Sambil menyusuri perumahan, aku melanjutkan obrolan kami. “Eh, ayahmu tuh kerja apa sih?” Kara mengulung-gulung rambutnya sambil terdiam sejenak. “Hmm…ya kerja di kantor gitu deh. Aku juga nggak tahu banyak sih,” Dia terdiam lagi. Kuamati wajahnya yang sesaat tidak berekspresi, matanya menerawang tidak berarah. “Oh ya! Kamu nggak inget janjimu untuk mentraktirku kalau kamu dapat nilai bagus?” Tiba-tiba Kara memolototiku dengan matanya yang membulat, membuatku terkaget-kaget. “Err…oh ya, aku lupa. Nanti deh, pas ibuku udah berbaik hati memberiku uang…kutraktir choki-choki. Oke? Oke?” Sekilas, aku melihat ke arah belakangnya, ke rumah di sebelah rumahku, rumah si gadis misterius. Sesaat aku melihat gadis itu dan mata kami bertemu. “Halo? Chloee…” Kara meneriakiku. “Chloe, kamu kenapa? Kamu kayak kesambet, tahu.” Aku hanya tersenyum gugup. “Tadi aku lagi bengong. Maklum lagi capek, hehehe.” Kami pun berpisah di depan rumahku.
Malamnya, aku mengamati jendela kamar itu dari loteng. Aku masih terbayang-bayang dengan gadis itu. Sayangnya, jendela itu ditutupi tirai. Aku pun membuka jendela loteng untuk bisa melihat lebih dekat. Tiba-tiba angin bertiup…dan menerbangkan topi yang aku kenakan. Aduh, sial… aku harus mengambil topi itu di rumah ‘angker’ itu. Aku pun mengendap-ngendap menuruni tangga, keluar dari rumahku dan berjalan ke rumah tersebut. Meski sudah mengitari rumah itu berkali-kali, aku tidak bisa menemukan celah untuk bisa masuk. Kret…
Aku pun membalikkan badan, bulu kudukku naik semua karena saking kagetnya. Gadis itu berdiri tepat di depanku, dia keluar dari pintu rumah itu dan berjalan mendekati gerbang yang ingin kubuka. Gaun putihnya panjang membuat kulitnya terlihat lebih pucat saat diterangi cahaya rembulan. “Kamu siapa? Kenapa ada disini?” tanyanya. “A..aku Chloe, aku tinggal di rumah sebelah. Aku ingin mengambil topi yang jatuh di rumahmu,” kujawab dengan lirih. Dia menatapku sejenak lalu membuka pintu gerbang itu dengan pelan. “Cepat masuk,” katanya. Aku pun segera masuk dan pergi ke tempat dimana topiku berada. Rupanya, topi itu tersangkut di semak-semak kering. “Kenapa kamu suka mengamatiku dari jendela itu?” Gadis itu berdiri di belakangku, suaranya kecil tapi halus. Aku merasa merinding mendengarnya, karena mengingatkanku dengan suara-suara hantu yang ada di film horor.
“Aku sering memotret pemandangan dari loteng rumahku, dan kemarin, aku nggak sengaja melihatmu. Rumahmu seharusnya kosong, jadi waktu aku melihatmu, aku penasaran siapa kamu dan kenapa kamu disini.” Aku membalikkan badan secara perlahan untuk melihat raut mukanya. Gadis itu menatapku tajam sambil merapatkan bibirnya yang pucat. Rambutnya yang berwarna gelap terurai agak berantakan. Postur tubuhnya agak mungil, membuatnya tampak seperti lebih muda. “Aku…sebenarnya sudah lama tinggal disini, tapi beberapa tahun lalu aku pindah dan baru sekarang kembali disini. “ Pantas saja aku tak mengenalnya, baru dua bulan ini aku pindah ke kota ini sehingga aku belum mengenal semua orang disini. Aku memberanikan bertanya. “Oh gitu. Aku pikir kamu tuh hantu atau setan jadi-jadian, hehehe.” Wajah gadis itu terlihat kesal. “Enak saja! Aku yang mungil, lucu, dan imut seperti ini dibilang hantu? Mau ku- uaaaa!” Dia tersandung ketika mau mendekatiku.
Seketika, suasana terasa mencair. Kata-katanya yang agak konyol dan tersandungnya dia tadi membuatku mau tertawa. Image misterius, gaib, dan seram yang berpendar-pendar darinya tadi langsung buyar semua. “Kamu mau tertawa ya? Kelihatan banget dari mukamu. Awas ya, nanti kamu kena karma loh gara-gara menertawakanku,” gadis itu bangkit berdiri sambil mengusap-usap lututnya. “Ngomong-ngomong, namamu siapa?” Aku sudah malas memanggilnya dengan sebutan gadis itu. “Trisha. Kenapa kamu tersenyum gitu? Udah ngetawain orang jatuh, masih mau ketawain-“ “Namamu unik dan lucu. Aku suka kok,” aku tersenyum simpul. Seketika, wajah Trisha jadi sumringah.
Tiba-tiba terdengar suara dari dalam rumahnya. Ada suara langkah kaki yang keras dan bunyi barang-barang yang digeser paksa. “Kau harus cepat balik. Ayahku kelihatannya terbangun, pasti dia marah kalo melihatmu disini.” Wajah Trisha terlihat panik bercampur cemas. “Besok aku berkunjung lagi ya,” ujarku yang dibalas Trisha dengan senyum. Walau masih merasa penasaran dan dirundungi dengan berjuta pertanyaan, aku pun kembali ke rumahku. Untung aku berhasil mengambil kunci rumah dari kamar orangtuaku tadi, sehingga aku pun bisa masuk lagi dan kembali ke kamarku.
Keesokannya, aku diajak oleh teman-teman yang lainnya untuk membantu pekerjaan panitia prom. Melihat kerja keras yang dilakukan setiap hari oleh para panitia prom, aku jadi terdorong untuk membantu mereka. Di aula, aku melihat Kara sedang menggunting karton. “Kar, lagi ngapain kamu?” Aku pun duduk di sebelahnya. “Ya lagi guntinglah, buat dekorasi yang bakal digantung.” Kara sangat serius mengerjakannya. Sambil mengambil karton lain untuk digunting, aku mengobrol dengannya. “Gimana ayahmu? Kemarin kamu bikinin makan malamnya ya? Pasti ayahmu termehek-mehek makan masakanmu yang rasanya nano-nano itu,” Aku tertawa membayangkan ekspresi ayah Kara ketika makan masakan Kara yang rasanya tidak enak itu. Kara tidak menjawab untuk beberapa saat. “Kar?” “Hm? Ya…aku masak makanan kesukaannya kemarin. Katanya lumayan kok,” jawabnya pelan.
Aku ingin bertanya lebih banyak lagi, tapi terpotong ketika beberapa siswi mendekati dan duduk di samping kami. “Hei, Kara, Chloe, kalian mau nggak ikutan kami ke rumah hantu?” Aku mengernyitkan dahi. Ini dia Amelia, yang suka sekali dengan hal-hal yang berbau aneh dan misterius, mulai dari kejadian paranormal, pembunuhan dan kegiatan forensik, sampai alien-alien. “Rumah hantu dimana?” Tanyaku. Anya pun menjawabku, “Itu loh, rumah yang ada di belakang rumah sakit, katanya rumah itu berhantu.” “Iya, iya, banyak yang bilang kalo rumah yang kosong itu jadi tempat penjagalan orang-orang yang dibunuh akhir-akhir ini. Soalnya, ada beberapa orang yang melihat beberapa malam lalu, lampu di rumah itu nyala!” Ellen berapi-api menambahkan. “Emang, bahkan kejadiannya pas malam perkiraan terjadinya pembunuhan itu.” Amelia terlihat sangat serius dan antusias, wajahnya terlihat sangat bersemangat seolah-olah dia mau merekam proses penjagalan itu dan meng-uploadnya di situs youtube.Aku memang penasaran tapi…rasanya aku nggak cukup sinting untuk melakukan ide gila nan berbahaya itu.
“Aku nggak ikutan, ah. Rasanya kayak orang kurang kerjaan aja. Kalo nanti ada kejadian apa-apa gimana?” Kataku pada tiga anak sableng itu. “Nggak kok, kita kan ngelakuinnya pas siang hari, nanti kita bawa pentungan juga buat jaga-jaga, hehehe.” Anya mencoba meyakinkanku. “Pokoknya kita kesana cuma lihat-lihat aja, kalo nggak ada apa-apa ya kita langsung balik. Ayolah, pasti seru juga, kamu ikut juga kan Kar?” “Nggak ah, aku males.” Jawaban Kara mengejutkanku. Kara yang biasanya suka jalan-jalan dan berpetualang, bahkan dialah yang mengajakku untuk ikut jurit malam di kuburan bersama teman-teman yang lain, menolak tawaran ‘petualangan’ gila seperti ini?
“Tumben, biasanya kau yang paling suka dengan yang beginian. Kenapa?” Dia tidak menghadapkan mukanya ke aku. “Lagi males aja…tapi mungkin lebih baik kamu nggak ikutan sama mereka, kamu main sama aku aja.” Kara menjawabku sambil mengerjakan potongan kartonnya. Kata-katanya makin membuatku terheran-heran. “Aku sih nggak mau ikutan mereka, buat apa… lagipula kalo ketahuan kita bisa dibawa ke kantor polisi lagi,” kataku sambil mengamati ekspresi Kara yang tidak berubah. “Nggak bakalan ketahuan kok, itu kan rumahnya kosong, ditelantarkan. Nggak mungkin dilaporin ke polisi lah,” Ellen membujukku.
Kara pun meninggalkanku, beralasan dia ingin melihat pekerjaan anak-anak lainnya. Setelahnya, Amelia, Ellen, dan Anya semakin gencar membujukku, dan akhirnya, aku jadi tertarik juga untuk mengikut mereka. Ketika sampai di rumah tua itu, rasa angker mulai menyelinap dalam diriku. Meski siang itu terang-benderang, bahkan sangat terik dan panas, namun keadaan rumah itu yang gelap, tua, dan terlantar, membuatku diriku merasa sangat konyol karena mengikuti ajakan ketiga orang tadi. Kami pun masuk melalui pintu belakang rumah itu. Di dalam, rumah itu terasa lembab dan agak pengap. Sudah gelap, lembab, kotor, pengap lagi, benar-benar hebat, pikirku. Ditambah lantai rumah itu yang terbuat dari kayu, membuat setiap langkah kami jadi terdengar berderit-derit.