Lahan Gambut menjadi fenomenal karena setelah terjadinya kebakaran yang terjadi di beberapa pulau seperti Sumatera, Kalimantan . Akibat kebakaran gambut bukan hanya asap yang meluas dan merusak kesehatan bagi manusia yang menghirup CO2 , binatang untuk masa sekarang maupun yang akan datang tapi juga kerusakan lahan gambut yang terbakar akan merusak ekosistem .Â
Pada dasarnya gambut itu dapat digunakan sebagai area penyimpan, penyedia hasil hutan dan perkebunan, menyimpan karbon dan rumah berbagai keanekaragaman hayati .
Bagi mereka yang belum pernah melihat lahan gambut seperti saya. Gambut di Indonesia itu adalah material organik yang terbentuk secara alami dari sisa tumbuhan, pohon dan sebagian telah terdekomposisi dan terakumulasi pada rawa dan genangan air. Unsur yang terdapat pada gambut Indonesia mengandung : konten debu sebesar 35%; kedalaman sebesar 50 cm dan karbon 12 wt%.
Pada daerah tropis seperti Indonesia, lahan gambut yang mengandung karbon itu menjadi tantangan bagi timbulnya emisi. Lahan gambut di Indonesia dijadikan target umum ekspansi pertanian, terutama untuk kelapa sawit, karena lahan subur menjadi semakin langka.Â
Ketika lahan dibersihkan untuk perkebunan, gambut itu dikeringkan sehingga melepaskan CO2 ke atmosfer bahkan ada yang membakarnya supaya lebih mempercepat proses.Â
CO2 inilah yang menimbulkan emisi dan menjadi salah satu faktor dalam "Global Warming" atau pemanasan global yang pada akhirnya terjadinya perubahan iklim. Lahan Gambut di Indonesia 22.5-43.5 gigaton kandungan karbon. Bayangkan berapa Emisi karbon di Indonesia?
Komitmen Pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi baik itu dari gas kaca atau emisi karena pembakaran lahan gambut menjadi 26% pada tahun 2020 dan 29% pada tahun 2030 dan 41% jika ada bantuan dari internasional.
Upaya Pemerintah untuk merestorasi lahan gambut yang rusak terkendala karena tidak adanya peta yang akurat. Peta yang dapat dipakai untuk suatu kebijakan Restorasi Ekosistem Gambut Indonesia sangat bervariasi .
"Ada 14 peta dan semua beda-beda, untungnya ada wali data peta tanah dan peta lahan gambut Balitbangtang Kementan. Tapi sayangnya data terakhir tahun 2011 dan belum terbarui," ujar Bapak Budi Satywan Warddjama, Deputi I Bidang Perencanaan dan Kerjasama Badan Restorasi Gambut dalam kesempatan Seminar tentang "Pemetaan Gambut unuk Konservasi" yang diselenggarakan oleh Yayasan Dr.Sjahrir.
Namun, Pemerintah dan stakeholder yang lain tidak boleh menunggu pasif untuk selesainya peta akurat karena kebijakan Pemerintah untuk Peta Gambut untuk konservasi dan restorasi lahan merupakan "urgency " yang harus segera dilaksanakan.Â
Negara lain sudah maju memikirkan teknologi yang maju kita masih berjalan di tempat untuk "poco-poco" . Karena itu, hari ini kita diskusikan bersama, dalam upaya melakukan restorasi dan konservasi lahan gambut.Â