Mohon tunggu...
Dyah Pratitasari
Dyah Pratitasari Mohon Tunggu... profesional -

Full time Mama | Breastfeeding Counsellor | Serves Preggos | Holistic Life Runner | pritazamzam@gmail.com | FB: Dyah Pratitasari | Twitter: @PritaZamZam\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menebus Surga

18 Februari 2014   02:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:44 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

[caption id="attachment_312531" align="aligncenter" width="1200" caption="http://art.ngfiles.com/images/223/petski_lonely-tree.png"][/caption]

Sebuah ruangan berlampu temaram.

Penghuninya seseorang, yang senang memandang ke arah seberang dari balik tirai, sambil bergumam.

”Mungkin benar cinta itu talenta. Ia berkembang melalui pilihan-pilihan bebas dan sadar. Bukan hanya jatuh, terjebak, lalu hanyut. Karena hanyut atau tidak tetap soal pilihan. Bukan pula kelekatan. Karena cinta tidak menimbulkan ketergantungan. Tidak pula kekuasaan. Cinta melegakan napas, menumbuhkan tunas-tunas, terus tumbuh dan mengembang, mengambang di samudera dan menembus langit.

Ah.. Cintakah yang kulihat barusan? Kaki-kaki mungilnya berlarian bebas tanpa alas di sepetak tanah tak seberapa, di belakang dan samping rumah. Mereka menyusut, mengembang, mengambang dan bercengkrama di ranting-ranting pohon. Menelusup di ukiran batang, bergelantungan di mahkota bunga, dan bersemayam beberapa lama saat hujan tiba. Dalam pagar itu. Mereka tak pernah keluar dari situ. Beranak pinak. Dan mungkin dalam waktu dekat tempat itu akan sesak.”

Usai menggumam, ia menghela napas panjang. Tirai yang sedari tadi jadi perisai diremasnya. Seandainya cinta bisa dipaksa... bibirnya getir mengucap. Ia memejamkan mata. Berharap bayangan yang tinggal di pelupuk terusir oleh menutupnya kelopak. Tapi ia salah. Dalam gelap, bayangan itu hadir semakin dekat.

”Kalau orang yang benar-benar cinta mampu menggetarkan cinta hingga bergema, kuharap gaungnya terdengar sampai di seberang sana”, ia melepaskan bisiknya. Menuju jendela.

...

”Bang...”, perempuan itu terbangun tiba-tiba dengan dada yang berdegup kencang. Sebuah getaran aneh merasuk ke tubuhnya. Bisikan tanpa suara. Antara mimpi, halusinasi, intuisi. Sang pria membuka matanya malas. Kepalanya sungguh berat.

”Kenapa?”,  ia bertanya, sambil merengkuh perempuannya kembali ke dada.

Napasnya tertahan.

Ia seperti diingatkan. Prianya selalu ada, seperti udara.

Lama ia terdiam, hingga yang terdengar lirih.. ”Apa bisa, kita berhenti menghirup udara?”

Mengucapkan kalimat itu butuh tenaga ekstra. Mendadak ngilu menjalar pelan dari ulu hati ke seluruh tubuhnya. Efek etepnya minta ditambah, atau karena sebuah sebab bernama entah.

Sang pria melepas pelukannya. Mengganti posisi berbaring jadi bersandar pada dinding. Hapal ia pada kebiasaan yang satu ini. Tak ada yang ditinggalkannya begitu saja kalau belum paripurna.

Ditariknya napas...

”Kematian rasa”, malas-malasan ia menjawab.

”Apa harus mati rasa dulu untuk bisa hidup sebagai manusia? Pfffhhhh...” bangkit Perempuan ke sisi Sang Pria, meletakkan lagi kepala di atas dadanya. Merapatkan telinga. Mencoba menemukan damai dari sekeping hati yang ia percaya, adalah pasangannya. Degup yang ia yakini, memompa hidupnya.


