Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[HORORKOPLAK] Di Balik Jendela di Samping Rumahku

7 Januari 2017   14:21 Diperbarui: 7 Januari 2017   16:40 727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku melangkah masuk ke dalam dapur, tetapi ada tangan yang mencengkramku dengan erat dan membantingku ke lantai. Kepalaku terasa sangat nyeri, mataku berdenyut-denyut sehingga aku tidak bisa melihat jelas…

Beberapa hari lalu…

“ Chloe, coba maju ke sini. Bajumu belum rapi tuh,” Aku menoleh ke arahnya. Sambil mengernyitkan dahi, aku pun maju ke depannya. “Kara, aku udah bilang berkali-kali, bajunya nggak usah dirapiin lagi. Sudah enam kali kamu merapikannya, kecuali kalo kamu mau merombak baju ini lagi, lebih baik aku tanggalkan saja…,” Dress-ku ditariknya dengan keras. “Jangan begitu ah, aku lakuin ini buat kamu, bukannya berterima kasih malah marah. Gimana sih kamu,” dia menyibakkan rambutnya yang panjang dan mengehela napas. Aku hanya mengangkat bahu lalu duduk di kursi kayu di sebelahnya.

Kara mengembalikan baju-baju itu ke lemari. Ruangan itu terasa hangat, mungkin karena ukurannya yang kecil dan penuh dengan rak dan lemari tua milik aku dan orang tuaku. Ada banyak barang antik dan tua disini, juga baju-baju formal yang kupakai untuk acara tertentu. “Kamu kok nggak semangat banget buat acara ini. Antusias sedikit kek, ini kan pesta prom, acara terakhir kita di SMP.” Aku melirik Kara yang sudah kembali duduk dan membaca majalah di sofa di sebelahku. “Bukannya aku nggak suka, tapi aku males kalo harus ikut acara yang ribet-ribet. Harus bawa aksesoris inilah, harus pakai baju warna itulah, ugh…harusnya acara prom itu buat senang-senang aja.”

“Ya nggak apa-apalah, toh kan itu cuma buat lucu-lucuan aja. Supaya acaranya tambah seru.” Kara tersenyum simpul sambil membaca majalahnya. “Eh Kar, kamu penasaran nggak dengan kejadian akhir-akhir ini?” “Kejadian apa? Kejadian Sam nggak sengaja makan cacing yang diselipkan Keith? Kejadian Rachel menumpahkan sirop ke bu Marcel?” “Bukan, bukan,” Aku memotongnya. “Kejadian pembunuhan akhir-akhir ini.” Kara terdiam sejenak, tetapi tetap membaca majalahnya.

“Emang sekarang orang-orang lagi menyelidikinya kan. Lagi dicari polisi. Aku sih nggak tahu apa-apa…” Aku maju mendekatkan kursiku ke arahnya.  Suaraku makin mengeras. “Tapi kamu nggak ingin tahu? Pembunuhannya terjadi acak, orang-orangnya tidak ada sangkut pautnya, dan anehnya korban mati dengan cara ‘yang tidak wajar’, yang- “ “ –tidak disebutkan dengan detail oleh polisi dan berita, seolah-olah ditutup-tutupi kan?”  Kara menutup majalahnya, matanya melotot padaku. “Entah sudah keberapa kali kamu mengulang-ulang hal itu, Chloe.” Aku mendengus. “Biar aja, habisnya aku bosan…kelihatannya itu jauuuh lebih menarik daripada prom ini.” Aku merentangkan lenganku yang terasa pegal. Kali ini, giliran Kara yang mendengus. “Lalu? Kamu mau menginvestigasi kasus itu? Gila aja kau.”

Tiba-tiba suara lagu Let Me Be mengalun di ruangan itu. Kara pun mengangkat ponselnya. Setelah berbicara, dia lalu mengatakan padaku kalau dia harus pulang karena sudah sore. Matahari mulai membenamkan diri di antara lautan awan yang terlihat seperti kapas-kapas oranye. Sesekali terlihat kawanan burung berterbangan menyusuri langit. Aku duduk di pinggir jendela ruangan itu. Kadang-kadang aku suka menghabiskan waktu membaca di kamar loteng itu dan memotret dari jendelanya. Rasanya seperti fotografer.

Tiba-tiba aku melihat ada sosok di balik jendela rumah di sebelahku. Aneh, bukannya rumah di sebelah kiri rumahku itu kosong? Setahuku, rumah itu tidak berpenghuni, kotor, dan terlantar. Aku menggunakan scopelensa kameraku untuk melihat lebih dekat jendela itu. Tidak terlihat apa-apa. Aku menunggu, dan membesarkan perbesaran scope itu. Ayo, sedikit lagi, sedikit lagi, sedikiiitt….Dan BAM! Tampaklah wajah seorang gadis berkulit pucat dengan mata kecoklatan. Gadis itu memutar badannya…dan melihat ke arahku.

Astaga. Aku langsung mendekap kameraku dan merunduk di bawah jendela. Aku pasti kelihatan aneh sekali, mengamati orang dengan kamera di loteng seperti ini. Bahkan gadis itu bisa saja mengira aku semacam pengintip atau penguntit. Argh, kenapa aku tidak langsung bersembunyi saja tadi. Namun, rasa penasaran dengan orang itu masih melingkupiku dan aku tidak bisa menahan diri untuk melihat sekali lagi gadis itu. Aku pun meletakkan kameraku dan mengangkat kepalaku perlahan-lahan ke jendela itu. Akan tetapi, si gadis itu sudah menghilang.

Dengan kecewa aku menuruni tangga dan kembali ke kamarku. Mungkin besok aku bisa mengamati jendela itu lagi, dan bisa melihat sosok gadis misterius itu. Keesokannya, sekolah berjalan dengan normal walau ada sedikit kehebohan menjelang perayaan wisuda murid SMP dan pesta prom. Tapi pikiranku sepanjang hari tersita dengan ‘penampakan’ kemarin. Sosok gadis itu terus menyelimuti otakku. Ketika bel berdering, aku segera cepat-cepat berjalan untuk bisa pulang dan melanjutkan pengamatanku. “Hei, Chlooeeeee! Congkak benar kau! Dipanggil-panggil nggak jawab.” Kara menepuk, atau lebih tepatnya, menghajar pundakku.

“Apa tante?” Tanyaku cuek. Kara mengejarku di antara kerumunan orang yang keluar dari gerbang sekolah. “Iihh, udah congkak, judes pula!” Dia menggeleng-gelengkan kepalanya.  “Hari ini kamu sibuk nggak? Mungkin kita bisa bantu-bantu panitia prom,” katanya. Aku pun menolaknya dengan alasan capek dan males. Dia menyahut, “ Ya sayang banget, aku sebenarnya ingin ikut, tapi nggak bisa.” Kami pun berjalan di jalan kecil yang menuju ke perumahan tempat kami tinggal. Letak sekolah tidak jauh dari rumah kami, posisinya berada di dekat pusat kota, di antara toko-toko kecil dan restauran. Tetapi, rumahku terletak cukup jauh dibandingkan yang lainnya karena berada di ujung kompleks rumah sehingga di sekitar rumahku sangat sepi. “Emangnya kenapa kamu nggak bisa?” Aku bertanya tanpa melihat wajahnya. “Ayahku baru pulang dari dinas kerjanya, jadi aku mau membuat persiapan untuk kedatangannya. Pasti dia senang.” Mata Kara berbinar-binar. Ayah Kara memang sangat sibuk, dia sering ditugaskan ke luar kota sehingga jarang berkumpul dengan keluarganya.  

Sambil menyusuri perumahan, aku melanjutkan obrolan kami. “Eh, ayahmu tuh kerja apa sih?” Kara mengulung-gulung rambutnya sambil terdiam sejenak. “Hmm…ya kerja di kantor gitu deh. Aku juga nggak tahu banyak sih,” Dia terdiam lagi. Kuamati wajahnya yang sesaat tidak berekspresi, matanya menerawang tidak berarah. “Oh ya! Kamu nggak inget janjimu untuk mentraktirku kalau kamu dapat nilai bagus?” Tiba-tiba Kara memolototiku dengan matanya yang membulat, membuatku terkaget-kaget. “Err…oh ya, aku lupa. Nanti deh, pas ibuku udah berbaik hati memberiku uang…kutraktir choki-choki. Oke? Oke?”  Sekilas, aku melihat ke arah belakangnya, ke rumah di sebelah rumahku, rumah si gadis misterius.  Sesaat aku melihat gadis itu dan mata kami bertemu. “Halo? Chloee…” Kara meneriakiku. “Chloe, kamu kenapa? Kamu kayak kesambet, tahu.” Aku hanya tersenyum gugup. “Tadi aku lagi bengong. Maklum lagi capek, hehehe.” Kami pun berpisah di depan rumahku.

Malamnya, aku mengamati jendela kamar itu dari loteng. Aku masih terbayang-bayang dengan gadis itu. Sayangnya, jendela itu ditutupi tirai. Aku pun membuka jendela loteng untuk bisa melihat lebih dekat. Tiba-tiba angin bertiup…dan menerbangkan topi yang aku kenakan. Aduh, sial… aku harus mengambil topi itu di rumah ‘angker’ itu. Aku pun mengendap-ngendap menuruni tangga, keluar dari rumahku dan berjalan ke rumah tersebut. Meski sudah mengitari rumah itu berkali-kali, aku tidak bisa menemukan celah untuk bisa masuk. Kret…

Aku pun membalikkan badan, bulu kudukku naik semua karena saking kagetnya. Gadis itu berdiri tepat di depanku, dia keluar dari pintu rumah itu dan berjalan mendekati gerbang yang ingin kubuka. Gaun putihnya panjang membuat kulitnya terlihat lebih pucat saat diterangi cahaya rembulan. “Kamu siapa? Kenapa ada disini?” tanyanya. “A..aku Chloe, aku tinggal di rumah sebelah. Aku ingin mengambil topi yang jatuh di rumahmu,” kujawab dengan lirih. Dia menatapku sejenak lalu membuka pintu gerbang itu dengan pelan. “Cepat masuk,” katanya. Aku pun segera masuk dan pergi ke tempat dimana topiku berada. Rupanya, topi itu tersangkut di semak-semak kering. “Kenapa kamu suka mengamatiku dari jendela itu?” Gadis itu berdiri di belakangku, suaranya kecil tapi halus. Aku merasa merinding mendengarnya, karena mengingatkanku dengan suara-suara hantu yang ada di film horor.

“Aku sering memotret pemandangan dari loteng rumahku, dan kemarin, aku nggak sengaja melihatmu. Rumahmu seharusnya kosong, jadi waktu aku melihatmu, aku penasaran siapa kamu dan kenapa kamu disini.” Aku membalikkan badan secara perlahan untuk melihat raut mukanya. Gadis itu menatapku tajam sambil merapatkan bibirnya yang pucat. Rambutnya yang berwarna gelap terurai agak berantakan. Postur tubuhnya agak mungil, membuatnya tampak seperti lebih muda. “Aku…sebenarnya sudah lama tinggal disini, tapi beberapa tahun lalu aku pindah dan baru sekarang kembali disini. “ Pantas saja aku tak mengenalnya, baru dua bulan ini aku pindah ke kota ini sehingga aku belum mengenal semua orang disini. Aku memberanikan bertanya. “Oh gitu. Aku pikir kamu tuh hantu atau setan jadi-jadian, hehehe.” Wajah gadis itu terlihat kesal. “Enak saja! Aku yang mungil, lucu, dan imut seperti ini dibilang hantu? Mau ku- uaaaa!” Dia tersandung ketika mau mendekatiku.

Seketika, suasana terasa mencair. Kata-katanya yang agak konyol dan tersandungnya dia tadi membuatku mau tertawa. Image misterius, gaib, dan seram yang berpendar-pendar darinya tadi langsung buyar semua. “Kamu mau tertawa ya? Kelihatan banget dari mukamu. Awas ya, nanti kamu kena karma loh gara-gara  menertawakanku,” gadis itu  bangkit berdiri sambil mengusap-usap lututnya. “Ngomong-ngomong, namamu siapa?” Aku sudah malas memanggilnya dengan sebutan gadis itu. “Trisha. Kenapa kamu tersenyum gitu? Udah ngetawain orang jatuh, masih mau ketawain-“ “Namamu unik dan lucu. Aku suka kok,” aku tersenyum simpul. Seketika, wajah Trisha jadi sumringah.

Tiba-tiba terdengar suara dari dalam rumahnya. Ada suara langkah kaki yang keras dan bunyi barang-barang yang digeser paksa. “Kau harus cepat balik. Ayahku kelihatannya terbangun, pasti dia marah kalo melihatmu disini.” Wajah Trisha terlihat panik bercampur cemas. “Besok aku berkunjung lagi ya,” ujarku yang dibalas Trisha dengan senyum. Walau masih merasa penasaran dan dirundungi dengan berjuta pertanyaan, aku pun kembali ke rumahku. Untung aku berhasil mengambil kunci rumah dari kamar orangtuaku tadi, sehingga aku pun bisa masuk lagi dan kembali ke kamarku.

Keesokannya, aku diajak oleh teman-teman yang lainnya untuk membantu pekerjaan panitia prom. Melihat kerja keras yang dilakukan setiap hari oleh para panitia prom, aku jadi terdorong untuk membantu mereka. Di aula, aku melihat Kara sedang menggunting karton. “Kar, lagi ngapain kamu?” Aku pun duduk di sebelahnya. “Ya lagi guntinglah, buat dekorasi yang bakal digantung.” Kara sangat serius mengerjakannya. Sambil mengambil karton lain untuk digunting, aku mengobrol dengannya. “Gimana ayahmu? Kemarin kamu bikinin makan malamnya ya? Pasti ayahmu termehek-mehek makan masakanmu yang rasanya nano-nano itu,” Aku tertawa membayangkan ekspresi ayah Kara ketika makan masakan Kara yang rasanya tidak enak itu. Kara tidak menjawab untuk beberapa saat. “Kar?” “Hm? Ya…aku masak makanan kesukaannya kemarin. Katanya lumayan kok,” jawabnya pelan.

Aku ingin bertanya lebih banyak lagi, tapi terpotong ketika beberapa siswi mendekati dan duduk di samping kami. “Hei, Kara, Chloe, kalian mau nggak ikutan kami ke rumah hantu?” Aku mengernyitkan dahi. Ini dia Amelia, yang suka sekali dengan hal-hal yang berbau aneh dan misterius, mulai dari kejadian paranormal, pembunuhan dan kegiatan forensik, sampai alien-alien. “Rumah hantu dimana?” Tanyaku. Anya pun menjawabku, “Itu loh, rumah yang ada di belakang rumah sakit, katanya rumah itu berhantu.” “Iya, iya, banyak yang bilang kalo rumah yang kosong itu jadi tempat penjagalan orang-orang yang dibunuh akhir-akhir ini. Soalnya, ada beberapa orang yang melihat beberapa malam lalu, lampu di rumah itu nyala!” Ellen berapi-api menambahkan. “Emang, bahkan kejadiannya pas malam perkiraan terjadinya pembunuhan itu.” Amelia terlihat sangat serius dan antusias, wajahnya terlihat sangat bersemangat seolah-olah dia mau merekam proses penjagalan itu dan meng-uploadnya di situs youtube.Aku memang penasaran tapi…rasanya aku nggak cukup sinting untuk melakukan ide gila nan berbahaya itu.

“Aku nggak ikutan, ah. Rasanya kayak orang kurang kerjaan aja. Kalo nanti ada kejadian apa-apa gimana?” Kataku pada tiga anak sableng itu. “Nggak kok, kita kan ngelakuinnya pas siang hari, nanti kita bawa pentungan juga buat jaga-jaga, hehehe.” Anya mencoba meyakinkanku. “Pokoknya kita kesana cuma lihat-lihat aja, kalo nggak ada apa-apa ya kita langsung balik. Ayolah, pasti seru juga, kamu ikut juga kan Kar?” “Nggak ah, aku males.” Jawaban Kara mengejutkanku. Kara yang biasanya suka jalan-jalan dan berpetualang, bahkan dialah yang mengajakku untuk ikut jurit malam di kuburan bersama teman-teman yang lain, menolak tawaran ‘petualangan’ gila seperti ini? 

“Tumben, biasanya kau yang paling suka dengan yang beginian. Kenapa?” Dia tidak menghadapkan mukanya ke aku. “Lagi males aja…tapi mungkin lebih baik kamu nggak ikutan sama mereka, kamu main sama aku aja.” Kara menjawabku sambil mengerjakan potongan kartonnya. Kata-katanya makin membuatku terheran-heran. “Aku sih nggak mau ikutan mereka, buat apa… lagipula kalo ketahuan kita bisa dibawa ke kantor polisi lagi,” kataku sambil mengamati ekspresi Kara yang tidak berubah. “Nggak bakalan ketahuan kok, itu kan rumahnya kosong, ditelantarkan. Nggak mungkin dilaporin ke polisi lah,” Ellen membujukku.

Kara pun meninggalkanku, beralasan dia ingin melihat pekerjaan anak-anak lainnya. Setelahnya, Amelia, Ellen, dan Anya semakin gencar membujukku, dan akhirnya, aku jadi tertarik juga untuk mengikut mereka. Ketika sampai di rumah tua itu, rasa angker mulai menyelinap dalam diriku. Meski siang itu terang-benderang, bahkan sangat terik dan panas, namun keadaan rumah itu yang gelap, tua, dan terlantar, membuatku diriku merasa sangat konyol karena mengikuti ajakan ketiga orang tadi. Kami pun masuk melalui pintu belakang rumah itu. Di dalam, rumah itu terasa lembab dan agak pengap. Sudah gelap, lembab, kotor, pengap lagi, benar-benar hebat, pikirku. Ditambah lantai rumah itu yang terbuat dari kayu, membuat setiap langkah kami jadi terdengar berderit-derit.

“Coba kita lihat ruangan-ruangannya ya,” Amelia memimpin rombongan kami. Di rumah itu ada dapur, ruang tamu, beberapa kamar, dan toilet. Hampir semua tempat disana kotor, berdebu dan banyak sarang laba-laba, dan tercium bau yang tidak enak. Kami pun masuk ke ruang yang kelihatannya lab karena banyak peralatannya. Ruangan itu dikelilingi lemari tua yang penuh dengan alat-alat praktikum. Seperti di lab sekolah tapi lebih lengkap dan agak tua, pikirku. Ada 5 jejer tabung reaksi, pelat tetes, mikroskop yang lebih modern…Braakkk!! Aku langsung menoleh ke arah suara itu. Anya tersenyum malu, “Sori, aku nggak sengaja nyenggol kacanya.” Kami semua kecuali dia langsung menghela napas lega karena sebelumnya takut ada orang atau sesuatu di kamar itu selain kami.

Aku berjalan mengamati ruangan itu dan berhenti sejenak di jendela ruangan tersebut. Jendela itu berdebu dan tidak jelas, tapi ketika aku mencoba melihat ke dalamnya, aku melihat ada sesorang di dalam ruangan berkas. Ketika aku melihat lebih dekat, aku melihat seseorang di dalamnya. Seorang gadis. Tunggu, aku mengenalinya..itu Trisha! Sedang apa dia disini? Dan bajunya, berlumuran darah. Kriit… Aku langsung mematung ketika mendengar suara langkah kaki di kejauhan. Kami semua berpandangan mata. “Siapa itu? Jangan-jangan ada orang lain…atau pemilik rumah ini?” Ellen berbisik. Amelia membalasnya, “Mustahil, rumah ini udah ditelantarkan sejak lama kok. Aku jarang melihat ada orang yang keluar-masuk rumah ini.” Aku pun memotongnya,” Jarang bukan berarti tidak ada pemilik dari rumah ini, kan.” Suara langkah kaki itu makin keras dan mendekat.

“Lebih baik kita cepat-cepat kabur dari sini, ayo!” Ellen segera berjalan mengendap tapi cepat keluar dari ruangan itu, diikuti aku, Anya, dan Amelia. Kami berjalan mengendap-endap sambil melihat ke kanan-kiri, takut kalau orang itu mendengar ataupun melihat kami. “Siapa itu?! Siapa yang masuk ke rumah ini?!” Suara laki-laki dewasa itu menggelegar mengagetkan kami semua. “Mati kita.. ayo kita cepat lari disini!” Ellen berkata sambil menunjuk ke arah pintu belakang rumah itu. Kami pun langsung lari menerobos pintu itu dan keluar dari rumah tersebut. Sekilas, ketika berlari, aku sempat menoleh ke belakang dan melihat seorang pria berwajah marah dan beringas.

Ketika kami keluar, kami memutuskan untuk segera pulang dan kembali ke rumah masing-masing. Ketika pulang ke rumahku, pikiranku berkecamuk dengan perasaan ingin tahu, takut, dan ganjil. Aku ingin tahu kenapa Trisha ada disana, apa yang dilakukannya, dan apakah dia tahu siapa lelaki itu. Siapa pula lelaki itu? Kenapa dia ada disana..? Aku ingin segera mendatangi Trisha dan menghujaninya dengan pertanyaan, tapi sosoknya yang belumuran darah, dengan darah menetes-netes dari bajunya,  dan ekspresinya yang kosong itu membuatku ingin mengurungkan niatku. Aku melihat jendelanya dari lotengku. Tidak ada siapa-siapa yang terlihat dari jendela itu. Ugh, aku ingin mengunjunginya, menanyakan hal-hal yang mengisi kepalaku ini, tapi sekali lagi, ketika aku mengingat Trisha yang kulihat di rumah tua itu… leherku terasa tercekat. Tiba-tiba terdengar suara benda mengenai kaca jendelaku. Aku menoleh, dan tampaklah Trisha sedang menatapku dari jendela rumahnya.

Dia melambaikan tangannya, mengisyaratkanku agar pergi ke rumahnya. Anehnya, bajunya tidak terlihat kotor ataupun berlumuran darah. Tidak bisa menahan lagi rasa penasaranku, aku pun memutuskan untuk datang ke sana. Sambil membawa pisau buah untuk berjaga-jaga, aku pun pergi menuju tempatnya. Sesampainya disana, dia mengajakku masuk melalui pintu belakang rumahnya. Rumahnya gelap tidak dinyalakan lampu, dan dengan sedikitnya jendela, hanya sedikit cahaya yang masuk ke dalam sana. Tidak banyak barang di sekitar rumah itu. Trisha mengajakku masuk ke kamarnya.

“Kenapa kau? Kok diam aja,” dia memecah keheningan. “Nggak apa-apa, cuma agak capek dari sekolah.” Kami berdua duduk di ranjangnya. “Kamu pulangnya hari ini agak sorean, ya? Lagi ada acara?” tanyanya. “Iya, tadi diajak jalan-jalan sama teman.” Tunggu dulu, emang dia tahu jam pulang sekolahku? Atau jangan-jangan, dia mengamatiku…? “Oo..wah asik juga ya, pasti rame.” “Kok kamu nggak sekolah? Kamu home schoolingya?” Dia menatapku dengan sendu. “Ya, begitulah…” dia melihat ke arah jendela, pandangannya menerawang.

Aku mencoba menanyakan lebih banyak tentang dirinya. “Orangtuamu mana? Sibuk kerja?” “Ayahku kadang-kadang pergi ke luar, ibuku sudah meninggal. Biasanya ayahku yang mengajariku, tapi kalo dia lagi pergi, aku diberi pr dan nantinya diperiksa. Aku kelihatannya aneh sekali ya?” Dia menghadap mukaku, ada sesuatu yang sedih dalam wajahnya. “Nggak kok, tenang…kalo ada yang mengata-ngataimu, pede aja Trish!” Dia tertawa. “Iya, kamu aja bisa pede gitu, apalagi aku yang jauh lebih imut dan lucu darimu!” Dia menjulurkan lidahnya dan tertawa lagi. Ketika tawanya berhenti, dia menatapku dengan lebih lekat. Hening. Untuk beberapa saat, kami terdiam. Lidahku gatal untuk menanyakan apa yang kulihat tadi, dan dia terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu. Lalu dia pun membuka bibirnya, “Hei, Chloe…kamu tetap jadi temanku nggak, kalopun terjadi sesuatu padaku?”

“Hah?” Itulah yang keluar dari mulutku karena tidak ada kata lain yang terbesit di pikiranku. Trisha menggeser tubuhnya, wajahnya agak tertunduk. “Iya…ya misalnya aku ini kena sakit atau apa bencana apa gitu, kamu masih mau jadi temanku kan?” ujarnya lirih. Aku bingung ingin berkata apa. Ingin kukatakan bahwa aku tidak peduli apa yang terjadi, aku bisa tetap berteman dengannya, apa salahnya? Tapi sedetik kemudian, sosok Trisha yang kulihat di rumah tua itu menghantuiku. “Aku tetap ingin jadi temanmu, apapun yang terjadi. Ya habisnya, tampangmu kelihatan memelas banget sih, kayak kucing yang kelaparan. Kasihan banget,” Kataku akhirnya, yang dibalas dengan sikutan dari Trisha. “Tapi kalo penyakitmu parah dan menular, mungkin aku nggak bisa setiap hari mengunjungimu. Apalagi kalo aku ada tugas lain.” Trisha terlihat seperti sedang berpikir keras. Saat hening turun kembali ke kamar itu, aku memberanikan diri untuk menanyakan hal yang sudah menyelimuti otakku.

“Trish, kamu tadi ada di rumah tua yang ada di belakang rumah sakit itu ya? Kamu ngapain disana?” Bagaikan tersambar petir, Trisha menolehkan wajahnya ke aku dan menatapku tajam. “Kamu ada disana tadi? Ngapain kamu disana?” Nada suaranya lebih tinggi daripada sebelumnya. “Justru itu pertanyaanku, jangan diulang lagi dong. Aku tadi cuma diajak temanku untuk lihat-lihat disana…ya iseng-iseng aja,” “Konyol. Ngapain kamu masuk dan lihat-lihat rumah tua begituan?”  Ada ekspresi marah dan nadanya terasa pahit. “Ya pokoknya begitulah, kamu sendiri ngapain ada disana? Apalagi bajumu sampai-“ Kata-kataku terpotong. Aku tidak berani melanjutkannya, karena takut dengan imageTrisha yang belumuran darah, juga takut dengan apa yang akan dia lakukan kalau tahu aku melihatnya. “Sampai apa? Ayo lanjutkan kata-katamu,” Wajahnya yang pucat semakin mengeras.

“Uh… ya intinya kenapa kau ada disana? Aku ingin tahu kenapa-“ “kenapa aku ada disana dan berlumuran darah, kan?” Dia memotongku dan tertawa getir. “Kau ingin tahu alasannya?” Trisha berbisik dan mendekatkan wajahnya padaku. Saat itu, suasana terasa mencekam. Kamar itu terasa sunyi dengan adanya keheningan di antara kami, hanya ada suara tangan jam yang terus bergerak. Aku menahan napas, ketegangan merasuki tubuhku. “Aku akan menceritakannya kalo kau bisa menjaga rahasia ini di antara kita saja. “ Dia semakin mendekatiku. “Oke.” Hanya kata itu yang terlontar dari bibirku. Dia pun berdiri dan berjalan menghadap jendela kamarnya. “Ayahku sebenarnya bekerja di lab yang mengurusi pembuatan obat-obat untuk virus penyakit. Beberapa tahun yang lalu, ayahku bersama rekannya bekerja untuk mencari obat virus yang sedang bermutasi. Rekannya ini ternyata mencobakan obat yang masih baru itu pada orang-orang yang sakit. Ayahku sangat marah waktu mengetahuinya, tapi rekannya hanya beralasan bahwa toh orang-orang itu sudah sakit parah dan tidak hidup lama lagi. Tapi tentu saja itu sangat tak berkeperimanusiaan,”

“Mereka lalu bertengkar hebat, dan tak menyadari kalau salah satu orang percobaan itu masuk dalam lab mereka. Para ‘pasien percobaan’ itu mengalami efek samping menjadi lebih pemarah, ganas, dan berbahaya…ya agak seperti zombie di film horor seperti itulah, tapi bedanya mereka tidak akan menyerang kecuali diprovokasi atau diserang. “ Trisha menyibakkan tirai jendela itu. “Nah, orang percobaan yang berhasil masuk ke dalam lab itu marah pada ayahku dan rekannya, karena dianggap membohongi dia akan percobaan yang dikiranya akan menyembuhkan penyakitnya. Terjadi perkelahian dan orang itu tak sengaja menggigit tangan rekan ayahku sampai berdarah…ternyata rekan ayahku terkena infeksi dan mengalami efek samping seperti yang dialami para ‘orang percobaan’ itu. “ Trisha terdiam sedikit sambil menarik napas.

“Jadi bagaimana?” Aku tidak bisa berdiam diri menahan rasa penasaranku. “Setelah itu, ayahku dituntut dan diberhentikan karena dianggap menlanggar peraturan. Rekannya itu rupanya telah menghilangkan bukti-bukti yang ada dan membuat seolah-olah itu perbuatan ayahku sendiri. Terpaksa ayahku dan aku pindah kota dan mencari pekerjaan lain.” Trisha membalikkan tubuhnya dan menghadap wajahku lagi. “Tapi tetap aja, itu hal yang susah.”

“Bagaimana dengan nasib rekan ayahmu? Lalu dia nga-“ Kata-kataku terputus ketika terdengar suara orang yang masuk ke rumah itu. “Siapa itu? Tidak mungkin ayahku, karena suara langkahnya beda,” ujar Trisha. Kami pun keluar dari kamar dan menuruni tangga. Di dekat pintu, seseorang sudah menunggu kehadiran kami. Napasku tertahan karena takut melihat siapa yang datang, dan leherku tercekat ketika melihat bahwa yang datang adalah…Kara. Kara, dengan diselimuti jaket yang menutupi bajunya yang kotor dan belumuran darah. Kara, dengan rambutnya yang biasanya terikat rapi, tapi saat ini digerai berantakan. Kara, yang menatap Trisha dan aku dengan tajam.

“Kenapa kau ada disini, Chloe? Seharusnya kau tidak ada disini.” Suaranya dingin tapi ada amarah di dalamnya. “Terserah dia mau ada dimana saja, Kara. Emangnya kamu bisa mengatur-ngatur dia?” Trisha mendesakku untuk melangkah ke belakang. “Dan kau!! Kenapa kamu ada disana tadi? Dasar brengsek…pengganggu saja, sama seperti ayahmu!” Kara membentak Trisha, matanya berkilat-kilat. Tangan Kara bergetar seperti ingin mengoyak sesuatu. “Ada apa? Kenapa kau sangat sangar dan marah, Kar?” Aku mencoba menanyakan padanya. Tetapi Trishalah yang menjawabku,”Kau tahu, Chloe? Rekan ayahku yang terkena penyakit itu adalah ayahnya,” Trisha menunjuk Kara. “Ayahnyalah yang juga menyebabkan pembunuhan akhir-akhir ini karena efek samping itu semakin parah, membuat ayahnya jadi haus dengan kekerasan, mirip-“

Diam kau! Ini semua salah ayahmu! Seharusnya kau pergi saja jangan pernah kembali-“ Aku menarik napas, dan berteriak kencang. “Sebenarnya apa yang terjadi?! Kara, kenapa kau seperti itu? Ada apa?” tanyaku frustasi. Tetapi Kara tidak menjawabku, dia hanya memalingkan wajahnya. “…Karena tadi dia sebenarnya ada di rumah tua itu. Dia ingin membakar rumah tua, dimana di tempat itu ada data-data percobaan itu yang berhasil ayahku sembunyikan dari ayahnya.” Trisha menatapku. “ Tadi aku melihat dia pergi ke rumahnya untuk mengajak ayahnya pergi ke rumah tua itu. Ketika dia pergi, aku membuntutinya dan melihatnya sedang bersiap-siap untuk membakar rumah itu. Aku mencoba menghentikannya tetapi dia melawanku sehingg kami jadi berkelahi. Akibatnya, aku jadi berdarah-darah, seperti yang kaulihat sebelumnya. Tapi sudah bajuku sudah kuganti tentunya.“  Dan semua itu segera merangkai semua kejadian yang ada. Semua itu menjadi terhubung dan menjadi jelas. “Serahkan bukti-bukti itu, Trisha.” Kara menjulurkan tangannya.

“Tidak akan, dan tidak akan pernah. Aku dan ayahku akan segera memberikan bukti ini untuk menuntut ayahmu dan membersihkan nama ayahku.” Raut wajah Kara berubah. Dia menjadi beringas, giginya dia katupkan. “Kalau begitu, tidak ada cara lain. Aku akan mencarinya sendiri,” Kara menerobos masuk, tetapi ditahan oleh Trisha. “Chloe, cepat ke kamarku, ambil map hitam yang ada di rak mejaku dan bawa ke kantor polisi!” Trisha berteriak sambil memegangi pintunya yang didorong kuat oleh Kara. Dengan panik, aku segera berlari menaiki tangga, mengambil map itu, dan membawanya lari dengan keluar melalui pintu  belakang. Kalau aku menelepon polisi di rumahku, pasti Kara masih bisa mengejarku ke dalam rumah dan membuat kekacauan. Apalagi orangtuaku sedang pergi lagi, dan blok di rumahku ini sangat sepi. Kalau pun aku berteriak, tak akan ada yang mendengarku…Sial, bagaimana ini?

Otakku berputar mencari jalan sementara aku membuka pintu rumahku dengan kunci.  Mungkin ada barang yang bisa kugunakan untuk memukul Kara supaya dia tidak sadar sampai polisi tiba disini, pikirku. Aku melangkah masuk ke dalam dapur, tetapi ada tangan yang mencengkramku dengan erat dan membantingku ke lantai. Kepalaku terasa sangat nyeri, mataku berdenyut-denyut sehingga aku tidak bisa melihat jelas. “ Serahkan amplop itu Chloe, aku hanya mau mengambil itu saja.” Suara Kara terdengar keras, dia mengucapkannya sangat dekat dengan wajahku sambil menahan tubuhku dengan tubuhnya, dan memegangi kedua tanganku. “Ayolah Chloe, masa kau percaya dengan ucapan anak itu? Dia itu sinting, kata-katanya itu hanya bualan aja. Ayahnyalah yang menyebabkan itu semua, dia yang mencelakakan ayahku dan aku.” Sambil terengah-engah, aku melihat wajah Kara. Matanya merah, warnanya seperti coklat yang bercampur merah darah, mengingatkanku dengan gaun marun yang diberikannya padaku.

Aku meronta-ronta, mencoba menyingkirkan badannya dariku tetapi gagal. Kara semakin menekan tubuhku dan mencengkram kedua tanganku sampai rasanya kedua tangan itu mati rasa. “Kalau itu benar, kenapa kau melakukan ini, Kar? Kenapa kau memaksa Trisha dan menyakiti dia dan aku?” Kara mengurangi cengkramannya tetapi lalu menguatkannya lagi. “Aku tidak bermaksud begini. Ini kulakukan karena tidak ada jalan lain, karena kau sudah dipengaruhi dia!” Dia berteriak. “Kau pasti tidak mendengarkanku. Aku sendiri tidak ingin melakukan ini, Chloe.” Aku menggeleng. “Dimana Trisha? Apa yang kaulakukan padanya?” tanyaku pahit. “Aku hanya memukulnya supaya dia tidak mengejar dan menghalangiku,” jawabnya cepat. Bohong. Bohong. Hanya itu yang terpikirku saat aku melihat noda darah yang sebelumnya tak ada di jaketnya, dan bau darah yang masih segar.

Kara merapatkan tubuhnya padaku. Berat tubuhnya menahanku sampai menempel pada lantai. Dia mendekatkan wajahnya padaku sampai aku bisa merasakan napasnya. “Nah, serahkan amplop itu, Chloe. Amplop itu hanya berisi kebohongan, tidak perlu kau simpan. Berikan padaku.” Kata-kata Kara pelan hampir seperti bisikan. “Kau mendekati dan berbuat baik padaku karena aku tinggal di dekat rumah Trisha, kan?” Mata Kara membelalak. “Apa maksudmu, Chloe? Jangan meracau.” Namun, Kara tidak bisa menyembunyikan kekagetannya. Aku tertawa pahit. Semuanya sudah menjadi jelas, jelas bagaikan kristal.

“Waktu hari pertama di sekolah, kau langsung mendatangiku, mengajakku ngobrol dan menemaniku kemana-mana. Kemudian kau selalu ada di sampingku, meminjamkanku barang-barang yang tidak kubawa, memberikan contekan pr, melindungiku saat aku akan dimarahi guru-meski itu salahku juga-, melindungi dan menghajar para anggota geng Misha ketika mereka mem-bullying-ku, dan masih banyak lagi.” Aku menarik napas panjang dan menatap wajah Kara yang seperti tidak mempercayaiku. “Sebenarnya, kau hanya mau mendekatiku supaya aku mempercayaimu kan? Karena kau tahu aku tinggal di samping rumah Trisha yang tentu sudah sering kau pantau. Kau takut ketika Trisha dan ayahnya kembali lagi…,” aku mendekatkan mukaku padanya, suaraku makin keras. “…mereka akan membeberkan rahasiamu dan ayahmu. Dan tentu Trisha akan menceritakannya padaku, tetangganya yang paling dekat. Dan karena itulah kau sudah mempersiapkannya baik-baik, kau bergaul dengan siapa saja, ikut segala aktivitas, membantu semua kegiatan agar kau dekat dengan semua orang dan bisa mempengaruhi mereka. Sehingga saat Trisha nanti menceritakan kebenarannya, kau akan mempengaruhi semua orang agar tidak percaya dengannya.”

“Jangan meracau, Chloe. Pasti pikiranmu masih kacau, apa pula hubungannya itu dengan semua ini?” suara Kara bergetar, ekspresinya seperti campuran antara kaget, tak percaya, dan ada ketakutan di matanya. Tangannya semakin erat memegangiku. “Lebih baik kau berikan amplop itu padaku, oke? Setelah ini, semuanya akan jadi normal lagi dan-“ ”Tidak ada yang jadi baik-baik lagi setelah ini, Kara.” Aku pun menikamnya dengan pisau yang kubawa dalam saku jeansku, menekan tubuhnya dan menusuknya sampai Kara terjatuh ke lantai. Kara menggelepar di lantai kayu, mengerang kesakitan sambil berusaha mencabut pisau yang kutikamkan di perutnya. Matanya naik dan memandangiku yang sudah berdiri. “Chloe…apa yang kaulakukan? Ce..cepat cabut pisau ini…” Suaranya pelan dan bergetar. “Tidak akan.” Kujawab permintaannya sambil memukul kepalanya dengan pemukul baseball yang ada di samping kulkas. Darah mengucur perlahan dari kepala dan tubuh Kara, menetes dan membuat tubuhnya yang pucat seperti boneka yang rusak dan tergeletak di genangan cat merah.

Dua minggu setelahnya…

Acara prom berjalan baik, ada pertunjukan band sekolah, tarian break dancedari grup ekskul menari dan drama grup teater. Semua orang tampaknya baik-baik saja setelah dua minggu lalu muncul berita tentang tindakan Kara dan ayahnya. Ayahnya sudah terkena infeksi parah sehingga dia menjadi sangat pemarah dan mudah menyerang siapa saja. Mungkin itu alasannya kenapa mereka tinggal di rumah yang agak terpencil dan Kara tidak pernah mengundang orang lain ke rumahnya. Mereka sudah diamankan oleh polisi. Sempat terjadi kehebohan dan muncul gossip-gosip miring karena Kara adalah anak yang cukup populer dan dikenal banyak orang. Tapi aku tidak menggubrisnya dan menjawab sekenanya ketika ditanya. Untunglah, sekarang hal itu sudah mereda dan semua orang tenggelam dalam kehebohan musik I Gotta Feeling-nya Black Eyed Peas.

Tiba-tiba, musik berhenti dan cahaya menghilang. Semua orang langsung menghela napas dan mengutuki mati lampu yang tiba di momen yang sangat tidak pas itu. Aku pun keluar dari sporthall sekolah yang pengap karena matinya ac itu dan mengirup udara segar di belakangnya. Langit malam itu sangat cerah dan walau gelap, ada bulan sabit dan bintang-bintang yang menerangi. “Lebih enak kalo kita dance -nya di bawah rembulan seperti ini, pasti lebih romantis dan udaranya segar.” “Setujuu.” Aku menoleh ke arah suara itu dan kulihat Trisha ada di sampingku sambil membawa tape. “Trish? Kok kamu ada disini?” Aku memandangi Trisha yang mengenakan blus putih dan celana panjang berwarna gelap. “Hehe..aku kan jalan-jalan minggu lalu dan bertemu dengan teman-temanmu yang sedang belanja perlengkapan buat prom. Kita ngobrol-ngobrol dan temanmu menawariku untuk jadi semacam bartender di bar minuman pesta nanti. Aku terima aja, toh kayaknya asik juga…tapi tadi mati lampu dan buyar pestanya. Trus aku lihat kamu keluyuran keluar, yaa aku ikuti saja.” Trisha nyengir lebar dan menyibakkan rambut yang terlihat berkilauan terkena cahaya rembulan.

“Dasar penguntit.” Kataku sambil membalas nyengirnya dengan nyengir yang lebih lebar lagi. “Idih, enak aja. O ya, mumpung aku lihat ada tape yang nggak kepake, mau pasang lagu dan dancedisini nggak?” Aku melihat tape yang kelihatannya memakai batere itu. “Emang kamu bawa kaset atau CD?” tanyaku. “Udah ada CD kok di dalamnya. Ta-da!” Trisha membuka tape itu dan ada CD di dalamnya. Tape itu pun ditutup dan dinyalakan, suara lagu yang lembut dan melankolis pun mengalun perlahan.

Dearest constellation, heaven surroundin' you

Stay there, soft and blue. Virginia Moon, I'll wait for you tonight

Sweetest invitation, breaking the day in two

Feelin' like I do, Virginia Moon, I'll wait for you tonight

May I ask a dance from you, miss?” Trisha berlutut dan merentangkan tangannya padaku. Aku tertawa. “Sok bahasa Inggris kau!” Dia menjulurkan lidahnya. “Biarin. Emang aku lumayan jago Inggris kok. Nanti aku pasti bisa membuat semua orang kagum di sekolah!” Aku mengernyitkan dahiku. “Kau akan sekolah?” Sambil bangkit berdiri dan menerima tanganku, dia menjawab,”Iya, ayahku sudah mengurusnya. Nanti aku akan masuk sekolah SMA disini!” Wajahnya menjadi cerah dan dia tersenyum lebar, matanya berbinar-binar. Sejak ayahnya mendapat pekerjaan baru dan membenahi rumahnya, kehidupannya jadi lebih baik. Mereka juga mulai bergaul dan diterima tetangga-tetangganya.

“Mau dancenggak kau?” Trisha masih memegangi tanganku. Aku memandangi tanganku lalu dia. “Okelah, toh daripada nggak ngapa-ngapain disini. Walaupun aneh juga sama sesama cewek.” Trisha mengangkat bahunya,” Yah biarin aja. Iseng-iseng juga kan nggak apa-apa.” Sambil tertawa, aku pun menarik tangannya dan kami mulai berdansa di bawah cahaya rembulan dan bintang-bintang yang menari-nari di langit.

And now our shades become shadows in your light

In the morning wind we're through and tomorrow rescues you,

I will say goodnight

Secret fascination, whisper a quiet tune

Hear me callin' you, Virginia Moon, I'll wait for you tonight

And now our shades become shadows in your light

In the morning wind we're through and tomorrow rescues you,

I will say goodnight

Virginia Moon, I'll wait for you tonight

In the morning wind we're through and tomorrow rescues you,

I will say goodnight

I will say goodnight

I will say goodnight

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun