Dua sketsa kehidupan yang saya lihat pada waktu yang bersamaan tetapi beda nuansanya. Ketika pulang dari acara Nangkring bersama Kompasiana dan tiba di Stasiun Tanah Abang, langit mendung menggelayut disertai gelap gulita. Saya sudah khawatir jikalau hujan pasti turun sebentar lagi. Betul juga begitu kereta jalan, tak berapa lama, hujan deras luar biasa dengan petir yang menyambar terlihat dari kaca jendela kereta.
Wah, hujan merupakan dilema meskipun saya bisa turun dengan payung yang sudah siap sedia, tetap saja tidak bisa langsung mencari taksi karena hujannya sangat kencang.Â
Benar juga begitu sampai di stasiun yang dituju, saya turun dengan tas dan baju yang cukup basah, hempasan angin itu tak bisa dihindari.
Begitu sampai di peron stasiun, saya melihat anak-anak yang datang menghampiri, "Bu, bu ini payung besar!" Ujarnya.Â
Saya tak mampu melihat anak yang antusias menawarkan payung sementara dirinya sendiri basah kuyup.
Dia tak peduli dengan dirinya demi uang yang tidak seberapa. Bagaimana dia tak akan sakit karena dia terus menerus kehujanan. Dari menyeberangkan orang ke mal mencari taksi, lalu balik lagi ke tempat orang-orang yang masih menunggu hujan berhenti.
Di antara kerumunan orang yang sedang menunggu itu, saya mendengar pertengkaran seorang anak dengan ibunya.
Anaknya setengah menangis mengatakan, "Wah ibu, gimana saya belum belajar besok Senin ulangan. Ini bahan pelajaran banyak. Ibu tadi katakan Indra harus menemani ibu belanja sebentar saja. Ternyata sampai lama dan sekarang hujan ngga berhenti-henti! Kemarin aku sudah remedial, sekarang ini harus lebih baik angkanya."
Ibunya tak mau kalah menjawab dengan keras, "Sudah, kamu tak usah pusing memikirkan ulangan. Ibu pasti membantumu untuk menyelesaikan soal-soal. Ini ulangannya online kan?"
Jleb, hati saya langsung gelisah luar biasa. Sosok seorang ibu seharusnya bisa mendidik anaknya untuk belajar dengan baik dan menerima kegagalan dengan cara yang baik. Mengapa justru ibu ini mengajarkan anaknya untuk memanipulasi angka dengan membantu anak itu? Pasti tujuannya agar anak ini tidak gagal lagi dalam ulangan yang sudah diulangnya.
Melindungi anak bukan berarti membiarkan dirinya merasa buruk dan kecewa ketika anak itu sudah melakukan yang terbaik.
Banyak orangtua yang seringkali terpeleset dengan berusaha keras melindungi anak agar anak tidak merasa sakit akibat kegagalan.
Orangtua yang protektif itu tanpa sadar justru membuat anak itu tak memiliki rasa daya juang yang tinggi untuk bisa berhasil.
Belajar mengalami kegagalan itu harus dirasakan oleh anak karena kegagalan itu justru mengembangkan karateristik mereka untuk berjuang sampai berhasil.
Dalam pengembangannya perlu diperhatikan bagaimana orangtua bisa mengendalikan beberapa hal, seperti mengontrol emosi, memberikan pemikiran kreatif, dan kemampuan berkolaborasi.
Seringkali anak-anak itu hanya melihat dari tayangan atau dunia perfilman, bagaimana hidup itu enak sekali tanpa harus bekerja keras. Jika tidak berhasil, mereka mudah sekali kecewa dan membuat sakit hati. Di sana tidak ada ibu yang mampu mendorong anaknya untuk mengatasi kegagalan itu dengan mengatakan, "Kamu harus kuat dan kamu pasti bisa."
Berikut ini ada tips yang perlu dilakukan oleh orangtua agar anaknya tidak patah arang ketika mengalami kegagalan.
1.Menjadi pembimbing bagi anak, bukan penyelamat
Ketika anak tidak bisa mendapatkan nilai yang diinginkan, dia merasa terpukul dan menganggap dirinya bodoh.
Sebagai orangtua kita tak perlu menjadi hero, dengan mengatakan, "Kamu itu pintar, kamu belum mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan nilai yang bagus saja."
Katakan dengan bijak, "Nak, kamu perlu berjuang untuk belajar lebih banyak lagi. Ada yang belum kamu kuasai. Jika kamu belajar dengan tuntas, pasti kamu bisa menyelesaikan pertanyaan dengan baik. Kegagalan itu biasa, kamu terus mencoba, kegagalan tidak meruntuhkan duniamu!"
Masukan yang memotivasi sangat membantu anak untuk bisa bangkit dari kegagalannya.
2. Puji anak secukupnya
Pujian tidak perlu berlebihan karena hal ini justru membahayakan bagi dirinya. Anak yang sering dipuji tanpa makna yang penting, justru membuat anak tergantung kepada validasi dari orang lain. Dia seolah berbuat sesuatu  karena punya motivasi untuk mendapat pujian. Selalu mengejar pujian supaya dapat dihargai.
Seorang psikolog mengatakan bahwa kepercayaan diri didapat dari keberhasilan mengatasi kesulitan, bukan dari kata-kata betapa hebatnya anak itu.
Orangtua harus mengatakan fakta yang ada, kegagalan itu wajar. Namun, beritahukan kritik membangun agar dia bisa memperbaiki kegagalan itu.
3. Dorong mereka untuk mencoba hal-hal baru
Ada beberapa anak yang merasa takut untuk mencoba hal-hal yang baru. Ketakutan itu didasarkan takut gagal jika dia mencoba hal yang baru.
Nah untuk mendorong anak bisa mencoba hal yang baru, berikan penjelasan yang detail apa saja yang perlu dipelajari untuk hal yang baru, dia harus mencoba untuk mendapatkan wawasan dan perspektif yang lebih luas. Jangan berhenti untuk tidak mencoba karena takut gagal.
4. Ajari anak untuk bersabar
Setiap waktu gagal, pasti anak sudah kesal dan kecewa karena dia harus mengulang lagi dan membuang waktu.
Sejak masih dini, berikan penjelasan kepada anak bahwa dia harus mampu menahan diri, tidak boleh merasa impulsif, belajar untuk tidak tergesa-gesa.Â
Belajar kesabaran, karena dengan begitu anak bisa merasa lebih dewasa untuk menahan emosi dan tidak perlu kecewa dan rendah diri.Â
5. Kelola ekspektasi pada anak
Jika kita pernah berjanji sesuatu kepada anak untuk memberikan reward jika dia berhasil melakukan sesuatu, maka kita harus evaluasi lagi. Artinya ekspektasi itu akan berbalik arah karena anak akan kecewa ketika kita tak menepati janji kita.
Lebih baik tidak memberikan janji, namun memberikan reward setelah anak itu melakukan sesuatu pekerjaan dengan baik, bukan sebelumnya.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI