Tas yang baru saja tersangkut segera saja saya ambil, beberapa barang pribadi yang biasa tertata di meja lengsung saya kemasi ke dalam tas ransel hitam berusia tiga setengah tahun.
Saat itu masih cukup pagi,  tidak banyak guru yang sudah datang, maka sayapun berpamitan sekenanya, hanya beberapa guru saja yang saya temui dan meminta maaf jika banyak hal yang tidak berkenan.
Dari kejadian ini saya banyak menyimpulkan bahwa tidak semua lembaga penyelenggara pendididikan seutuhnya siap untuk mendidik siswa-siswi yang dititipkan oleh para orang tua.
Terputusnya aktifitas mengajar membuat saya banyak menilisik tentang kejanggalan-kejanggalan perilaku remaja yang dulu tabu kini menjadi lumrah. Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi perhatian saya dalam dunia pendidikan.Â
1. Mendidik Bukan Perkara Mendadak
Banyak sekali orang tua murid, mematok standar tinggi dalam urusan menyekolahkan anak-anaknya. Ingin anaknya pintar, cerdas, berprestasi, jujur, disiplin dan segala macam bentuk kepribadian yang berkaitan dengan perkembangan anak-anaknya. Entah apa yang ada di dalam pikiran kebanyakan orang tua sampai-sampai dengan beraninya mematok standar tersebut dan memundaktanggungjawabkan kepada sekolah umumnya dan guru khususnya.
Tidak bisa jika sepenuhnya pendidikan dinisbatkan secara penuh hanya kepada sekolah, hakikatnya sekolah hanya tindak lanjut atau lanjutan dari hasil tempaan sebuah keluarga terhadap anaknya. Pun demikian dengan sekolah, elemen internal sekolah harus memahami betul fungsi dasar lembaga penyelenggara pendidikan. Pendidikan adalah proses yang panjang didalamnya tidak sebatas belajar mengajar tapi lebih jauh dari itu sebagai supervisor dari setiap anak didik, memantau dan memastikan secara penuh kelayakan-kelayakan pribadi seorang siswa baik dari sisi kemampuan intelektual, keseimbangan emosional, sampai kedalaman spiritual.
Perlu di tekankan kepada setiap orang tua, bahwa mendidik bukanlan perkara mendadak. Siswa bodoh mendadak pintar, siswa nakal mendadak alim, kenyataanya dilapangan tidak begitu, banyak tahapan-tahapan yang mesti ditempuh dan pendidikan tidak mengenal "simsalabim abrakadabra". Buang jauh-jauh pandangan bahwa sekolah adalah pemangku utama tugas pendidikan. Jauh dari pada itu pendidikan adalah proses terstruktur yang harus dikerjakan melalui dua poros utama yakni poros rumah dan poros sekolah.
Sekolah, sejatinya hanya akan mengolah sebagian besar sisi intelaktual saja, sementara sisi spiritual dan emosional terkesan sebatas selingan atau pemanis saja, ini terlihat dari seberapa banyak muatan moral dan agama dalam satuan mata pelajaran. Sementara rumah, saya asumsikan sebagai pondasi, kuat dan tidaknya siswa berproses di sekolah bergantung pada kekuatan pondasi tersebut, termasuk sebarapa buruk attitude seorang siswa kemungkinan linear terhadap lingkungan keluarganya.
2. Minimnya Apresiasi dan Media
Fenomena Vandalism dikalangan pelajar sudah sulit untuk dihindarkan, hal ini terbukti dari banyaknya perilaku siswa dalam merusak estetisme fasilitas umum dan juga bangunan. Tidak sedikit pagar rumah menjadi korban, entah apa yang mereka pikirkan, yang terpenting dari coretan-coretan itu mereka merasa ada, merasa ingin diketahui keberadaannya.