10 Maret 2011, pukul 04.20
Jose, bayi seberat 3,5 kg dan panjang 49 cm itu, meluncur keluar dengan mulusnya. Ia diterima oleh Mbak Yesie, berenang-renang sebentar di dalam air, kemudian segera diberikan kepada saya untuk didekap, dan menyusu. Tali pusatnya masih menjuntai…terhubung dengan plasenta yang masih berada di dalam perut, menunggu kelahirannya sendiri.
Saat itulah, saya berkesempatan mengalami sendiri momen demi momen yang sebelumnya hanya saya temukan di televisi atau youtube. Juga mengalami fase demi fase IMD yang selama ini hanya bisa saya saksikan via video laktasi. Jose menjalani IMD selama lebih dari 2 jam, dan bisa menyaksikan tahap demi tahapnya terfasilitasi itu... rasanya sungguh sulit dilukiskan. Teramat sangat menakjubkan. Keajaiban Tuhan.
Awalnya, kami berencana agar tali pusat bayi tidak dipotong sama sekali. Namun berhubung tali pusar Jose terhitung pendek, plasenta saya mengalami perlengketan (sehingga sudah terbuka dan menjadi lebih rentan terhadap infeksi), maka yang kami lakukan adalah menunda pemotongannya saja.
Tali pusat tersebut kami potong dengan cara dibakar menggunakan lilin (burning cord). Metode ini diperkenalkan oleh Ibu Robin Lim, dan menjadi metode yang dipraktikkan di lokasi darurat (tidak ada gunting, atau minim peralatan steril). Seperti plastik yang terkena api, semua jaringan pada tali pusat yang dipotong dengan cara dibakar akan menutup dan mengunci sempurna. Cara merawatnya hanya dengan dibungkus (longgar) menggunakan kasa steril dan dijaga agar tetap kering dan bersih. Ternyata, dengan cara ini, tali pusatnya puput lebih cepat, dan alhamdulillah, tidak ada masalah.
Apa bedanya dengan kelahiran anak pertama?
Pada persalinan pertama, karena fase persalinan dinilai lambat, saya diinduksi. Waktu itu, setelah induksi, yang paling terasa adalah “putusnya hubungan” antara saya dengan tubuh saya sendiri. Jadi, saya seperti tidak menjalani persalinan dengan sadar.
Saat merasakan nyeri kontraksi, satu-satunya hal yang bisa saya rasakan hanyalah sakit dan karena itu, saya ingin cepat-cepat selesai, “Terserah deh, dokternya mau ngapain, badan saya mau diapain, yang penting bayi cepet keluar, selamat, sudah”.
Secara tidak sadar, saya menyerahkan kekuatan dan otonomi atas tubuh saya kepada pihak lain, yang saya anggap lebih tahu, lebih canggih, lebih “menjamin”.
Sedangkan pada persalinan kedua, kami (saya, Mas, dan Velma), masing-masing berproses sebagai individu, dan menjalani prosesnya –sejak hamil – dengan penuh kesadaran. Pengetahuan kami juga sudah lebih banyak daripada dulu.