“Coba kita lihat ruangan-ruangannya ya,” Amelia memimpin rombongan kami. Di rumah itu ada dapur, ruang tamu, beberapa kamar, dan toilet. Hampir semua tempat disana kotor, berdebu dan banyak sarang laba-laba, dan tercium bau yang tidak enak. Kami pun masuk ke ruang yang kelihatannya lab karena banyak peralatannya. Ruangan itu dikelilingi lemari tua yang penuh dengan alat-alat praktikum. Seperti di lab sekolah tapi lebih lengkap dan agak tua, pikirku. Ada 5 jejer tabung reaksi, pelat tetes, mikroskop yang lebih modern…Braakkk!! Aku langsung menoleh ke arah suara itu. Anya tersenyum malu, “Sori, aku nggak sengaja nyenggol kacanya.” Kami semua kecuali dia langsung menghela napas lega karena sebelumnya takut ada orang atau sesuatu di kamar itu selain kami.
Aku berjalan mengamati ruangan itu dan berhenti sejenak di jendela ruangan tersebut. Jendela itu berdebu dan tidak jelas, tapi ketika aku mencoba melihat ke dalamnya, aku melihat ada sesorang di dalam ruangan berkas. Ketika aku melihat lebih dekat, aku melihat seseorang di dalamnya. Seorang gadis. Tunggu, aku mengenalinya..itu Trisha! Sedang apa dia disini? Dan bajunya, berlumuran darah. Kriit… Aku langsung mematung ketika mendengar suara langkah kaki di kejauhan. Kami semua berpandangan mata. “Siapa itu? Jangan-jangan ada orang lain…atau pemilik rumah ini?” Ellen berbisik. Amelia membalasnya, “Mustahil, rumah ini udah ditelantarkan sejak lama kok. Aku jarang melihat ada orang yang keluar-masuk rumah ini.” Aku pun memotongnya,” Jarang bukan berarti tidak ada pemilik dari rumah ini, kan.” Suara langkah kaki itu makin keras dan mendekat.
“Lebih baik kita cepat-cepat kabur dari sini, ayo!” Ellen segera berjalan mengendap tapi cepat keluar dari ruangan itu, diikuti aku, Anya, dan Amelia. Kami berjalan mengendap-endap sambil melihat ke kanan-kiri, takut kalau orang itu mendengar ataupun melihat kami. “Siapa itu?! Siapa yang masuk ke rumah ini?!” Suara laki-laki dewasa itu menggelegar mengagetkan kami semua. “Mati kita.. ayo kita cepat lari disini!” Ellen berkata sambil menunjuk ke arah pintu belakang rumah itu. Kami pun langsung lari menerobos pintu itu dan keluar dari rumah tersebut. Sekilas, ketika berlari, aku sempat menoleh ke belakang dan melihat seorang pria berwajah marah dan beringas.
Ketika kami keluar, kami memutuskan untuk segera pulang dan kembali ke rumah masing-masing. Ketika pulang ke rumahku, pikiranku berkecamuk dengan perasaan ingin tahu, takut, dan ganjil. Aku ingin tahu kenapa Trisha ada disana, apa yang dilakukannya, dan apakah dia tahu siapa lelaki itu. Siapa pula lelaki itu? Kenapa dia ada disana..? Aku ingin segera mendatangi Trisha dan menghujaninya dengan pertanyaan, tapi sosoknya yang belumuran darah, dengan darah menetes-netes dari bajunya, dan ekspresinya yang kosong itu membuatku ingin mengurungkan niatku. Aku melihat jendelanya dari lotengku. Tidak ada siapa-siapa yang terlihat dari jendela itu. Ugh, aku ingin mengunjunginya, menanyakan hal-hal yang mengisi kepalaku ini, tapi sekali lagi, ketika aku mengingat Trisha yang kulihat di rumah tua itu… leherku terasa tercekat. Tiba-tiba terdengar suara benda mengenai kaca jendelaku. Aku menoleh, dan tampaklah Trisha sedang menatapku dari jendela rumahnya.
Dia melambaikan tangannya, mengisyaratkanku agar pergi ke rumahnya. Anehnya, bajunya tidak terlihat kotor ataupun berlumuran darah. Tidak bisa menahan lagi rasa penasaranku, aku pun memutuskan untuk datang ke sana. Sambil membawa pisau buah untuk berjaga-jaga, aku pun pergi menuju tempatnya. Sesampainya disana, dia mengajakku masuk melalui pintu belakang rumahnya. Rumahnya gelap tidak dinyalakan lampu, dan dengan sedikitnya jendela, hanya sedikit cahaya yang masuk ke dalam sana. Tidak banyak barang di sekitar rumah itu. Trisha mengajakku masuk ke kamarnya.
“Kenapa kau? Kok diam aja,” dia memecah keheningan. “Nggak apa-apa, cuma agak capek dari sekolah.” Kami berdua duduk di ranjangnya. “Kamu pulangnya hari ini agak sorean, ya? Lagi ada acara?” tanyanya. “Iya, tadi diajak jalan-jalan sama teman.” Tunggu dulu, emang dia tahu jam pulang sekolahku? Atau jangan-jangan, dia mengamatiku…? “Oo..wah asik juga ya, pasti rame.” “Kok kamu nggak sekolah? Kamu home schoolingya?” Dia menatapku dengan sendu. “Ya, begitulah…” dia melihat ke arah jendela, pandangannya menerawang.
Aku mencoba menanyakan lebih banyak tentang dirinya. “Orangtuamu mana? Sibuk kerja?” “Ayahku kadang-kadang pergi ke luar, ibuku sudah meninggal. Biasanya ayahku yang mengajariku, tapi kalo dia lagi pergi, aku diberi pr dan nantinya diperiksa. Aku kelihatannya aneh sekali ya?” Dia menghadap mukaku, ada sesuatu yang sedih dalam wajahnya. “Nggak kok, tenang…kalo ada yang mengata-ngataimu, pede aja Trish!” Dia tertawa. “Iya, kamu aja bisa pede gitu, apalagi aku yang jauh lebih imut dan lucu darimu!” Dia menjulurkan lidahnya dan tertawa lagi. Ketika tawanya berhenti, dia menatapku dengan lebih lekat. Hening. Untuk beberapa saat, kami terdiam. Lidahku gatal untuk menanyakan apa yang kulihat tadi, dan dia terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu. Lalu dia pun membuka bibirnya, “Hei, Chloe…kamu tetap jadi temanku nggak, kalopun terjadi sesuatu padaku?”
“Hah?” Itulah yang keluar dari mulutku karena tidak ada kata lain yang terbesit di pikiranku. Trisha menggeser tubuhnya, wajahnya agak tertunduk. “Iya…ya misalnya aku ini kena sakit atau apa bencana apa gitu, kamu masih mau jadi temanku kan?” ujarnya lirih. Aku bingung ingin berkata apa. Ingin kukatakan bahwa aku tidak peduli apa yang terjadi, aku bisa tetap berteman dengannya, apa salahnya? Tapi sedetik kemudian, sosok Trisha yang kulihat di rumah tua itu menghantuiku. “Aku tetap ingin jadi temanmu, apapun yang terjadi. Ya habisnya, tampangmu kelihatan memelas banget sih, kayak kucing yang kelaparan. Kasihan banget,” Kataku akhirnya, yang dibalas dengan sikutan dari Trisha. “Tapi kalo penyakitmu parah dan menular, mungkin aku nggak bisa setiap hari mengunjungimu. Apalagi kalo aku ada tugas lain.” Trisha terlihat seperti sedang berpikir keras. Saat hening turun kembali ke kamar itu, aku memberanikan diri untuk menanyakan hal yang sudah menyelimuti otakku.
“Trish, kamu tadi ada di rumah tua yang ada di belakang rumah sakit itu ya? Kamu ngapain disana?” Bagaikan tersambar petir, Trisha menolehkan wajahnya ke aku dan menatapku tajam. “Kamu ada disana tadi? Ngapain kamu disana?” Nada suaranya lebih tinggi daripada sebelumnya. “Justru itu pertanyaanku, jangan diulang lagi dong. Aku tadi cuma diajak temanku untuk lihat-lihat disana…ya iseng-iseng aja,” “Konyol. Ngapain kamu masuk dan lihat-lihat rumah tua begituan?” Ada ekspresi marah dan nadanya terasa pahit. “Ya pokoknya begitulah, kamu sendiri ngapain ada disana? Apalagi bajumu sampai-“ Kata-kataku terpotong. Aku tidak berani melanjutkannya, karena takut dengan imageTrisha yang belumuran darah, juga takut dengan apa yang akan dia lakukan kalau tahu aku melihatnya. “Sampai apa? Ayo lanjutkan kata-katamu,” Wajahnya yang pucat semakin mengeras.
“Uh… ya intinya kenapa kau ada disana? Aku ingin tahu kenapa-“ “kenapa aku ada disana dan berlumuran darah, kan?” Dia memotongku dan tertawa getir. “Kau ingin tahu alasannya?” Trisha berbisik dan mendekatkan wajahnya padaku. Saat itu, suasana terasa mencekam. Kamar itu terasa sunyi dengan adanya keheningan di antara kami, hanya ada suara tangan jam yang terus bergerak. Aku menahan napas, ketegangan merasuki tubuhku. “Aku akan menceritakannya kalo kau bisa menjaga rahasia ini di antara kita saja. “ Dia semakin mendekatiku. “Oke.” Hanya kata itu yang terlontar dari bibirku. Dia pun berdiri dan berjalan menghadap jendela kamarnya. “Ayahku sebenarnya bekerja di lab yang mengurusi pembuatan obat-obat untuk virus penyakit. Beberapa tahun yang lalu, ayahku bersama rekannya bekerja untuk mencari obat virus yang sedang bermutasi. Rekannya ini ternyata mencobakan obat yang masih baru itu pada orang-orang yang sakit. Ayahku sangat marah waktu mengetahuinya, tapi rekannya hanya beralasan bahwa toh orang-orang itu sudah sakit parah dan tidak hidup lama lagi. Tapi tentu saja itu sangat tak berkeperimanusiaan,”
“Mereka lalu bertengkar hebat, dan tak menyadari kalau salah satu orang percobaan itu masuk dalam lab mereka. Para ‘pasien percobaan’ itu mengalami efek samping menjadi lebih pemarah, ganas, dan berbahaya…ya agak seperti zombie di film horor seperti itulah, tapi bedanya mereka tidak akan menyerang kecuali diprovokasi atau diserang. “ Trisha menyibakkan tirai jendela itu. “Nah, orang percobaan yang berhasil masuk ke dalam lab itu marah pada ayahku dan rekannya, karena dianggap membohongi dia akan percobaan yang dikiranya akan menyembuhkan penyakitnya. Terjadi perkelahian dan orang itu tak sengaja menggigit tangan rekan ayahku sampai berdarah…ternyata rekan ayahku terkena infeksi dan mengalami efek samping seperti yang dialami para ‘orang percobaan’ itu. “ Trisha terdiam sedikit sambil menarik napas.