By: Dudy Subagdja
Dania baru saja melompat dari tembok setinggi empat meter, hampir seluruh tubuhnya dipenuhi luka sayatan benda tajam. Wajahnya kian pucat, dari leher sebelah kanan darahnya terus mengalir, ia berusaha menekan luka yang menganga dengan tangannya, ia meringis menahan rasa sakit yang amat sangat. Luka tusukan itu memang cukup parah, usaha untuk menyelamatkan diri sia-sia.
Setengah putus asa ia berhasil melewati tembok yang dililit kawat berduri ia tak lagi memperdulikan tubuhnya yang dipenuhi dengan darah.
Langkahnya kian berat, kini kaki kanannya menjadi beban dan mati rasa, dalam hitungan detik Dania terhuyung mencium tanah basah ”Bruk !” tanpa ampun ia terjerembab, dengan susah payah ia menggulingkan badannya ke kanan, pandangannya memudar, matanya yang indah itu perlahan menutup dengan sendirinya.
Seorang wanita muda, wajahnya terhalang malam yang gelap, tangannya memegang sebuah gergaji mesin. Ia berjalan perlahan menghampiri Dania yang sekarat. Sorot matanya menyimpan kebencian yang sangat dalam, kemudian ia berjalan menghampiri Dania. Wanita muda yang sekarat itu tak lagi bergerak sedikitpun, tapi nafasnya masih terlihat memburu, meski sangat lemah.
Tangan kokoh itu kemudian menjambak rambut Dania dengan erat, kemudian menariknya dengan sekuat tenaga lalu menyeretnya dengan tenang.
Semakin jauh tubuh wanita itu diseret ke dalam hutan karet.
********
Beberapa minggu kemudian, malam itu hujan begitu lebat, terdengar gemuruh pepohonan dipermainkan angin. Cahaya halilintar menyambar-nyambar seakan ingin melumat sebuah rumah tua didalam hutan karet di sisi jurang yang sangat terjal.. “beberapa polisi berjaga disebelah timur rumah tua itu, tiga orang diantaranya sibuk mencari alat bukti. Team medis berusaha mengumpulkan ceceran tubuh yang diduga korban mutilasi oleh seorang psikopat.
Ceceran darah yang sudah mengering terlihat dimana-mana, semburatnya sampai juga ke dinding kiri rumah tua itu, aroma bau tak sedap terasa menyengat hidung.
“Mayat korban sangat mengenaskan”