Ia seperti diingatkan. Prianya selalu ada, seperti udara.
Lama ia terdiam, hingga yang terdengar lirih.. ”Apa bisa, kita berhenti menghirup udara?”
Mengucapkan kalimat itu butuh tenaga ekstra. Mendadak ngilu menjalar pelan dari ulu hati ke seluruh tubuhnya. Efek etepnya minta ditambah, atau karena sebuah sebab bernama entah.
Sang pria melepas pelukannya. Mengganti posisi berbaring jadi bersandar pada dinding. Hapal ia pada kebiasaan yang satu ini. Tak ada yang ditinggalkannya begitu saja kalau belum paripurna.
Ditariknya napas...
”Kematian rasa”, malas-malasan ia menjawab.
”Apa harus mati rasa dulu untuk bisa hidup sebagai manusia? Pfffhhhh...” bangkit Perempuan ke sisi Sang Pria, meletakkan lagi kepala di atas dadanya. Merapatkan telinga. Mencoba menemukan damai dari sekeping hati yang ia percaya, adalah pasangannya. Degup yang ia yakini, memompa hidupnya.
Masih terasa, bagaimana perih dirinya tadi melihat jarum tertancap di lengan si pria. Ketika darah masuk ke dalam syringe. Ketika ia nyerocos dengan kata-kata tak karuan. Ketika adegan demi adegan berkelebat, tayangan orang kesakitan.
Bagaimana tega aku harus terus melihatmu begitu, Bang... dibatinnya saja kalimat itu. Merangkul badanmu sendiri dengan mulut terkatup rapat dan rahang mengencang?
Aku ingin bilang, aku paham kenapa kamu sakit.
Aku ingin bilang, aku sakit melihat kamu sakit.