Masih terasa, bagaimana perih dirinya tadi melihat jarum tertancap di lengan si pria. Ketika darah masuk ke dalam syringe. Ketika ia nyerocos dengan kata-kata tak karuan. Ketika adegan demi adegan berkelebat, tayangan orang kesakitan.

Bagaimana tega aku harus terus melihatmu begitu, Bang... dibatinnya saja kalimat itu. Merangkul badanmu sendiri dengan mulut terkatup rapat dan rahang mengencang?

Aku ingin bilang, aku paham kenapa kamu sakit.

Aku ingin bilang, aku sakit melihat kamu sakit.

Namun semua ini melumpuhkan syaraf lidahku.

Kelu. Bisu.


.....

Suara pertama dalam setengah jam terakhir...

Ia tahu prianya tidak benar-benar tidur.

”Kadang aku berpikir kita dilahirkan untuk jadi dua macam kepribadian. Satu menjadi yang diinginkan masyarakat, satunya lagi diri yang sejati. Sayang, yang terakhir ini justru sering dipaksa bersembunyi. Demi yang kau bilang tadi, Bang. Norma, nilai. Sampai kapan kita menjadi pembohong besar bagi diri sendiri?”

”Kamu membuat ngantukku minggat!”, pria itu mendekati wajah perempuannya, ”Lebih baik kita merdekakan saja diri kita dengan mendengar suara milik diri sejati."

Usai berkata, sang pria melepaskan tubuh dari pelukan si perempuan, berdiri menuju meja kusam di sudut ruangan. Diambilnya sebungkus rokok yang hampir kadaluarsa, disulut tanpa sabar, menghisapnya dalam-dalam. Seketika bulatan demi bulatan asap menyembul dari hidung dan mulutnya.

Belum habis, tapi batang isi tembakau itu dibuang ke lantai.

Tangannya bergerak bimbang seperti ingin meraih tangan si perempuan, tapi ia urungkan niat itu.


”Kamu tahu, kita sedang belajar untuk itu,” diremasnya pundak perempuannya tiba-tiba.

Ditatapnya tajam, ”Kita belajar! Meski jadi semacam buronan. Itu cuma bungkus. Dan bungkus bisa dipasangkan berupa apa saja, tergantung kemasan seperti apa yang diterima orang di luar sana. Aku nggak suka menjawab ini. Kita bukan barang dagangan. Apalagi macam makanan dalam kemasan yang sekali habis lalu dibuang. Kurasa hatimu tahu. Seperti hatiku pun tahu".


Hening beberapa lama.

Perempuannya terisak memeluk lutut. Nyeri yang tadi menjalar kini bertambah, dengan hadirnya pilu. Sakitnya berjuta kali lipat dari sekadar waktu nagih.

Sang Pria menoleh sesaat. ”Aku memutuskan bersamamu, karena kamu yang mampu membuat diriku tercermin secara utuh. Bukan lantaran takut sepi. Kalau mau, aku... Aku mampu hidup sendiri”, gumpalan emosi itu dimuntahkannya dengan memukul tembok.

Perempuannya berdiri dan berlari. Direngkuh prianya dari belakang. Dibalikkannya tubuh itu perlahan. Ia eratkan lagi rengkuhannya dari yang tadi. Meresapi desiran dan aroma napas meski tak wangi. Udara yang menghidupi mereka berdua.

Dikecupnya kening Sang Pria dengan takzim.

”Aku sudah tahu jawabannya, Bang... Bahwa nilai, norma, adalah harga yang harus dibayar untuk menebus surga”.

Direngkuhnya sungguh-sungguh, dihapusnya air mata si perempuan dengan punggung jarinya. Diucapkannya satu prasasti lisan dengan tekanan tak biasa, “Aku mencintaimu, lebih dari surga itu”

...


Seseorang yang tinggal di rumah seberang terkesiap.

Dari balik tirai ia melihat, rumah yang disekap pengap itu memendarkan cahaya.

Menembus langit hitam, yang sebentar lagi terang dijemput azan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun