Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Penulis - Santri

Alumni Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif (SKK ASM) ke-4 di Solo

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Selembar Surat, Tanpa Ucap

30 Desember 2019   13:17 Diperbarui: 30 Desember 2019   13:48 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Tribun Pekanbaru.com

Tidak ada kabar bertahun-tahun, baik dari sang bapak, ataupun Randu. Mereka seperti mengunci rapat-rapat pintu telinga, atau sebaliknya, menyiapkan berita bahagia. Randu yang kepalang memiliki nasib baik, ia dididik oleh seorang pembisnis besi tua, sampai akhirnya ia memiliki tempat dan memulai usahanya sendiri, dan kabar baiknya ia sukses.

Selembar foto bapaknya ia selalu taruh di depan meja kerjanya, menjadi pendorong untuk kemajuan hidupnya. Sampai pada titik di mana ia merasa sesuai dengan harapannya. Pada akhirnya ia memiliki harapan untuk memboyong bapaknya ke kota. "Aku akan menjemputnya, biarkan ia tinggal di sini tanpa susah payah." Begitulah gertak hatinya. Seperti tahu bahwa kota menjanjikan semua jawaban atas setiap permasalahan.

***

Sepetak sawah menjadi buruan para pemegang proyek. Kabarnya akan segera di bangun perumahan dengan konsep kampung hijau, tentunya mereka para pemegang modal yang memiliki ide itu. Kapitalkah? Jawabannya adalah Bapak Randu yang setiap hari didayohi oleh kepala proyek, membujuknya agar menjual sepetak sawah yang ada di dekat sungai. Menurut kepala proyek di sanalah spot yang sesuai untuk membangun kafe, dengan pamandangan bukit dan gemericik air dari aliran sungai, ditambah rindangnya bambu.

"Wes ta, sampean minta berapa untuk sawah sampean pak?" Bujuk Kepala Proyek.

"Saya tidak akan menjual sawah itu, sawah itu milik anak saya." Jawab Bapak Randu.

"Anak bapak kan sudah lama tidak pulang, bahkan sudah lebih dari 5 tahun,  saya dengar dari tetangga, siapa tahu anak bapak sudah sukses di kota." Himpit Kepala Proyek

"Maaf Pak, saya tetap tidak akan menjualnya." Singkat Bapak Randu
Kepala proyek bergegas kembali ke kantor yang dibangun tidak jauh dari rumah Randu. Dengan wajah penuh kecewa.

Perumahan yang sudah 85% pengerjaan dan hampir siap huni itu hanya tinggal kafe dan kolam pemandian untuk anak-anak saja. Sayang sawah yang digambarkan sebagai spot kafe dan kolam pemandian belum juga bisa dibeli oleh kepala proyek.

Berbagai cara digunakan agar sawah itu terjual, seperti menumpukinya dengan bahan-bahan material, membuang tumpahan gamping, sehingga padi-padi menguning daunnya. Bahkan sudah sejak lama tidak ada tikus di sawah itu, kemudian muncul banyak tikus yang membuat lorong di bawah padi sehingga padi layu dan mati.

Sepetak sawah sama-sama berarti, bagi bapak randu pun bagi kepala proyek. Seorang bapak pasti merelakan tenaga dan pikirannya untuk melindungi apa yang menjadi hak anaknya. Pun begitu, totalitas kepala proyek yang harus profesional dalam menyelesaikan pekerjaannya. Walau sepetak sawah, tiada ternilai jika harus menukarkan dengan lembaran uang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun