Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Penulis - Neras Suara Institute

Ngopi, Jagong dan Silaturrahmi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wabah: antara Sains dan Metafisik

13 Juni 2020   20:40 Diperbarui: 13 Juni 2020   20:40 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

/1/

Wabah Korona memang bukan satu-satunya wabah yang meluluhlantahkan sistem kehidupan. Utamanya bidang ekonomi. 

Ekonomi menjadi pembahasan akan perlambangan sebuah kebutuhan hidup. Pun sesuatu yang harus dipenuhi. Sebagai tolak ukur pemenuhan kebutuhan yang lain. 

Di akhir abad ke 19 juga ada wabah yang bernama Kolera. Cuma menurut catatan hanya melanda Mekkah. Tentu kaitannya dengan Ibadah haji.

Namun abad-abad sebelum itu di Jawa, utamanya Tengah dan Timur ada pagebluk yang dikenal dengan istilah lampor. Menurut catatan Babad tanah jawi selepas Amangkurat I meninggal terjadi pagebluk yang begitu dahsyat. Sebagaian sumber mengatakan dengan ujaran jawa "isuk lara, sore mati" pagi sakit, sorenya meninggal. Ada juga yang mengatakan seketika itu juga meninggal.

Jika wabah yang menyerang hewan ternak, sehingga banyak yang mati dinamakan aratan, bisa jadi lampor  juga demikian. Yang perlu kita garis bawahi adalah dahsyatnya wabah tersebut, utamanya menyangkut nyawa.

Korona masih bisa ditangani dengan isolasi dan penguatan imun. Hanya saja menurut ahli di PBB sana, penularannya yang begitu cepat. Ada yang bersikap biasa-biasa saja, ada juga yang ketakutan luar biasa.

Kembali kepada pagebluk, dampak yang ditimbulkan sama; kecemasan dan ketakutan, bahkan nyawa sekalipun melayang. Ilmu tenger atau penanda menyebutkan bahwa ketika banyak manusia yang meninggal, maka ternak dan hasil bumi dihargai murah, sedangkan emas mahal. Atau sebaliknya.

Ilmu penanda inilah yang kemudian menjadi pijakan masyarakat yang melestarikan tradisi lama; biasanya membuat tumpeng, upacara-upacara dan lain sebagainya. 

Dengan kata lain, setiap permasalah pasti ada solusinya, walaupun melalui ruang-ruang metafisik. Karena bagi setiap manusia meyakini kenyataan Tuhan, namun tetap melihat dengan kaca mata metafisiknya.

Pada akhirnya pemahaman terkait wabah atau pageblukpun sama. Tergantung tradisi yang dilestarikan secara turun temurun. Boleh dipercaya, pun boleh dianggap pengetahuan saja. Tetapi hal ini menjadi sangat lazim bagi pemegang budaya leluhur. 

Jika di Tengger ada tumpeng pras, di mana tumpeng yang sudah diupacarai, lalu dipotong bagian atasnya, menjadi penanda memutus mata rantai wabah atau pagebluk; istilah modernnya social distancing.

Ada juga yang membakar serpihan kayu mahoni yang diletakkan di atas cobek, lalu diletakkan di depan rumah atau pintu. Hal ini dianggap sebagai pemutus mata rantai wabah atau pagebluk. 

Tradisi yang dilestarikan ini akan menuai banyak kontradiksi, jika alat peninjaunya tidak sesuai, kata para akademisi tidak aple to aple.

Dengan kata lain, ruangnya berbeda tetapi tujuannya sama; memutus mata rantai wabah atau pagebluknya. 

Prinsip kebinnekaan tidak hanya dalam aspek nasionalisme saja, tetapi ruang-ruang terdalam aspek kehidupan manusia, termasuk usaha-usaha yang bersifat transenden.

/2/

Corona, pagebluk, ilmu tenger atau penanda adalah rangkaian dari proses perbaikan-perbaikan, yang secara tidak langsung berkaitan dengan alam semesta di satu sisi, dan manusia di sisi yang lain.

Tidak akan datang suatu cobaan kepada manusia, jika manusia itu tidak mampu mengatasinya. Kecuali cobaan itu dibuat sendiri lho. 

Kekacauan, malapetaka itu dibuat oleh tangannya sendiri. Hutan-hutan mulai telanjang, burung-burung malu bersiul, hewan-hewan kebingungan mencari tempat tinggal, hasil panen bukan dimakan tapi dijual untuk beli makan.

Lintang kemukus, bintang berekor, lintang suraya dan istilah-istilah lainnya adalah penanda. Dalam tradisi keilmuan masuk pada ilmu penanda, atau ilmu tenger. 

Jika Slavoj iek mengatakan bahwa pandemi ini adalah sebentuk kemenangan komunisme atas kapitalis dalam bukunya yang terbaru, Pandemic Covid-19 Shakes the world. Tentu berbeda dengan tradisi lestari leluhur.

Budaya lestari melihat siklus perubahan tata kelola kehidupan dengan beragam tanda, jika lintang kemukus tadi muncul di penjuru arah barat atau timur, tentu berbeda maksudnya. 

Jika di timur, maka yang laeb atau kekurangan adalah ternak, atau ada raja yang sedang meninggal, sedang hasil panen murah.

Jika muncul di barat maka ada penobatan raja baru, semua orang mengalami kegembiraan dan hasil panen melimpah ruah, pun harga setabil. Penanda-penanda seperti ini bukan hanya khazanah keilmuan budaya, tetapi menjadi tradisi baik secara global atau secara personal diturunkan ke generasi selanjutnya.

Terkait korona sangat beragam tafsir yang muncul. Ada yang mengatakan konspirasi dagang. Ada yang mengatakan AS dan Cina adalah korban dari Elit Global. 

Ada juga yang mengatakan azab  dari Tuhan, karena banyak manusia yang lalai. Pun ada yang menganggap bahwa alam sedang memperbaiki siklus kehidupannya.

Keragaman ini tentu tidak bisa dibentur-benturkan. Karena yang paling penting adalah bagaimana menata mental agar siap menghadapi kondisi apapun. Sekaligus melakukan evaluasi-evaluasi diri menuju kenormalan yang baru. 

Dengan catatan kenormalan baru bukan hanya dalam ruang ekonomi saja, melainkan proses perkembangan manusia, dalam akal budhinya.

/3/

Sabrang MDP mengatakan bahwa diksi dari diskursif sains bukan hanya "jogetan massal". Tentu ungkapan itu akan multi tafsir, tetapi memang begitu adanya, di samping sains sebenarnya bebas nilai, tetapi secara praktis tidak begitu. Ibarat pisau, kalau tidak digunakan sesuai fungsinya, maka malapetaka juga yang dibuatnya. Bisa untuk membunuh dsb.

Vaksin, obat penawar adalah sebentuk upaya yang perlu diapresiasi. Karena wilayah sains memang di sana. Kecuali para saintifik abai dan santai-santai saja. 

Meskipun demikian tidak bisa pula untuk meninggalkan usaha metafisiknya. Berdoa kepada Yang Maha misalnya, atau melakukan upacara-upara tertentu seperti tumpeng pras, dsb.

Prinsipnya bukan semata-mata iman saja, tetapi juga usaha secara basyariah. Kata Nabi, "ikat dulu untanya baru menyerahkan sepenuhnya kepada kehendak Tuhan". 

Manusia hanya bertugas menanam, untuk menumbuh -- kembangkan menjadi urusan Tuhan. Ujaran jawa mengatakan sakderma, maka apa yang kita bisa mari dilakukan, perkara hasil kembali kepada Tuhan dan pemahaman bahwa usaha tidak akan menyelingkuhi hasil.

Agaknya hanya akan sia-sia ketika sains selalu dipertentangkan dengan pemahaman-pemahaman metafisik. 

Disadari atau tidak keinginan satu langkah di depan pemikiran kita. Jika sains selalu berkembang setiap saat, maka metafisik adalah Apoiron atau hal yang tak terbatas.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun