Mohon tunggu...
Ashwin Pulungan
Ashwin Pulungan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Semoga negara Indonesia tetap dalam format NKRI menjadi negara makmur, adil dan rakyatnya sejahtera selaras dengan misi dan visi UUD 1945. Pendidikan dasar sampai tinggi yang berkualitas bagi semua warga negara menjadi tanggungan negara. Tidak ada dikhotomi antara anak miskin dan anak orang kaya semua warga negara Indonesia berkesempatan yang sama untuk berbakti kepada Bangsa dan Negara. Janganlah dijadikan alasan atas ketidakmampuan memberantas korupsi sektor pendidikan dikorbankan menjadi tak terjangkau oleh mayoritas rakyat, kedepan perlu se-banyak2nya tenaga ahli setingkat sarjana dan para sarjana ini bisa dan mampu mendapat peluang sebesarnya untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang produktif dan bisa eksport. Email : ashwinplgnbd@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kacaunya Urusan Di Komisi Yudisial (KY)

30 September 2011   16:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:28 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini merupakan pengalaman nyata seorang teman yang berurusan dengan "KOMISI YUDISIAL (KY)" teman ini mengalami kerumitan yang mengundang anggapan kuat masih tetap berlangsungnya Mafia Hukum pada jajaran menengah bawah pada lembaga hukum kita. Teman ini  menggambarkan pengalaman ketika mengalami persidangan betapa carut-marutnya Pengadilan Agama Islam Negeri disamping para Hakimnya yang sering terpengaruh Mafia Hukum dan para Hakim ini juga memakai KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang telah dicemari oleh Hukum non-Islam selama ini apalagi KHI hanya berstatus merupakan (Inpres) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 kepada Menteri Agama. Teman ini juga mengalami situasi yang sangat mengherankan ketika mengadukan perilaku Hakim yang tidak adil dan sangat berpihak kepada kekuatan duit kepada KOMISI YUDISIAL (KY). Inilah lanjutan pengamatan dan pengalaman teman ini sejak tahun 2007 sampai kini Agustus -September 2011.

Pengalaman saya dengan KY pada tahun 2007.

Saya telah ditipu berupa "Investasi" oleh saudara sepupu suami saya. Selanjutnya Dia pura2 tertipu juga, yang menipu adalah keponakannya sendiri.  Kami pakai Pengacara Iwan Hilmansyah (ternyata pengacara bermasalah).  Perkara berjalan pincang dan memihak terlihat dari sikap Hakim. Saya tulis keluhan itu di Koran Kompas. Dan Pengacara mengarangkan surat pengaduan ke KY mohon pemantauan. Baru dua hari melapor, sudah datang pemantau  namanya Syaiful dan Andi  (Andi kini di bagian Pengaduan KY). Katanya mereka sudah cek ke kantor Panitera.  Kata Syaiful, yang mantan Pengacara di Bandung, saya harus punya bukti2 indikasi "suap" atau bukti foto Hakim" bertransaksi" dengan pihak lawan. (Apakah Mungkin ?!)

Saya berupaya mengajak  orang KY itu ke Kantin yang berada di depan PN, dipertemukan dengan kedua Pengacara saya.  Sepertinya mereka tidak saling kenal. Kata Pak Syaiful : "Nah, tinggal kepintaran Pengacara untuk NEGO pengembalian uang. Buat apa orang dihukum, uang tidak bisa lagi kembali", katanya. Aneh, tiba2 masuk Terpidana yg baru kemarinnya dikabulkan "penangguhan tahanan"nya, bersama dua pengawal tegap, istrinya dan pengacaranya. Jadi baru keluar  "penjara. Si Terpidana sengaja duduk tepat di kursi yg saling berpunggungan dengan saya. Saya memberi isyarat kepada Pak Syaiful, bahwa si Terpidana adalah yg ini. Kemudian Pengacara saya bicara dengan Pengacara lawan minta waktu bertemu.

Namun begitu KY terus minta tambahan bukti, Sungguh saya kecewa datang ber-kali2 ke KY Pernah bersama suami saya juga karena surat undangan resmi KY untuk saya ber-AUDIENSI dengan  Komisioner Zainal Arifin. Kami berdua datang tepat waktu, ternyata menunggu dua jam, lalu ternyata Pak Syaiful lagi yang terima saya, dia katakan bahwa sang Komisioner Pak Zainal Arifin tiba-tiba berhalangan. Pikir  saya, teguran dari KY akan membuat Hakim benar dan adil dalam PUTUSAN, dan si Terpidana memilih damai dengan mencicil, tidak akan terpantau apalagi tersolusi  oleh KY.

Bukti rekaman beda PUTUSAN Hakim antara yg diucapkan dan yang ditulis, di TES oleh Pak Syaiful. Alat perekam sudah siap di ruangan itu, sesuai surat permohonan Audiensi, akan membawa bukti rekaman. Pak Syaiful menyuruh anak buahnya memasang. Ternyata kresek2 tidak terdengar sama sekali. Pertemuan kali itu menjadi NOL kosong.  Belakangan ini saya sadar, bahwa Pengacara saya Iwan Hilmansyah pasti sudah kenalan lama dengan Pak Syaiful yg mantan Pengacara di Bandung. Semua hanya SANDIWARA pura-pura tidak kenal. Membuat anggapan kita semua bahwa Pengacara, Hakim dan Yang berperkara bila punya duit, bisa memenangkan sebuah perkara secara tidak adil.

AMBURADULNYA SISTEM ADMINISTRASI KOMISI YUDISIAL (KY)

Terasa sekali KY memberi harapan boleh Audiensi, ternyata waktu saya datang hanya dicegat Sdr. Hardi, staf bagian investigasi.  Sebelumnya Hardi menelepon ke Bandung, menanyakan alasan permohonan Audiensi saya.

Saya kisahkan upaya saya ke DPR, kontak telepon dengan Eva Sundari (PDI-P) dan pertemuan dengan Ahmad Yani  (PPP) di  DPR Komisi III. Ahmad Yani langsung menelepon Pak Suparman Marzuki, Komisioner Investigasi di KY saat itu meneleponnya didepan saya, menyampaikan bahwa saya dulu pernah  ceramah di UII Yogya, diundang Senat Mahasiswa UII, diantaranya Pak Suparman (menurut temannya di Yogya). Kemudian nama saya, nomor perkara dan tanda terima pengaduan di KY di SMS-kan oleh Ahmad Yani, dan Pak Suparman berjanji akan memantau segera. Apa hanya sandiwara Ahmad Yani ? begitu tanggap dan cepatnya dia memperhatikan masalah hukum saya.

Ketika saya kembali menelepon KY Jakarta, kata Hardi via telepon, dia tidak tahu soal itu, tetap KY harus tunggu PUTUSAN, dan tidak bisa Audiensi. Maka segera saya susul ke Jakarta, minta bertemu langsung Komisioner Suparman Marzuki hanya 5 menit. Hardi menerima saya, minta rumusan soal yg akan disampaikan, karena Pak Suparman sibuk Ujian Kelayakan (Tes) para Calon Hakim Agung. Mencuat lah dialog : "Masyarakat sering salah tafsir  Bu, bahwa KY bisa masuk ke materi perkara. O, tidak, Bu, itu wilayah "kekuasaan Hakim".

Kilah2 ini yg sering didengar orang kalau KY mulai memandang sepele pada perkara yg dilaporkan. Yakni perkara yg terlalu kecil untuk diurus secara nasional oleh lembaga sekaliber KY sehingga harus tersingkir, tetapi sayang kalau "dibuang" karena cukup "bernilai" bagi pembelajaran atau petualangan hukum karena yang akan saya ungkap untuk KY adalah tentang perilaku jahat hakim dan mafia hukum pada acara pengadilan yang saya alami dan banyak masyarakat mengalaminya juga. Timbul prasangka  "diperjual-belikan" (???!!). Karena pernah saya alami tidak jelasnya fungsi KY dan kelambanannya. Beban membuat pengaduan terlalu berat syarat2 nya, disuruh tambah  bukti2 terus-menerus, tetapi apakah itu ada gunanya ? Bahkan alat bukti-bukti administratif dari instansi hukum yang rumit didapat diminta dan masyarakat biasa tidak berwenang mendapatkannya. Sejak kapan perkara mulai "disepelekan", si pelapor pencari keadilan tidak akan tahu. Keluhan, telepon dan bukti2 diterima terus oleh Lembaga KY, sampai diujung, akhirnya ditolak juga.

Hardi terus mendesak, agar saya rumuskan apa yg akan disampaikan melalui Audiensi Komisioner itu "Insya Allah Pak Suparman segera bisa menerima Ibu. Berkas perkara sudah ditumpuk di meja Pak Suparman.  Memang katanya beliau kenal Ibu dan Suami ibu ".  Nah, bohong Lagi !, Paling2 Pak Suparman di Senat Mahasiswa UII Yogya dulu itu kenal dengan suami saya alm, karena kami dihotelkan selama seminggu dalam acara Pekan Busana Muslim, bersama Anne Rufaidah dan Jalaluddin Rachmat.  Rupanya Hardi sekedar "menghibur" setelah saya ceritakan soal telepon Ahmad Yani dari DPR ke Pak Suparman itu.

Dengan penuh harap, karena katanya Pak Suparman ada di lantai atas, terpaksa saya beberkan yg paling rahasia, yaitu mohon wewenang dan pengawalan KY untuk menjebol hambatan di kantor Kemenhukham, meminta data Akta Pencabutan Wasiat suami saya yang digelapkan oleh Notaris ybs. Kata Hardi, itu bukan wewenang KY, itu masalah di luar hal "perilaku hakim".  Konon  Hardi adalah PNS di Kemenhukham yang diperbantukan di KY, Maka dia bantu memberikan nama Agus Djunaidi no. HP 08128121458, dari bagian kenotariatan di kantor Kemenhukham.

Ujung-ujungnya, saya digagalkan lagi untuk Audiensi, walaupun 5 menit

Saya kecewa sekali ketika dikatakan : "Kalau itu tujuan Audiensi, saya katakan tidak perlu. Urusan minta informasi ke kantor Kemenhukham berkaitan dengan tingkah Notaris, itu bukan wewenang KY. Laporkan saja ke bagian Mahkamah Kehormatan Notaris di Kemnehukham itu.

Tidak lupa Hardi menyarankan (menyesatkan? menunda? melalaikan?) agar segera melapor juga ke Ombudsman di Jl. Rasuna Said dekat KPK.

Maka saya harus pergi dulu ke KPK, mau minta bundel pengaduan saya yang sudah dinyatakan ditolak karena tidak sesuai dengan wewenang KPK, untuk saya alihkan ke Ombudsman.  Saya disuruh menunggu, dan tertidur hampir dua jam, baru dibangunkan. Katanya, bundel saya sudah dijadikan soft-copy, karena yang bertanda tangan asli, sudah tersimpan dengan ketat. Terpaksa mencari dulu soft-copy lalu cetak dan jilid.

Heran, bukankah KPK sudah menolak laporan  saya via surat  resmi? Jawabnya, setiap pengaduan yang masuk menjadi "milik" KPK , walau tidak ditangani, karena diperlukan untuk dipelajari bagi perkembangan wewenang KPK nantinya. Pikiran negatif bisa timbul, jangan2 hanya dipakai untuk memperbanyak hitungan perkara masuk untuk penilaian "kinerja" atau "alokasi dana". Baiklah, kalau begitu saya sudah berjasa menyumbangkan  jerih payah membuat pengaduan itu.

BERALIH KE LBH Perwakilan KY BANDUNG

Tiba di Ombudsman, saya menunggu satu jam, baru dilayani. Lalu bercerita panjang lebar sampai satu jam pula dan menyerahkan buku perkara saya. Kesimpulannya, tidak ada yang bisa dilakukan melalui Ombudsman, karena hanya terbatas pengawasan pelayanan publik. Kalau sudah berperkara dengan Notaris, maka jalurnya bukan disitu.

Namun, naskah perkara saya tetap diambil untuk bahan laporan.

Kedatangan berikutnya ke KY Jakarta untuk meminta Audiensi lagi dicegat oleh ANDI di Bagian Pengaduan KY.  Anjurannya, saya harus berhubungan dengan LBH Bandung yang jadi  jejaring pemantau KY. Maka sampailah saya ke kantor LBH Bandung di Jl. Dago. Saya diminta bukti surat tanda terima pengaduan resmi dari KY dan seluruh berkas dalam bentuk buku itu. Tanpa tahu aturan mainnya, saya berikan semuanya, karena kata GATOT (pimpinan LBH Bandung)  berkas itu perlu agar bisa dibantu untuk menganalisa, sehingga mudah dan benar cara melengkapi persyaratan bukti-bukti aduan ke KY (?).

Sampai PUTUSAN Hakim tanggal 10 Agustus 2011 dan tercetak tanggal 17 Agustus 2011, saya serahkan ke pemantau KY di LBH Bandung itu, karena mereka akan memproses laporan secepatnya. Mereka juga minta rekaman Sidang dari saya, dan mereka sertakan dalam laporan. Ternyata tak ada diskusi mengenai itu, dan laporan mereka buat sendiri.

Dari sikap LBH sebgai jejaring KY ini, justru akhirnya mereka mengoreksi saya :

bahwa KHI memang berkembang sampai keponakan bisa jadi Ahli Waris Pengganti. Bahwa KHI memang bukan UU, tetapi tetap "peraturan per-undang2an" yang sah dan terpakai. Ini karena sengeketa sudah masuk, jadi Hakim harus memutuskan berdasarkan KHI . Saya dipersalahkan sejak awal telah mengakui Penggugat sebanyak 23 orang. Saya bantah, tidak, kan saya mempertahankan yang ditentukan Fatwa MUI Bandung itu, hanya 5 orang dengan bagian sama rata. Mereka mengelak berdebat.

Tanggal 24 Agustus 2011, saya bertanya dengan menelepon Sdri.Hanita dari LBH, mengapa biaya perkara Banding begitu mahal, ada biaya kirim untuk  4 orang wakil Penggugat di Jakarta, lalu Notaris dan BPN. Hanita yg senior di LBH menyuruh Steven dan Destri mengawal saya. Akhirnya biaya jadi dihitung lagi, dari sekitar Rp. 3.5 juta  menjadi Rp. 2.300.000,-  Sambil lalu saya tanya, mengapa mereka berpendapat posisi saya sudah lemah, bukankah ada perbedaan pendapat  antara ahli Waris 5 orang dengan bagian rata dan  Ahli Waris Pengganti hingga 23 orang.

Jawab mereka telak sekali : Ibu memasukkan ke Fatwa MUI itu nama2 keponakan dan anak-anak keponakan juga. Berarti Ibu mempertanyakan mereka sebagai Ahli Waris. Jadi tinggal perbedaan Fatwa MUI dengan KHI saja. Ya, lebih kuat aturan KHI. Keadaannya memang begitu Bu. KY tidak bisa campur ke materi perkara dan kebebasan Hakim memilih.

Astaga, pola pikir mereka ternyata sama benar dengan para Hakim dari sejak awal Sidang pertama saya mengajukan Fatwa MUI tersebut.

Selanjutnya mereka mengatakan, dengan mengajukan nama2 lengkap ke Fatwa Waris MUI, maka nama yg diajukan dan pengenalan saya terhadap KTP dan Akta Lahir mereka di depan Sidang, ya, berkekuatan hukum, sudah berlaku  sebagai pengakuan  Ahli Waris Pengganti itu. KHI memang memungkinkan Ahli Waris Pengganti dengan pengakuan.

Jadi yang mereka laporkan sebagai keganjilan persidangan perkara hanya:

(1) jabatan rangkap Hakim dan Ketua Majelis sebagai Mediator.

(2) tidak ada "legal standing" Penggugat dalam mengajukan gugatan.

Gelagatnya, bahwa hal itu tidak cukup serius untuk membantu perkara saya, kecuali sekedar  "memberi peringatan" kepada Hakim tersebut.

Dari sikap tidak antusiasnya menangkap kesalahan "legal standing" itu secara serius, saya tangkap sikap setengah hati.  "Kita tidak tahu, apa hanya karena Hakim-nya bodoh", kata Steven, seperti membela Hakim.  Hanita menganjurkan saya melaporkan Notaris-nya dulu, tanyakan caranya ke dosen Notariat yang saya kontak di Jakarta, karena gara2 Notaris membuat "wasiat", saya dirugikan dalam maksud "hibah" hadiah.

Destri minta saya menjajarkan lagi bukti2 nomor satu hingga 46, dibuat dua kolom komentar tentang sikap Hakim, kolom pertama sikap Hakim di ruang Sidang, kolom kedua di sikap Hakim di dalam amar PUTUSAN.

Lebih dari itu mereka minta SOFT COPY dari semua yg saya ketikkan dalam proses Sidang, agar bisa dibantu mempercepat laporan ke KY. Semua belum saya lakukan, kok seperti saya yg beri  "service" ke KY. Sikap setengah hati mereka, juga mempengaruhi saya, patah semangat.

Tanggal 24 Agustus 2011 mereka tunjukkan draft laporan kepada saya, banyak yang saya anggap lemah, tetapi tetap wajib mereka kirim cepat2 ke KY agar setidaknya perkara saya di REGISTRASI agar bisa Audiensi.

Tanggal 9 Sept. 2011 saya telepon KY, ternyata laporan mereka tidak ada diterima, kasus saya tetap belum di REGISTRASI di KY(??) .  Yg terima Sinta, Bagian Pengaduan KY. Satu jam kemudian saya telepon lagi, yg terima ANDRI, pengganti ANDI yg dipindahkan ke bagian Keuangan.

Andri mengatakan sama sekali tidak ada surat masuk dari berkas saya.

Saya cek ke Sdri.Destri di Bandung, jawabannya sedikit kalang kabut (???). Sudah dikirim dengan alamat Pak Mukti dari KY, yaitu yg meresmikan LBH Bandung sebagai mitra KY tanggal 12Juli 2011 yg lalu. Tapi nggak tahu siapa yg mengirim, mungkin ke alamat  rumahnya. Tentu saja saya bereaksi menyesalkan, masak urusan  rahasia KY dikirimkan ke rumah !

Kemudian saya telepon  KY di Jakarta. Yang terima Wiwik (resepsionis). Saya minta tolong disambungkan ke Pak Mukti, soal berkas saya yang dikirim oleh KY Bandung.  Wiwik mengatakan, kalau surat masuk pasti resepsionis yg terima, yaitu dia dan temannya. Saya desak, tolong di-cek bersama temannya itu. Wiwik mengatakan agar saya menelepon lagi.   Saya tak mau, tolong saja cek catatan penerimaan di meja resepsionis !

Maka cukup lama Wiwiek men-cek, menghabiskan pulsa telepon saya. "O, ada dari LBH Bandung dengan u/p Abdul Mukti. Ya, memang orang KY di bagian investigasi.  Surat masuk tgl. 5 Sept. 2011, pas habis libur.  Langsung saya berikan ke Pak Abdul Mukti, saya kan tidak tahu isinya, bahwa itu tambahan berkas kasus Ibu. Ya, nanti saja konfirmasi". Kesan saya, Wiwiek ini berbohong melihat daftar surat masuk itu, demi menyelamatkan citra KY. Kalau surat masuk 5 Sept. 2011 sedang dikirim tgl. 26 Agustus 2011 menurut Destri, berarti itu dosa Kantor POS. Surat itu tentu dikirim ke rumah Abdul Mukti, justru karena libur lebaran !!!! mengundang sakwa sangka baru.

Sore itu juga, tgl. 12 September 2011,  saya cek lagi ke Sinta di Bagian Pengaduan, katanya, dia baru diberitahu dan akan segera memasukkan berkas tambahan itu kedalam file kasus saya. Lalu, bahwa saya harus menunggu satu minggu untuk rapat staf ahli, untuk menentukan apakah bukti sudah cukup untuk REGISTRASI perkara untuk ditangani oleh KY. Wow, berarti dua bulan lebih kasus saya nongkrong  di KY sejak masuk tgl. 11 Juli 2011, dan baru akan ketahuan nasibnya 19 Sept. 2011 y.a.d. Beginikah kinerja KY untuk menangani kasus para Hakim yang bersifat kejahatan extraordinary ? Ditangani secara biasa-biasa saja.

Waktu dua bulan itu telah mengalami PUTUSAN Hakim dan hampir habis waktu kini untuk membuat MEMORI BANDING.  Bayangkan, DUA BULAN masih mungkin belum memenuhi syarat kelengkapan dari  KY ! Mereka terlambat "menggertak" Hakim seperti yang saya harapkan. Padahal jelas perkaranya "melenceng", seperti  uraian saya di atas.

Saya tanya ke Destri di perwakilan KY Bandung (LBH Bandung), what next ! Katanya mereka sebagai mitra KY sedang ditugaskan mengecek kekayaan Hakim ybs. Pak Acep Saefuddin SH itu. Saya tercengang, bagaimana mungkin anak2 baru lulus sarjana hukum di LBH itu, seperti baru kerja praktek, dijadikan  "polisi intelijen" pengintai dari KY Pusat ? Destri tertawa atas komentar saya itu. "Memang itu tantangan kami Bu". Beginikah cara kinerja KOMISI YUDISIAL (KY) ? yang dibiayai oleh uang rakyat menangani kasus kejahatan Hakim yang bersifat extraordinary dijalankan secara lamban sekali, bisa terjadi  sangat banyak masyarakat Indonesia akan dan telah  dirugikan oleh kinerja dari KOMISI YUDISIAL  seperti ini. (Ashwin Pulungan)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun