Belum sempat saya meneruskan definisi Khilafah, sekonyong-konyong muncullah itu pelayan yang tadi menghilang memotong pembicaraan tanpa alat-alat seperti gunting atau pisau.
“Maaf Mas, pesanannya sudah siap”
“Oh ya. Terima kasih” kata saya, “Ayo ah Pak kita pulang”
Kami pun lekas pergi dari meja café. Si Bapak keluar, saya ke kasir. Saya bayar lalu angkat satu kardus pesanan yang sudah ditunggu-tunggu dari tadi. Setelah saling mengucapkan selamat jalan antara saya dan kasir, saya langsung keluar menuju si Bapak pengemudi becak.
“Ini Pak, ongkos naik becaknya” kata saya sambil menyerahkan uang sebesar perjalanan dari Lawang Sewu ke Hotel tempat saya menginap, “Sudah sampai sini saja”
“Lha kan ke hotelnya belum, Mas?”
“Sudah tidak apa-apa. Saya mau jalan kaki saja”
“Jauh loh, Mas”
“Namanya juga calon Menteri Pariwisata. Harus rajin jalan-jalan dong. Kan wisata!”
“Duh gimana nih…”
“Santai saja” kata saya, “ Sebagai tanda perpisahan saya tanda tangan becak Bapak saja ya?” Saya keluarkan spidol dari tas kecil. Saya bubuhkan tanda tangan saya di bagian samping kanan becak si Bapak dengan ditambabi tulisan: CALON MENTERI PARIWISATA NEGARA KHILAFAH ISLAM WAS HERE.