/1/
Peningkatan jumlah penduduk agaknya juga memaksa untuk menambah jumlah tempat tinggal. Baik membangun di samping rumah asalnya atau membeli tanah yang sudah dikavling-kavling dan menjadi perumahan-perumahan. Tentu dengan ragam promosi dan fasilitas yang menggiurkan.
Ketika sebagian orang berlomba-lomba memperbaiki lahan pertaniannya, saat itu juga para tengkulak tanah untuk perumahan berlomba-lomba memasarkan dagangannya. Biasanya akan cepat laku kalau tanah-tanah kavling itu berdekatan dengan fasilitas publik, kampus, mall, pasar, dan lain sebagainya. Di samping itu juga pemandangan alam yang memanjakan mata dan suasana, sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi calon pembeli.
Tetapi pernahkah kita sejenak berpikir bahwa sebenarnya lahan-lahan yang ada di sekitar kita sangat mungkin untuk menjaga kedaulatan pangan. Baik lingkup kampung, desa sampai seluas Negara. Mengapa? Perlu kita ketahui banyak sekali tanah-tanah produktif yang seharusnya bisa ditanami padi, umbi-umbian, jagung dan lain sebagainya, berubah menjadi bangunan-bangunan yang serba minimalis pun super mewah.
Kalau di tahun 2010an dulu muncul istilah ijo ruko-ruko di mana terbangun ruko-ruko di sepanjang jalan yang dulunya adalah pohon-pohon yang menjulang, yang menjaga stabilitas udara sehingga menjadi sejuk dan tak pengap. Sedangkan delapan tahun kemudian berubah menjadi alih fungsi lahan produktif menjadi lahan-lahan kavling dan berjubel perumahan-perumahan yang bertengger di lahan-lahan tersebut.
Permasalahan yang muncul hari ini adalah permasalahan ketahanan pangan. Di mana harga bahan-bahan kebutuhan pokok tidak stabil dan cenderung berubah bahkan lebih mahal. Sayang sekali beras, kedelai dan kebutuhan pokok yang lain kabarnya masih impor dari beberapa Negara tetangga. Kan. Menjaga relasi, salah satu bentuk silaturrahmi, iya kalau itu tidak berdampak kepada masayrakat, kalau sebaliknya? Tentu akan mengakibatkan kesenjangan di dalam ruang-ruang publik.
Dengan kata lain, lebih baik sepuluh ribu sekarang, ketimbang seratus ribu minggu depan. Ungkapan ini kerap menjadi bahan perenungan, bahwa sebenarnya apa yang menjadi unsur-unsur pemenuhan kebutuhan pokok seharusnya lebih diutamakan. Tempat tinggal itu penting lho, siapa yang tidak menyetujui itu? Akan tetapi perlu adanya peninjauan kembali terhadap apa yang menjadi kebutuhan utama saat ini.
Permasalah lahan memang sulit diterka, yang sering terjadi adalah tanah warisan sering jadi rebutan, kalau sudah dapat maka tidak sabar untuk menjualnya. Begitu juga dengan tanah-tanah yang sifatnya milik Negara, atau HGU yang sudah habis, pasti banyak sekali yang sudah berebut, dengan alasan untuk kesejahteraan, pada akhirnya ketika hak guna jatuh ke tangannya atau sampai bersertifikat, maka tak sabar ingin segera menjualnya. Tidak sedikit kejadian seperti itu terjadi di masyarakat kita.
/2/
Lahan produktif adalah lahan yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan pokok, utamanya kebutuhan pangan. Kondisi terdampak pandemi Covid-19 mengajarkan kepada kita semua bagaimana pentingnya pemenuhan kebutuhan pokok. Bahwa kebutuhan sehari-hari lebih utama untuk segera dicukupi ketimbang kebutuhan yang bersifat masih bisa ditunda.
Covid-19 benar-benar menggugah kebiasaan gotong royong yang hampir punah. Agaknya hal ini akan terkonfirmasi dalam kehidupan yang bias kota. Jika di pedesaan agaknya masih sangat kental kebiasaan gotong royongnya. Apalagi pedesaan menjadi dasar penguat bagi sumber pemenuhan kebutuhan pokok. Dalam hal ini yang berkaitan dengan pangan.
Ada beragam permasalah pertanahan, yang paling pelik adalah kavling-kavling, tetapi kadang juga kemauan yang besar dari pemilik tanah untuk mengubah lahan produktifnya dengan bangunan-bangunan bertujuan untuk usaha dan lain sebagainya. Tentu hal ini bukan lagi menjadi wilayah kepentingan publik.
Tetapi ketika melihat lahan-lahan produktif berubah menjadi sepetak-petak kavlingan tentu muncul seberagam pertanyaan, khususnya terkait kedaulatan pangan. Baik pejabat publik yang mengeluarkan izinnya, atau pemilik lahan, pun tengkulak tanah dengan segudang rencana-rencana bangunan-bangunan yang akan berdiri di atas lahan tersebut.
Kepentingannya sederhana, lahan produktif seharusnya disesuaikan dengan fungsinya. Jika kondisinya masih sangat memungkinkan untuk menghasilkan sumber kebutuhan pokok tentunya perlu diolah dengan baik dan dipertahankan. Terkecuali lahan tersebut bongkor di mana tidak bisa sama sekali untuk ditanami apapun.
Oleh karenanya perlu adanya diskusi, rembukan dengan masyarakat terkait fungsi lahan sebenaranya. Sehingga ada kesadaran dan upaya untuk lebih menempatkan sesuatu pada tempatnya. Tidak grusa-grusu dalam menyikapi kebutuhan yang sifatnya masih bisa ditunda.
Karena pada dasarnya, yang terpenting bukan masalah lahannya, tetapi manusianya. Membangun mental lebih sulit ketimbang membangun rumah serba elit. Kalau masalah utamanya adalah kedaulatan pangan tentu solusi utamanya adalah pertanian, lumbung dan bagaimana mengatur pasar dengan hasil pertanian masyarakat.
/3/
Harga bahan pokok cenderung naik turun, bahkan jika petani yang menjual langsung biasanya dihargai dengan sangat murah. Dengan kata lain harga jual dari petani berbeda jauh dengan harga jual dari tengkulak ke masyarakat.
Gula, beras, dan sayuran adalah hal yang sangat mungkin untuk diproduksi dari masyarakat. Masih ada peluang untuk mengembang  aturkan sikap yang seharusnya diambil ketika petani memiliki hasil panen atau lahan yang luas. Jika dulu petani menanam padi untuk dimakan, dan sisanya baru dijual, ternyata berbanding terbalik dengan apa yang terjadi hari ini. Masyarakat menjual hasil panennya, lalu membelinya lagi.
Konsep waqaf sebenarnya bisa menjadi solusi yang sangat tepat untuk perihal lahan dan kedaulatan pangan. Tentu dengan nadzir yang sesuai dan dapat dipercaya. Seperti halnya yang dilakukan oleh Fethullah Glen atau Hocaefendi, di samping sebagai seorang arif keilmuan agama yang sangat berpengeruh ia juga menjadi penggerak kedaulatan ekonomi sosial masyarakat di Turki. Gerakannya terinspirasi dari gerakan waqaf.
Oleh karenanya, perlu ada diskusi yang panjang dengan masyarakat. Dan seharusnya tugas seorang arif keilmuan agama adalah membangun kesadaran bahwa agama juga mampu hadir dalam menangani permasalahan sosial. Dalam hal ini adalah kedaulatan pangan dan penggunaan lahan yang sesuai dengan fungsinya.
Jika dengan konsep waqaf, maka tentu dapat memengaruhi pada harga bahan pokok di pasar. Masyarakat tentu bisa membeli bahan pokok dengan murah ketika nadzir atau pengelola waqaf menggunkana sistem lumbung pangan. Jika ada masyarakat yang benar-benar tidak mampu dan tidak memiliki uang sama sekali, bisa ikut bekerja di lahan garapan yang sudah diwaqafkan dengan catatan pemberdayaan.
Tentu hal ini tidak bisa dikatakan sebagai solusi yang paling tepat, tetapi minimal ada upaya untuk membangun kesadaran terkait pentingnya pengelolaan tanah produktif, ketimbang dijual dan dialihfungsikan menjadi tahan-tanah kavling.
Disadari atau tidak, semakin bertambanya masyarakat, tentu semakin besar kebutuhan pangannya. Sehingga perlu bijak dalam pengelolaan lahan yang dimiliki. Apalagi ketika berkaitan dengan kebutuhan pangan.
Kedaulatan pangan dapat terbentuk dan mampu mengatasi persoalan masyarakat yang berkembang saat ini ketika kesadaran akan fungsi lahan yang dimiliki, atau fingsi dari tanah yang masih produktif. Karena untuk membentuk kesadaran perlu pengayaan dan diskusi panjang. Tentu dengan upaya yang terus menerus, tidak mandek di tengah jalan.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H