambah, baru bayar lagi sebesar progresnya.
Kelemahan Konsumen Pembeli Apartemen
Menurut YLKI Â dalam pembangunan perumahan di Indonesia regulasinya sangat lemah sekali.Selama ini izin dilakukan di tingkat kabupaten atau kota. Â Sebenarnya tidak realistis tetapi harus ada kualifikasi. Contohnya untuk proyek senilai 200 trilin pengeawasannya seharusnya bukan oleh pemerintah daerah.
Pengembang bisa lari mangkrak karena tidak ada skema yang membuat adanya perjanjian pada pembelian hunian yang belum selesai dikerjakan. Â Konsumen atau pembeli harus punya jaminan hunian yang dibelinya akan selesai.
Pemerintah Daerah belum memiliki peraturan daerah (perda) tentang pertelaan. Â Pertelaan dalam hukum property artinya dokumen berisi perincian batas-batas rumah susun yang dapat dimliki secara perorangan, bagian bersama , benda bersama dan tanah bersama beserta NPP (angka perbandingan antara sarusun terhadap ha katas bagian bersama, tanah bersama).
Apartemen tidak bisa menjadi Hak Milik pribadi. Â Beda dengan kepemilikan rumah, kita dapat memiliki rumah sah dengan Hak Milik . Sedangkan untuk apartemen yang punya tanah yang bukan milik pribadi tetapi milik negara, Tanah pengelolaan dan Tanah Hak Milik. Â Status dari tanah jadi acuan status kepemilian pembeli apartemen.
Ada dua status pengelolaan, Hak Guna Bangunan Murni atau Hak Guna Bangunan Hak Milik, jika apartemen dibangun di atas negara status pengelolaannya adalah HGB Murni, sedangkan dibangun tanah hak milik maka pengeloaan adalah HGB Hak Milik. Namun jika pengembang hanya menerima kuasa untuk mendirikan apartemen di phak ketiga maka pengeloaannya jadi HGB HPL.
Rumitnya luar biasa bukan???
Setelah membaca uraian ini , harapan saya , Anda siap mencermati berbagai dokumen pengembang sebagai syarat untuk pembangunan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H