Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Gelisah dengan Budaya Toksik Perusahaan

6 Agustus 2022   14:39 Diperbarui: 7 Agustus 2022   12:43 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi lingkungan kerja toksik (Sumber gambar dari parapuan.co)

Fenomena yang saya lihat ketika teman-teman anak dan anak sendiri belum setahun kerja di suatu perusahaan, gelisah untuk ke luar.

Apakah yang dirasakan oleh anak-anak generasi milenial dan generasi Z tentang dunia kerja di perusahaan?

Ketika ingin menjadi karyawan, harapan besar dari karyawan terhadap perusahaan. Dia ingin mendapatkan perusahaan yang nyaman, tingkat kesejahteraan tinggi, jenjang karir yang jelas.

Ketika perusahaan merekrut karyawan, harapan besar perusahaan untuk mendapatkan karyawan yang bisa kontribusi tinggi, loyal, agile, mudah adaptasi, komitmen tinggi, prestasi hebat.

Dalam perjalanan ketika rekrutmen selesai, perusahaan tidak bisa lagi menekan si karyawan, "take it or leave it!".

Budaya ancaman semacam itu tak lagi berlaku karena anak milenial saat ini tak takut lagi dengan ancaman . 

Mereka punya penilaian sendiri tentang konsep "employability" sebuah organisasi yang dapat menjamin hidup sampai tua (bekerja sampai pensiun). Kondisi atau iming-iming seperti itu dari perusahaan sudah terdisrupsi dengan keinginan calon karyawan saat ini.

Sang karyawan yang ingin bekerja sudah punya mimpi bahwa dia ingin bekerja dengan tenang di perusahaan yang punya visi dan misi yang tidak toksik. 

Bagi anak muda saat ini menemukan apa yang diinginkan di perusahaan, dia bisa betah dan mau berkontribusi di perusahaan itu. Bukan lagi masalah "suka tidak suka, kamu harus tetap tinggal di perusahaan!"

Mereka tak takut lagi untuk meninggalkan perusahaan yang diketahuinya sebagai perusahaan toksik.

Ketika banyak yang tak menyenangkan di perusahaan toksik ditemukan, dia secepatnya hengkang, tak berpikir panjang.

Berbeda konsep dengan saya yang "old concept", sebelum meninggalkan perusahaan lama, berpikir panjang plus minusnya untuk ke luar.

Perusahaan Toksik

Lalu, apa indikator dari perusahaan toksik?

Di perusahaan toksik, anak muda sering menemukan praktik "silo-silo", cari muka, sikut sana sikut sini". Bahkan, argumentasi anak saya melihat kondisi toksik di perusahaan, supervisor yang tidak kompeten mencari muka kepada CCO bahwa bukan dia yang salah untuk banyaknya anak buah yang ke luar. Mencari kambing hitam kepada orang lain ketika ada kesalahan pekerjaan.

Sumber: pexels-monstera
Sumber: pexels-monstera

Relasi toksik di perusahaan jadi makin tidak jelas ketika terjadi perseteruan. Ada kelompok A yang mendukung supervisor dan ada kelompok B yang ingin melawan supervisor. 

Relasi toksik diperkuat dengan pemimpin toksik yang mengizinkan budaya komunikasi yang tak bersih. Misalnya ada bullying di grup WhatsApp.

Seseorang karyawan dibully, yang lain ikut membully. Jika ada kesalahan seorang karyawan, lebih baik dia dipanggil secara "one on one" tanpa perlu diketahui oleh yang lainnya.

Pengertian toksik

Pengertian atau konotasi toksik adalah kuat dan keras. Sebaiknya tiap perusahaan tidak menghendaki  label sebagai perusahaan yang toksik. 

Menurut penelitian dari Massachusetts Intitute of Technology (MIT) budaya toksik itu justru jadi penyebab utama karyawan meninggalkan perusahaan.

Sebagai contoh, skandal yang terjadi di Uber, salah satu co-founder, Travis Kalanick yang dipecat karena dia melakukan beberapa tindakan yang tidak etis terhadap pengemudi dan karyawannya. 

Melihat tindakannya, banyak karyawan dan eksekutif yang langsung minta berhenti, Uber menderita kerugian besar atas tindakan semua ini.

Budaya difungsional

Di setiap perusahaan pasti punya visi dan misi yang bagus sekali. Tetapi dalam prakteknya, apakah visi yang indah itu bisa dijalankan sesuai yang tertulis?  

Ternyata banyak budaya difungsional dalam berbagai bentuk dipraktekkan. Adanya perundungan, koalisi tak sehat, hingga praktek ketidakjujuran baik dikerjakan secara nyata maupun virtual.

Atasan sering jadi contoh atau teladan. Jika atasan tidak melakukan yang baik maka siapa pun dengan level apa pun akan melakukan budaya difungsional.

Secara nyata perusahaan difungsional adalah perusahaan yang berkinerja tinggi dan bergengsi dan bangga dengan budaya bekerja tidak kenal waktu.   Hal ini justru membangun budaya toksik bagi karyawan karena memeras waktunya.

Penciptaan budaya toksik dapat terjadi jika perusahaan membangun kinerja berdasarkan "suku", "ras", "tangan kanan" bukan atas dasar prestasi. Apalagi jika perusahaan tidak menyukai orang-orang yang suka mengkritik kebijakan yang tidak benar. Mereka ingin menyingkirkan orang tersebut, sebaliknya menyukai orang yang memuja atasan walaupun tindakannya salah.

Perusahaan yang ideal

Seringkali ketika masuk kerja hari pertama, kita sudah dapat melihat secara kasat mata, seperti apa budaya perusahaan yang dibangun. 

Memang setiap perusahaan bangun kultur yang tidak sampai toksik, tetapi semua generasi milenial dan generasi Z sangat kritis untuk melihat nilai yang dianut di tempat kerja.

Kita dapat menguji nilai yang dianut perusahaan saat praktek dalam kerja di perusahaan, apakah ada sesuatu yang membuat takut bagi karyawan untuk terbuka.

Salah satu cara untuk menghilangkan budaya toksik adalah memperkuat komunikasi organisasi. Suatu sistem "whistleblowing" dengan menjamin anonimitas atau masukan kepada manajemen tentang atasan atau perusahaan.

Biasanya dalam "performance review" ada usulan atau gagasan yang ingin disampaikan tentang perbaikan yang dapat dilakukan untuk perusahaan.

Semua perubahan organisasi dilakukan dengan cermat dan terbuka. Hal ini untuk mencegah terjadinya over reaction dari karyawan. 

Sebaiknya keterbukaan dan kehati-hatian membuat karyawan memahami dan mengerti alasan kuat di balik perubahan itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun