Mohon tunggu...
Ade Wahyudi
Ade Wahyudi Mohon Tunggu... -

Kembara Cinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bola Liar Kenakalan Remaja

25 Oktober 2015   16:46 Diperbarui: 25 Oktober 2015   18:43 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah sudah berapa lama, saya hidup tanpa banyak aktifitas. Aktifitas akademis sebagai tenaga pendidik di salah satu sekolah swasta sudah berakhir, konsekuensi keilmuan-pun otomatis menguap begitu saja.

Bukan tanpa alasan hal itu terjadi, cukup sulit untuk menceritakannya. Tapi tak cukup baik juga jika ini di kumur lama-lama.

Menjadi seorang yang idealis itu susahnya bukan main, jalan-jalan seperti tertutup, seolah bumi menolak kehadiranku. 

Siang itu kepala sekolah meminta saya menghadap, menghujani saya dengan banyak pertanyaan. Tidak ada asap jika tidak ada api tentunya, pemanggilan itu dilakukan setelah saya beberapa kali melakukan penindakan terhadap siswa dengan cara yang tidak umum. Saya menggunting celana seorang siswa dg seragam bergaya punk, saya mem-pylox baju siswa yang melakukan corat-coret tembok warga, saya melakukan pemukulan -tamparan- kepada siswa yang melakukan asusila (persis di depan mata), saya sangat yakin semua guru setidaknya tau dengan hal-hal seperti itu.

Semua penindakan yang saya lakukan berdasar pada prilaku siswa yang saya rasa tidak perlu adanya toleransi lagi, memberikan toleransi berulang-ulang hanya akan menjadikan kenakalan dan gejala kenakalan remaja menjadi bola liar, akan memantul ke segala arah dan menyebabkan kerusakan dibanyak tempat.

Kenakalan pada remaja memang sudah wajar, tapi jika keterlaluan tentu jangan dibiarkan. Pemanggilan oleh kepala sekolah saat itu terjadi setelah perdebatan sengit saya dengan salah satu orang tua murid. Dan perdebatan itu  terjadi karena hukuman yang saya berikan kepada anaknya.

Saya masih ingat betul, tiga kali saya memperingatkan siswa tersebut untuk tidak lagi mengenakan seragam -celana- dengan model skiny (ketat) mirip legging, dan mengatung 15 cm diatas mata kaki, yang umumnya gaya seperti banyak ditampilkan oleh anak-anak remaja yang menyebut mereka menganut gaya hidup punk.

Sampai pada akhirnya, teguran ketiga tidak digubris juga, saya bertindak frontal dengan menggunting celananya dari bagian bawah sampai hampir ke daerah lutut. Kemudian saya meminta siswa tersebut untuk pulang pada hari itu.

Tak dinyana, orang tua siswa datang kerumah sambil dengan makian yang membabi buta.

"Guru macam apa Anda, main sobek-sobek seragam anak saya!!!" dengan penuh emosi si bapak mendampat di depan rumah..

Tak lama, kejadian itu akhirnya menyita banyak perhatian tetangga

"Sebaiknya masuk dulu Pak, kita bicara di dalam, tidak enak di lihat tetangga" saya mencoba menangkan, meskipun Bapak saya pun jadi ikut emosi melihat jari telunjuk si Bapak tadi tepat di muka..

Saya-pun mempersilahkan si Bapak tadi untuk duduk..

"Saya mengerti kenapa Bapak marah, pasti ini berkaitan dengan Randy" saya mencoba mengawali

"Saya sudah peringatkan dia berulang kali, untuk tidak menggunakan gaya seragam seperti itu Pak" lanjut saya menjelaskan

"Tapi jangan seperti itu Pak, celana di gunting!!" suaranya masih meninggi

"Pak.. gaya berpakaian seperti sangat tidak pantas untuk seorang pelajar" saya berusaha tenang..

"Ya tapi jangan seperti itu dong caranya, saya kan sudah bayar, harus baik-baik dong!!!" suara semakin meninggi..

"Begini Pak, berapa bapak bayar SPP sebulan?" kali ini saya terpancing 

"170.000 Pak!!" dengan pedenya si Bapak tadi menjawab

"Oke, sekarang saya mau itung-itungan, Bapak tau berapa jumlah guru di sekolah?" tanya saya pada si Bapak

"Ya nggak tau lah Pak" si Bapak menjawab sederhana

"Baik, saya akan kasih tau" sambil sedikit mengatur tempo agar tidak lepas emosi

"Bapak harus tahu, Jumlah guru di sekolah adalah 17 orang, sekarang jika setiap bulan bapak mengeluarkan uang Rp. 17.000,- kemudian dibagi 17 orang guru, berapa bapak membayar saya dan guru-guru yang lain dalam satu bulan?" saya berusaha mengajak si Bapak untuk mulai berpikir

Dia tidak menjawab, entah karena malu, atau dia kesulitan menghitung untuk dapat menjawab pertanyaan saya..

"Berapa Pak?" telisik saya pada si Bapak

"Sepuluh ribu" singkat dia menjawab

"Apa yang Bapak harapkan dengan disekolahkannya anak Bapak?" saya terus memburu si Bapak

"Biar pintar Pak" sahutnya menjawab

"Apalagi Pak?" semakin ligat saya mengintrogasi

"Biar disiplin" lanjutnya menanggapi

"Apalagi? masih ada?" suara saya rendahkan agar tidak kembali terbawa emosi

Dia kembali terdiam..

"Bapak.. sekarang coba Bapak renungkan, dengan sepuluh ribu rupiah bapak minta saya membuat anak bapak pintar, disiplin, dan lain-lainnya, kira-kira menurut Bapak sebanding ngga harapan bapak dengan uang yang harus bapak keluarkan?" lamat-lamat saya mulai menekan secara halus..

"Maaf Pak, bukan saya mau perhitungan, atau kalo bapak bilang saya tidak ikhlas, silahkan, ini terlanjur menjadi tidak ikhlas karena kejadian ini" ternyata ucapan saya membuat si Bapak menekuri diri

"Sekarang, menurut Bapak pantas atau tidak, anak bapak ke sekolah dengan gaya seperti itu, kenapa saya menggunting celana Randy? karena saya sudah ingatkan dia sebanyak tiga kali Pak, tapi dia tidak juga berubah, bahkan saya sudah memberikan celana buat dia pak, tapi gak tahu dikamanakan celana itu" papar saya kepada si Bapak

"Sekarang, jika Bapak menjadi saya bagaimana?" saya coba mengajaknya berpikir lebih dalam

Beberapa menit terasa begitu hening, si Bapak tidak juga menjawab

"Saya mohon pamit" tiba-tiba ia menjawab, tapi hendak pamit

"Iya Pak, saya mohon maaf Pak jika ada kata-kata yang kurang baik" ucap saya sambil menyambut uluran tangannya..

Perdebatan itu berakhir begitu saja, tanpa klimaks yang jelas..

Esoknya, saya pergi kesekolah seperti biasanya, ada yang aneh, ketika saya hendak menaruh tas di punggung kursi, saya melihat sebuah amplop putih dengan kop sekolah di atas meja.

Lamat-lamat saya membukanya, menyermati isi dari surat tersebut, ternyata surat tersebut adalah surat pemberhentian tugas sebagai tenaga pengajar. Terhitung hari itu juga.

Dalam pikiran, saya sudah menerka kemana arah asal muasala datangnya surat ini. Yang ada dalam pikiran saat itu, saya tidak perlu melakukan pembelaan diri, cukup terima dan segera pamitan.

Tas yang baru saja tersangkut segera saja saya ambil, beberapa barang pribadi yang biasa tertata di meja lengsung saya kemasi ke dalam tas ransel hitam berusia tiga setengah tahun.

Saat itu masih cukup pagi,  tidak banyak guru yang sudah datang, maka sayapun berpamitan sekenanya, hanya beberapa guru saja yang saya temui dan meminta maaf jika banyak hal yang tidak berkenan.

Dari kejadian ini saya banyak menyimpulkan bahwa tidak semua lembaga penyelenggara pendididikan seutuhnya siap untuk mendidik siswa-siswi yang dititipkan oleh para orang tua.

Terputusnya aktifitas mengajar membuat saya banyak menilisik tentang kejanggalan-kejanggalan perilaku remaja yang dulu tabu kini menjadi lumrah. Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi perhatian saya dalam dunia pendidikan. 

1. Mendidik Bukan Perkara Mendadak

Banyak sekali orang tua murid, mematok standar tinggi dalam urusan menyekolahkan anak-anaknya. Ingin anaknya pintar, cerdas, berprestasi, jujur, disiplin dan segala macam bentuk kepribadian yang berkaitan dengan perkembangan anak-anaknya. Entah apa yang ada di dalam pikiran kebanyakan orang tua sampai-sampai dengan beraninya mematok standar tersebut dan memundaktanggungjawabkan kepada sekolah umumnya dan guru khususnya.

Tidak bisa jika sepenuhnya pendidikan dinisbatkan secara penuh hanya kepada sekolah, hakikatnya sekolah hanya tindak lanjut atau lanjutan dari hasil tempaan sebuah keluarga terhadap anaknya. Pun demikian dengan sekolah, elemen internal sekolah harus memahami betul fungsi dasar lembaga penyelenggara pendidikan. Pendidikan adalah proses yang panjang didalamnya tidak sebatas belajar mengajar tapi lebih jauh dari itu sebagai supervisor dari setiap anak didik, memantau dan memastikan secara penuh kelayakan-kelayakan pribadi seorang siswa baik dari sisi kemampuan intelektual, keseimbangan emosional, sampai kedalaman spiritual.

Perlu di tekankan kepada setiap orang tua, bahwa mendidik bukanlan perkara mendadak. Siswa bodoh mendadak pintar, siswa nakal mendadak alim, kenyataanya dilapangan tidak begitu, banyak tahapan-tahapan yang mesti ditempuh dan pendidikan tidak mengenal "simsalabim abrakadabra". Buang jauh-jauh pandangan bahwa sekolah adalah pemangku utama tugas pendidikan. Jauh dari pada itu pendidikan adalah proses terstruktur yang harus dikerjakan melalui dua poros utama yakni poros rumah dan poros sekolah.

Sekolah, sejatinya hanya akan mengolah sebagian besar sisi intelaktual saja, sementara sisi spiritual dan emosional terkesan sebatas selingan atau pemanis saja, ini terlihat dari seberapa banyak muatan moral dan agama dalam satuan mata pelajaran. Sementara rumah, saya asumsikan sebagai pondasi, kuat dan tidaknya siswa berproses di sekolah bergantung pada kekuatan pondasi tersebut, termasuk sebarapa buruk attitude seorang siswa kemungkinan linear terhadap lingkungan keluarganya.

2. Minimnya Apresiasi dan Media

Fenomena Vandalism dikalangan pelajar sudah sulit untuk dihindarkan, hal ini terbukti dari banyaknya perilaku siswa dalam merusak estetisme fasilitas umum dan juga bangunan. Tidak sedikit pagar rumah menjadi korban, entah apa yang mereka pikirkan, yang terpenting dari coretan-coretan itu mereka merasa ada, merasa ingin diketahui keberadaannya.

Bukankah ini sebuah gejala?, sekali saja meraka melakukan hal itu maka akan merangsang pada reaksi berikutnya. Bahkan bisa dipastikan akan menular ke individu lainnya. Hal ini benar-benar menjadi suatu gejala yang sulit dibendung, ditengarai poros sekolah maupun rumah bisa dipastikan tidak memberikan apa yang sejatinya mereka butuhkan. Apresiasi, pengakuan, pujian adalah kebutuhan dasar dari masing manusia setidaknya begitu Abraham Maslow menyebutkannya, ditambah lagi media untuk memperoleh hal tersebut dipastikan sangat minim atau bahkan tidak ada.

Jika saja di rumah dan di sekolah  pujian atau apresiasi bukan sesuatu yang langka mungkin perilaku vandalisme tidak separah seperti saat ini atau mungkin bahkan tidak ada. Karena kebutuhan mereka akan pengakuan dan pujian  sudah terpenuhi dari keduanya. Hal ini perlu di imbangi dengan adanya media yang dapat menampung pikiran, ide, maupun perasaan. Jika sekolah menyediakan setidaknya beberapa ruangan atau tembok untuk berkreasi sesuai dengan imajinasi siswa mungkin mereka tidak akan repot-repot menjadikan fasilitas umum sebagai media.

3. Redifine Of Guru

Masih relefankah istilah guru bagi seoarang tenaga pengajar? sebagaimana kita ketahui guru selalu dikaitkan dengan digugu dan ditiru lantas apa yang harus digugu dan ditiru oleh seorang siswa terhadap gurunya? nyatanya banyak hal-hal yang tidak bisa kita pungkiri, seorang guru banyak menampakkan sisi-sisi negatif dihadapan siswa. Sebut saja merokok, dewasa ini seperti hilang jarak antara seorang guru dan murid sehingga seorang guru begitu nyaman menghisap rokok saat berhadapan dengan siswa baik di dalam maupun di luar sekolah. Maka jangan salahkan siswa jika mereka dengan mudah dan tanpa rasa bersalah meng-gugu dan meniru perilaku tersebut

Belum lagi seorang guru yang diam-diam menonton blue film -nyata terjadi- di lingkungan sekolah, apakah ini dibenarkan? apakah kemudian hal ini juga harus digudu dan ditiru?  apa yang terjadi jika seperti ini? lantas masih relefankah istilah guru untuk seorang tenaga pengajar?

Tidak aneh jika kemudian banyak sekali kasus asusila yang menjangkiti pelajar, karena bersamaan kita banyak sekali melihat berita mengenai kasus asusila yang dilakukan oleh seorang guru bahkan kepala sekolah. Bukan salah siswa jika demikian, tugas mereka adalah merekam apa yang lihat lantas menggugu dan menirunya.

Berbicara pendidikan kita tidak lepas dari faktor pengaruh. Seorang guru merupakan aktor yang menjalankan fungsi pembentukan karakter siswa, jika ada satu perilaku buruk yang dilakukannya maka tidak menutup kemungkinan energi tersebut akan mengalir pada anak didiknya.

Seharusnya seorang tenaga pendidikan bertindak sebagai sosok yang membentuk profil seorang siswa dengan kata lain ia sebagai profiler. Membentuk dan menempa profil siswa dengan energi positif yang mengalir dalam segala gerak dan ucapannya.

Jika hal ini tidak tersadarkan, atau setidaknya ada upaya untuk kearah sana maka kenakalan remaja  akan semakin ekstrim, kenakalan tersebut akan menjadi bola liar yang akan silih memberikan dampak negatif pada setiap individunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun