“Susah ya, Pak” ujar saya.
“Iya, Mas. Makasi”
“Bapak hapal kan pulangnya?”
“Yang harusnya nanya gitu itu saya, Mas!”
“Oh iya ya” kata saya, “Tapi sebagai calon Menteri Pariwisata saya harus hapal dong. Kalau tidak hapal, ya inilah saat yang tepat untuk menghapal”
“Hehehe…”
Saya ajak salaman itu si Bapak. Lalu saya pergi berjalan kaki lagi. Meninggalkannya di parkiran Toko Bandeng Juwana.
Pak, mudah-mudahan obrolan dan khayalan kita tadi menjadi doa dan kenyataan. Itu tanda tangan saya tolong jangan dihapus. Biarkanlah itu menjadi prasasti yang akan bercerita bahwa dalam kehidupan ini kita pernah bertemu sebelumnya. Apabila suatu saat nanti kita berdua menjadi menteri di Negara Khilafah Islam, tentunya kita bisa berkata pada dunia bahwa doa kita beberapa tahun lalu ternyata terkabul. Pun kalau misalnya hanya salah satu dari kita yang menjadi Menteri, anggap saja saya, bukti tanda tangan itu tadi bisa menjadi suatu kebanggaan bagi Bapak, keluarga Bapak, dan anak angkat Bapak, sebab Ayahanda mereka, yaitu Bapak, pernah menarik becak orang yang kemudian menjadi Menteri Pariwisata Negara Khilafah Islam dan makan masakan “Sunda” bersamanya di sebuah café di Semarang.