Hardi terus mendesak, agar saya rumuskan apa yg akan disampaikan melalui Audiensi Komisioner itu "Insya Allah Pak Suparman segera bisa menerima Ibu. Berkas perkara sudah ditumpuk di meja Pak Suparman. Memang katanya beliau kenal Ibu dan Suami ibu ". Nah, bohong Lagi !, Paling2 Pak Suparman di Senat Mahasiswa UII Yogya dulu itu kenal dengan suami saya alm, karena kami dihotelkan selama seminggu dalam acara Pekan Busana Muslim, bersama Anne Rufaidah dan Jalaluddin Rachmat. Rupanya Hardi sekedar "menghibur" setelah saya ceritakan soal telepon Ahmad Yani dari DPR ke Pak Suparman itu.
Dengan penuh harap, karena katanya Pak Suparman ada di lantai atas, terpaksa saya beberkan yg paling rahasia, yaitu mohon wewenang dan pengawalan KY untuk menjebol hambatan di kantor Kemenhukham, meminta data Akta Pencabutan Wasiat suami saya yang digelapkan oleh Notaris ybs. Kata Hardi, itu bukan wewenang KY, itu masalah di luar hal "perilaku hakim". Konon Hardi adalah PNS di Kemenhukham yang diperbantukan di KY, Maka dia bantu memberikan nama Agus Djunaidi no. HP 08128121458, dari bagian kenotariatan di kantor Kemenhukham.
Ujung-ujungnya, saya digagalkan lagi untuk Audiensi, walaupun 5 menit
Saya kecewa sekali ketika dikatakan : "Kalau itu tujuan Audiensi, saya katakan tidak perlu. Urusan minta informasi ke kantor Kemenhukham berkaitan dengan tingkah Notaris, itu bukan wewenang KY. Laporkan saja ke bagian Mahkamah Kehormatan Notaris di Kemnehukham itu.
Tidak lupa Hardi menyarankan (menyesatkan? menunda? melalaikan?) agar segera melapor juga ke Ombudsman di Jl. Rasuna Said dekat KPK.
Maka saya harus pergi dulu ke KPK, mau minta bundel pengaduan saya yang sudah dinyatakan ditolak karena tidak sesuai dengan wewenang KPK, untuk saya alihkan ke Ombudsman. Saya disuruh menunggu, dan tertidur hampir dua jam, baru dibangunkan. Katanya, bundel saya sudah dijadikan soft-copy, karena yang bertanda tangan asli, sudah tersimpan dengan ketat. Terpaksa mencari dulu soft-copy lalu cetak dan jilid.
Heran, bukankah KPK sudah menolak laporan saya via surat resmi? Jawabnya, setiap pengaduan yang masuk menjadi "milik" KPK , walau tidak ditangani, karena diperlukan untuk dipelajari bagi perkembangan wewenang KPK nantinya. Pikiran negatif bisa timbul, jangan2 hanya dipakai untuk memperbanyak hitungan perkara masuk untuk penilaian "kinerja" atau "alokasi dana". Baiklah, kalau begitu saya sudah berjasa menyumbangkan jerih payah membuat pengaduan itu.
BERALIH KE LBH Perwakilan KY BANDUNG
Tiba di Ombudsman, saya menunggu satu jam, baru dilayani. Lalu bercerita panjang lebar sampai satu jam pula dan menyerahkan buku perkara saya. Kesimpulannya, tidak ada yang bisa dilakukan melalui Ombudsman, karena hanya terbatas pengawasan pelayanan publik. Kalau sudah berperkara dengan Notaris, maka jalurnya bukan disitu.
Namun, naskah perkara saya tetap diambil untuk bahan laporan.
Kedatangan berikutnya ke KY Jakarta untuk meminta Audiensi lagi dicegat oleh ANDI di Bagian Pengaduan KY. Anjurannya, saya harus berhubungan dengan LBH Bandung yang jadi jejaring pemantau KY. Maka sampailah saya ke kantor LBH Bandung di Jl. Dago. Saya diminta bukti surat tanda terima pengaduan resmi dari KY dan seluruh berkas dalam bentuk buku itu. Tanpa tahu aturan mainnya, saya berikan semuanya, karena kata GATOT (pimpinan LBH Bandung) berkas itu perlu agar bisa dibantu untuk menganalisa, sehingga mudah dan benar cara melengkapi persyaratan bukti-bukti aduan ke KY (?).