Mohon tunggu...
Dian Prameswari
Dian Prameswari Mohon Tunggu... lainnya -

In any real man a child is hidden that wants to play (Nietzsche)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menyoalkan Permasalahan "Same Sex Marriage" di Australia

10 November 2017   16:06 Diperbarui: 10 November 2017   16:39 1564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkawinan bukan sekedar cinta

Bila bicara tentang ikatan sosial, tiada yang lebih kuat daripada ikatan perkawinan. Perkawinan mencakup begitu banyak aspek yang awalnya tak ada kaitannya satu sama lainnya. Dalam mahligai perkawinan termaktub keputusan dua insan untuk mewujudkan idealism dari cinta dengan saling setia, saling melindungi, penuh dedikasi, pengurbanan dsb. Bersatunya dua  orang dalam mahligai perkawinan (dengan segala idealismenya)  menjadi sesuatu yang lebih bermakna dan besar dari sekedar seseorang. Dan semua itu berawal dari cinta, dan diharapkan akan terlahir cinta cinta yang lain dengan lahirnya anak cucu.

Saat ini di Australia sedang marak dengan issue marriage equality untuk perkawinan sejenis atau same sex marriage (SSM). Dimana kaum homosexual menuntut persamaan hak untuk bisa kawin secara sah menurut hukum di Australia. Ini jadi masalah besar karena definisi perkawinan dalam undang undang di Australia adalah untuk pria dan wanita (laki laki dan perempuan). Bukan pria kawin dengan pria, dan bukan pula perempuan kawin dengan perempuan.

"The union of a man and a woman to the exclusion of all others, voluntarily entered into for life." (Australian Marriage Act 1961, section 5)

Marriage equality menimbulkan begitu banyak kekhawatiran dan juga harapan dan nampaknya kedua kubu yang pro dan kotra begitu sama kuatnya. Walau kadang yang pro terlihat berada diatas angin.  

Untuk menentukan apa sebenarnya kehendak masyarakat luas terkait perkawinan sejenis, pada tanggal 12 September lalu telah dimulai postal voting (survey) dimana mereka yang terdaftar sebagai voter yang sah di AEC (Australian Electoral Commission) menerima survey form. Survey tersebut menanyakan satu pertanyaan saja; "Should the law be changed to allow same sex couple to marry?" YES - NO

Survey form tersebut harus sudah diterima kembali paling akhir tanggal 7 November dan hasilnya akan diumumkan tanggal 15 November 2017. Sampai tanggal 27 October yang lalu, survey form yang telah dikembalikan dan diterima oleh Australian Biro of Statistics sudah mencapai 12.3 million atau 77 persen. Selanjutnya pada tanggal 3 November kemarin jumlahnya terlah terkumpul 12.6 million atau 78.5 persen dari rakyat Australia yg sah untuk memberikan suaranya. 

Apa konsekuensi dari Marriage Equality?  

Merubah undang undang pasti akan membawa konsekuensi yang luas, baik konsekuensi yang diinginkan maupun tak tidak diinginkan oleh masyarakat. Apa saja konsekuensi yang dikhawatirkan oleh mereka yang bukan pendukung marriage equality? Berikut beberapa konsekuensi yang bisa terlihat kedepan dari pandangan orang orang yang tidak setuju dengan same sex marriage:

1. Gay dan Lesbian sex education yang radikal di sekolah sekolah.

Bila undang undang di Australia berubah (definisi perkawinan diperluas kepada kaum gay dan lesbian) maka sekolah sekolah tak pelak lagi akan terwajibkan untuk mengajarkan ttg sex education versi gay dan lesbian.

Belum disahkan pun di sekolah sekolah sudah ada program Safe School (sekolah yang aman) dimana tujuannya adalah melindungi staff dan murid yang condong ke homosexuality (LGBTQI). Tapi program Safe School ini sudah disinyalir akan mengajarkan juga variasi dari sexual activity dan sexual experimentation di kelas.

Bila nanti marriage equality jadi sah maka dikhawatirkan Gay and Lesbian sex education akan jadi bagian dari kurikulum. Tentu hal ini mengkhawatirkan bagi para orang tua yang masih banyak yang punya ketaatan pada agama, dan tak mau anaknya pada usia dini sudah diajarkan tentang macam macam variasi sex diluar sex yang normal darimana mereka terlahir (melalui sperm and egg dari ayah dan ibunya).

Bayangkan jika para murid harus mencerna wacana berikut ini: "Penis-in-vagina sex is not the only sex and definitely not the ultimate sex".

2. Gender Fluidity

Dan anak anak pun  akan bingung apakah mereka cowok atau cewek.

Bila gender dihapuskan dari undang undang perkawinan di Australia, maka besar kemungkinan gender pun akan dihapus dari sekolah sekolah. Murid akan diajarkan bahwa gender itu fluid, bisa berubah ubah dan bukan sesuatu yang terbawa dari lahir.

Sebagai konsekuensi dari gender fluitdity concept tsb maka anak laki laki yang kemayu dan merasa dirinya cewek harus dibolehkan pakai rok ke sekolah dan pakai toilet khusus cewek. Begitupun sebaliknya.

Ini bisa kacau balau bila nanti ada cowok iseng yang suatu hari pengin jadi cewek cuma agar bisa masuk ke toilet cewek.

Bukan saja gender menjadi fluid tapi semua record dan document yang biasanya pakai klasifikasi laki laki dan perempuan akan di gender-neutral kan, umpamanya dalam akte kelahiran tak ada lagi kata Bapak dan Ibu dari si bayi (anak) tapi akan diganti dengan kata "parents" atau orang tua, parent 1 and parent 2. Atau mungkin akan pakai kata father 1, father 2. Dan bisa juga pakai mother 1, mother 2.

Di Australia, sampai sekarang maximal ada dua parents dalam akte kelahiran. Namun hal ini bisa berubah sejalan dengan berubahnya konsep dan pengertian hukum yang berkaitan dengan anak dan keluarga. Karena same sex couple biasanya punya anak melalui surrogacy. Bisa jadi surrogate mother  pun nantinya akan bisa menuntut haknya sebagai parent. Sehingga ada kemungkinan nantinya surrogate mother dari si anak tercantum dalam akte kelahiran anak.

3. Dampak terhadap bahasa dan narrative

Dampak negative yang lain bisa terjadi pada freedom of expression dalam hal penggunaan bahasa. Bila sekarang "boys and girls" adalah hal yang biasa, bisa jadi nanti setelah disahkannya same sex marriage tak bisa lagi digunakan karena dianggap tidak gender neutral dan bisa dianggap discriminatory terhadap mereka yang tidak masuk  dalam katagori boys and girls (mereka yang intersex, transgender atau penyandang gender disphoria).

Dalam menyapa seseorang pun mungkin tak pas lagi menggunakan Mr atau Mrs tapi harus menggunakan berbagai titles yang paling tidak ada sepuluh. Titles yang gender neutral tsb sudah diterapkan oleh suatu international bank HSBC dan mungkin bisa menular ke masyarakat luas. Titles yg gender neutral tsb adalah:

Mx, dilafalkan "mix atau mux" ketika memanggil seseorang, dimana x menggantikan huruf  akhir dari Mr, Mrs, Miss, dan Ms. Sehingga gender dari seseorang kosong atau tak dipakai.

Ind, singkatan dari individual (pengganti untuk man dan woman)

M, cuma satu huruf  menggantikan Mr, Mrs, Miss dan Ms. Ini mungkin dipakai dalam suatu document.

Misc, singkatan dari miscellaneous

Mre, singkatan dari mystery atau mistree

Msr, dilafalkan miser untuk kombinasi Miss dan Sir (ampun dech!)

Myr, dilafalkan meer (yang ini entah apa asalnya, Mira, atau Amir kali)

Pr, dilafalkan per, singkatan dari person

Sai, nah kalau yang ini saya yakin asli dari Indonesia. (Jokowii Sai, ih runyam)

Ser, dilafalkan sair/ser yang biasanya dipakai di Latin America.

Selain itu mungkin akan ada lagi kata dan wacana lain yang harus ditinggalkan karena tak sesuai lagi dengan era same sex marriage. Umpamanya kata penis dan vagina, karena dua kata tersebut jelas akan mengacu pada jenis kelamin and thus gender (secara orang normal sekarang) maka sebaiknya tidak dipakai. Ada yg menyarankan agar kata tsb diganti dengan kata "erectile-tissue" yang mengacu pada fungsi alat kelamin  tanpa harus mengarah ke jenis kelamin and thus gender. 

Bayangkan anak kecil harus menggunakan kata tsb daripada menggunakan kata willie atau fanny. Tahu apa anak tiga tahun umpamanya tentang ereksi, paling mereka tahu tissue itupun mungkin terbatas pada toilet tissue. Akan makin sulit bagi orang tua menjelaskan bila si anak mulai tanya ini itu ketika sang anak memasuki genital stage. 

4. Konsekuensi terhadap civil liberties

Bila undang undang perkawinan dirubah, maka dampak negatif terhadap berbagai bentuk kebebasan akan sangat terasa. Freedoms akan terpancung dan gampang terjerat hukum. Konsekuensi dari same sex marriage sudah terbukti di negara negara yang sudah melegalkan same sex marriage. Dampak negative yang nyata telah dialami oleh mereka yang berbisnis sebagai bakers, florists, photographers dsb.

Contoh yang paling memilukan terjadi pada Barronelle Stutzman, seorang florist di Washington State yg sudah lama menyediakan jasa karangan bunga bagi Robert Ingersoll, seorang client dan juga teman yang sudah hampir sedasa warsa dan tak pernah ada masalah. Sampai suatu hari Robert memesan karangan bunga untuk wedding nya dengan seorang kekasih prianya. 

Mrs. Stutzman  menyilahkan duduk si Robert dan menerangkan padanya bahwa dia tak bisa menyediakan karangan bunga untuk same sex wedding karena hal itu bertentangan dengan ajaran agamanya. Robert tak bisa menerima penolakan tersebut dan melaporkannya pada yang berwajib. Sampai sekarang Mrs. Stutzman masih harus menghadapi keputusan pengadilan. Sebegitu dahsyatnya seorang teman baik bisa berubah sikap dalam sekejab jadi litigious karena ada perbedaan pendapat tentang perkawinan.

Contoh diatas adalah dampak negative yang nyata terhadap kebebasan menjalankan ajaran agama.

Di Hobart, Archbishop Julian Porteous dibidik dengan Anti-Discrimination Act 1998 (Tas) setelah dia menyebarkan booklet "Don't Mess With Marriage". Sebuah panduan buat umat Katolik mengenai perkawinan. Booklets tsb sebenarnya untuk internal umat dia, tapi ada yang tak setuju dan mengajukan complaint sehingga sang Archbishop harus berurusan dengan yang berwajib. 

Meski akhirnya si complainant menarik kembali perihal "keberatannya" hal ini sudah menunjukkan bahwa ketika same sex marriage belum disahkan pun mereka mereka yang setuju dengan same sex marriage sudah menggunakan hukum anti diskriminasi untuk memberangus mereka yang mengajarkan bahwa perkawinan (secara agama) adalah antara pria dan wanita. Bisa dibayangkan bagaimana nanti bila same sex marriage disahkan.

Apa hasilnya dari postal voting tersebut? Bila YES campagners lebih unggul dan same sex marriage disahkan menurut undang undang, selain kekhawatiran yang terurai diatas, akan adakah dampaknya terhadap LGBT Indonesia karena kita begitu berdekatan secara geografis, dan passionate secara people to people level. Lima hari lagi  kita tahu hasil dai postal voting tsb dan mungkin akan saya sambung dengan tulisan yang condong ke YES untuk perkawinan sejenis. Salam!

Referensi:

ABS (Australia Bureau of Statistics, pelaksana postal voting untuk same sex marriage).

ABC News, Q&A, dan berbagai hasil dari percakapan dengan teman teman. 

http://www.dailymail.co.uk/news/article-4366288/HSBC-launches-10-gender-neutral-titles-trans-customers.html.

Photo diatas adalah kreasi saya sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun