Pelayan datang membawa 2 cangkir sundae dan 2 steak dalam hotplate yang masih bergemericik. Tanda masih panas.
“Ayo Pak dimakan! Mumpung masih hangat”
“Saya makan diluar saja, Mas”
“Si Bapak mah bagaimana sih. Kalau makan diluar mah buat apa saya ajak Bapak ke dalam” kata saya, “Sudah makan saja!”
“Malu Mas. Masa kayak gini?” sambil malu-malu si Bapak memperlihatkan baju usang dan celana kotornya.
“Sudah santai saja. Rasululah juga bajunya lebih parah dari Bapak tapi dia tidak malu. Yang penting itu hati dan imannya. Baju mah tidak jadi ukuran seseorang itu masuk surga atau tidak. Kecuali kalau Bapak tidak menutup aurat” jelas saya, “Bapak auratnya nongol tidak?”
"Ndak, Mas. Resletingnya nutup kok” jawab si Bapak dengan tersenyum.
Akhirnya kami pun makan dengan mahsyuknya. Seperti apa makannya, tidaklah perlu saya bahas. Yang jelas si bapak nampaknya kesulitan ketika makan dengan menggunakan garpu dan pisau. Tanpa sendok pastinya. Mungkin dia saat ini sedang berpikir, di tangan sebelah mana saya harus letakan kedua benda ini.
“Nah begitu, Pak. Dimakan. Kalau kurang bilang saja”
“Kalau mau sama pelayannya sekalian juga boleh” kata saya membukan pembicaraan lagi. Tanpa begini saya yakin si Bapak merasa bahwa ini neraka baginya.
“Mau Pak sama si Mbak tadi?” itu senyum saya menjadi nakal.