Namun semua ini melumpuhkan syaraf lidahku.
Kelu. Bisu.
.....
Suara pertama dalam setengah jam terakhir...
Ia tahu prianya tidak benar-benar tidur.
”Kadang aku berpikir kita dilahirkan untuk jadi dua macam kepribadian. Satu menjadi yang diinginkan masyarakat, satunya lagi diri yang sejati. Sayang, yang terakhir ini justru sering dipaksa bersembunyi. Demi yang kau bilang tadi, Bang. Norma, nilai. Sampai kapan kita menjadi pembohong besar bagi diri sendiri?”
”Kamu membuat ngantukku minggat!”, pria itu mendekati wajah perempuannya, ”Lebih baik kita merdekakan saja diri kita dengan mendengar suara milik diri sejati."
Usai berkata, sang pria melepaskan tubuh dari pelukan si perempuan, berdiri menuju meja kusam di sudut ruangan. Diambilnya sebungkus rokok yang hampir kadaluarsa, disulut tanpa sabar, menghisapnya dalam-dalam. Seketika bulatan demi bulatan asap menyembul dari hidung dan mulutnya.
Belum habis, tapi batang isi tembakau itu dibuang ke lantai.
Tangannya bergerak bimbang seperti ingin meraih tangan si perempuan, tapi ia urungkan niat itu.
”Kamu tahu, kita sedang belajar untuk itu,” diremasnya pundak perempuannya tiba-tiba.