Temuan berikutnya adalah kekeliruan sejumlah hakim di Pengadilan Agama yang telah mengeluarkan putusan hukum memberikan hak waris kepada ahli waris pengganti, anak angkat, dan ahli waris beda agama dengan pertimbangan wasiat wajibah - pada umumnya terlalu mempertimbangkan asas legalitas - yakni dalam Pasal 173 KHI tidak dicantumkan secara verbal kata-kata "non Muslim", sehingga wasiat wajibah dijadikan pertimbangan hukum pemberian hak waris selain pertimbangan kemanusiaan. Padahal argumen tersebut merupakan suatu hal yang menyimpang jika tidak bertentangan dengan ketentuan syari'at dan ditolak oleh kalangan ulama mujtahid/jumbur. Olen karena itu, ketentuan waris bagi ahli waris pengganti, anak angkat, dan ahli waris beda agama dalam KHI hendaknya "direkonstruksi" untuk dikemÂbalikan kepada ketentuan al-Qur'an dan Sunnah.
Berkenaan pada rumusan kesimpulan di atas, peneliti mengajukan tiga catatan penting sebagai saran atau rekomendasi dari penelitian ini, antara lain :
1 .   Perlu dilakukan ' penelitian lebih lanjut dan mendalam mengenai hukum ahli waris pengganti dalam KHI, terutama Pasal 171, 172, 173, 174, 177, 185, 191, 208 dan 209. Pasal-pasal tersebut hendaknya direkonstruksi kembali dan/atau diamandemen agar sesuai dengan al-Quran dan Hadits. Pencetus ahli waris pengganti, Hazairin sudah cukup "berani" mengembangkan penafsiran QS. An Nisa' (4) : 33, melalui pendekatan hukum Adat dalam rangka usahanya menghidup-suburkan teori receptie. Namun demikian, penafsiran ayat-ayat hukum yang diformulasi ke dalam peraturan tidak dibenarkan bertentangan dengan nash-nash syari'at.
2.  Kalangan akademisi pada Fakultas Syari'ah dan Hukum di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) serta hakim di Pengadilan Agama hendaknya lebih pro aktif mengkaji, menggali, dan menemukan rumusan-rumusan hukum Islam yang baru, serta bukan hanya terpaku atau mengacu kepada hukum materil, atau hanya kepada yurisprudensi yang sudah ada;
3.   Aparatur pemerintahan dan pengambil kebijakan pada tingkat legislatif, eksekutif, dan yudikatif hendaknya menindaklanjuti temuan penelitian ini dengan menyusun Rancangan Undang-Uadang Hukum Kewarisan, Islam untuk selanjutnya ditetapkan sebagai instrument hukum waris bagi umat muslim di Indonesia, seperti halnya UU Peradilan Agama, UU Perkawinan, UU Perwakafan, UU Penyelenggaraan Haji, dan UU Perbankan Syari'ah.
Menyusul  "Pengadilan Dinegaraku Yang Tidak Adil (2)"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H