Mohon tunggu...
Dyah Pratitasari
Dyah Pratitasari Mohon Tunggu... profesional -

Full time Mama | Breastfeeding Counsellor | Serves Preggos | Holistic Life Runner | pritazamzam@gmail.com | FB: Dyah Pratitasari | Twitter: @PritaZamZam\r\n

Selanjutnya

Tutup

Edukasi

Kelahiran Joserizal Zam Zam: Sebuah Catatan

14 September 2011   10:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:58 2397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya menunggu. Dokter saya di ujung sambungan telepon pun memberi wacana untuk menunggu. "Sekarang hari Rabu. Saya pulang Sabtu. Semoga kita berjodoh ya, Bu..", tuturnya. Ia mengijinkan saya untuk pulang.

Sementara, dokter jaga memberikan gambaran untuk induksi sekarang. Katanya, "Nunggu apa lagi? Toh beratnya sudah cukup. Kalau terlambat lahir, ketuban keruh, fungsi plasenta menurun, efeknya nggak baik buat bayi".

Maksudnya memang baik. Tapi caranya menyampaikan, membuat saya merasa seperti sedang diintimidasi. Seolah bayi saya harus lahir sekarang. Seolah saya tidak boleh menunggu waktu yang telah ditentukan oleh Tuhan. Mendengarnya, hormon oksitosin saya merosot drastis.

Dari beberapa referensi yang saya baca, HPL adalah perkiraan teknis. Jika kondisi ibu dan bayi baik, kehamilan masih bisa ditunggu sambil terus dipantau, hingga berusia 42 minggu.

Berangkat dari kondisi itulah saya merasa, jika kita melahirkan di RS, persalinan cenderung dipandang sebagai peristiwa medis-biologis. Mungkin, karena paradigmanya serba darurat dan "if anything can go wrong".

Sementara pada konsep gentle birth, saya belajar bahwa pada dasarnya, persalinan merupakan peristiwa alamiah. Saya belajar bahwa menjalani proses sama pentingnya dengan menerima hasil. Sama seperti saya percaya bahwa tubuh saya sudah didisain untuk melahirkan dan menyusui, bayi saya bukan benda mati dan ia  juga ikut berjuang, dan nyeri kontraksi merupakan pertanda bahwa tubuh saya bekerja dengan baik. Saya percaya setiap fase yang akan saya jalani nanti, memiliki manfaat dan makna tersendiri yang berpengaruh terhadap kehidupan  saya pribadi, suami, anak saya.

Di saat yang sama, saya juga belajar bahwa setiap persalinan memiliki risiko. Itu sebabnya, saya tidak keberatan menerima intervensi apapun. Jika kondisi kami memang memerlukan.

Inilah yang membuat kami merasa tidak berada pada visi yang sama, dan mulai memikirkan plan lain kami, yaitu kemungkinan melahirkan di rumah. Lagipula, berdasarkan hasil pemeriksaan terakhir, kehamilan saya termasuk yang berisiko rendah. Meskipun demikian, kami tetap berjaga-jaga dengan beberapa plan cadangan, seperti menyiapkan bidan yang berdomisili dekat rumah, jalur evakuasi darurat, kendaraan dalam kondisi bensin full tank, menyiagakan adik sepupu di rumah untuk jadi supir, dan memesan kamar di salah satu rumah bersalin terdekat.

Jodoh memang nggak kemana…

Banyak yang bertanya, “Bidannya dari Klaten? Jauh amat!"

"Kayak nggak ada yang dekat aja!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun