Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Penulis - Neras Suara Institute

Ngopi, Jagong dan Silaturrahmi

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Bijak Mengatur Lahan

19 Juni 2020   12:37 Diperbarui: 19 Juni 2020   12:38 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Covid-19 benar-benar menggugah kebiasaan gotong royong yang hampir punah. Agaknya hal ini akan terkonfirmasi dalam kehidupan yang bias kota. Jika di pedesaan agaknya masih sangat kental kebiasaan gotong royongnya. Apalagi pedesaan menjadi dasar penguat bagi sumber pemenuhan kebutuhan pokok. Dalam hal ini yang berkaitan dengan pangan.

Ada beragam permasalah pertanahan, yang paling pelik adalah kavling-kavling, tetapi kadang juga kemauan yang besar dari pemilik tanah untuk mengubah lahan produktifnya dengan bangunan-bangunan bertujuan untuk usaha dan lain sebagainya. Tentu hal ini bukan lagi menjadi wilayah kepentingan publik.

Tetapi ketika melihat lahan-lahan produktif berubah menjadi sepetak-petak kavlingan tentu muncul seberagam pertanyaan, khususnya terkait kedaulatan pangan. Baik pejabat publik yang mengeluarkan izinnya, atau pemilik lahan, pun tengkulak tanah dengan segudang rencana-rencana bangunan-bangunan yang akan berdiri di atas lahan tersebut.

Kepentingannya sederhana, lahan produktif seharusnya disesuaikan dengan fungsinya. Jika kondisinya masih sangat memungkinkan untuk menghasilkan sumber kebutuhan pokok tentunya perlu diolah dengan baik dan dipertahankan. Terkecuali lahan tersebut bongkor di mana tidak bisa sama sekali untuk ditanami apapun.

Oleh karenanya perlu adanya diskusi, rembukan dengan masyarakat terkait fungsi lahan sebenaranya. Sehingga ada kesadaran dan upaya untuk lebih menempatkan sesuatu pada tempatnya. Tidak grusa-grusu dalam menyikapi kebutuhan yang sifatnya masih bisa ditunda.

Karena pada dasarnya, yang terpenting bukan masalah lahannya, tetapi manusianya. Membangun mental lebih sulit ketimbang membangun rumah serba elit. Kalau masalah utamanya adalah kedaulatan pangan tentu solusi utamanya adalah pertanian, lumbung dan bagaimana mengatur pasar dengan hasil pertanian masyarakat.


/3/

Harga bahan pokok cenderung naik turun, bahkan jika petani yang menjual langsung biasanya dihargai dengan sangat murah. Dengan kata lain harga jual dari petani berbeda jauh dengan harga jual dari tengkulak ke masyarakat.

Gula, beras, dan sayuran adalah hal yang sangat mungkin untuk diproduksi dari masyarakat. Masih ada peluang untuk mengembang  aturkan sikap yang seharusnya diambil ketika petani memiliki hasil panen atau lahan yang luas. Jika dulu petani menanam padi untuk dimakan, dan sisanya baru dijual, ternyata berbanding terbalik dengan apa yang terjadi hari ini. Masyarakat menjual hasil panennya, lalu membelinya lagi.

Konsep waqaf sebenarnya bisa menjadi solusi yang sangat tepat untuk perihal lahan dan kedaulatan pangan. Tentu dengan nadzir yang sesuai dan dapat dipercaya. Seperti halnya yang dilakukan oleh Fethullah Glen atau Hocaefendi, di samping sebagai seorang arif keilmuan agama yang sangat berpengeruh ia juga menjadi penggerak kedaulatan ekonomi sosial masyarakat di Turki. Gerakannya terinspirasi dari gerakan waqaf.

Oleh karenanya, perlu ada diskusi yang panjang dengan masyarakat. Dan seharusnya tugas seorang arif keilmuan agama adalah membangun kesadaran bahwa agama juga mampu hadir dalam menangani permasalahan sosial. Dalam hal ini adalah kedaulatan pangan dan penggunaan lahan yang sesuai dengan fungsinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun