Rasa mulas yang tadinya hadir seperti gelombang datang dan pergi, tiba-tiba menghempas dan menghunjam tanpa bisa dikendalikan. Semua sensasi hilang. Yang ada hanyalah rasa sakit tak tertahankan. Detik demi detik itu saya lalui tanpa kesadaran. Yang ada hanyalah teriakan dan tangisan, agar semua segera berakhir.
Terserah bayinya mau diapain. Terserah badan saya mau diapain. Yang penting proses ini segera selesai.
Alhasil, ketika bayi lahir saya sudah kelelahan. Jangankan ingin memeluk dan mendekap, melihatnya pun sudah tak sanggup. Tulang demi tulang dalam tubuh saya seolah diluruhi. Yang saya inginkan hanyalah memejamkan mata, tak ingin diganggu oleh siapapun. Termasuk oleh si bayi.
Berdasarkan ingatan ini, saya bisa memaklumi komentar-komentar yang menganggap cantik habis lahiran itu merupakan "hil yang mustahal", alias nggak mungkin.
Saya paham bahwa tanggapan dan cara pandang sinis mereka hanyalah bentuk "recall memory" tentang persalinan yang pernah terekam dalam pikiran, dan mungkin justru memori seperti ini yang dimiliki oleh banyak orang.
Termasuk saya sendiri, beberapa tahun lalu.
....
Diri ini mengambil napas panjang, dan mengijinkan memori dalam kepala mengarungi perjalanan berikutnya. Menuju kenangan melahirkan anak kedua.
Pengalaman melahirkan anak pertama membuat saya banyak belajar. Bahwa ternyata, rajin kontrol ke dokter, makan sehat, rutin minum suplemen dan mencari rekomendasi dokter/rumah sakit terbaik itu sama sekali belum cukup.
Saya mulai mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang kehamilan dan persalinan. Memberdayakan diri luar dalam secara fisik, mental dan spiritual. Mempelajari jurnal-jurnal penelitian. Mempraktikkannya dalam latihan-latihan yoga, taichi, hypnobirthing, jalan kaki, berjemur di bawah sinar matahari, menginjak rerumputan yang basah oleh sinar matahari pagi. Setiap hari.
Saya belajar, bahwa dalam persalinan, yang akan "menentukan" nasib tubuh dan bayi saya nanti adalah bagaimana cara saya memandang-memperlakukan-dan bertanggungjawab pada diri sendiri.