Mohon tunggu...
Y ANISTYOWATIE
Y ANISTYOWATIE Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Berusaha menemukan solusi permasalahan bangsa, blog saya: www.anisjasmerah.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Antara Perasaan Tersinggung, Menistakan Agama, dan "Melecehkan" Tuhan

14 November 2016   12:09 Diperbarui: 14 November 2016   12:39 1933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama belum terbukti Pak Ahok itu melakukan korupsi, saya memang termasuk orang yang mengapresiasi kinerjanya. Di kasus Sumber Waras dan reklamasi  yang sempat saya pertanyakan juga, terbukti beliaunya  bisa menjelaskan di persidangan, bahkan penjelasannya seringkali memukau penonton sidang sehingga yang mendengarkan menjadi semakin percaya bahwa beliaunya ini benar-benar ingin memperjuangkan kesejahteraan warga Jakarta. Namun ketika Pak Ahok  mengalami “silap lidah”, saya kaget juga. Kenapa Pak Ahok bisa terjebak kasus yang demikian ?

Saya merenung tentang hal ini, kenapa ? Saya merasakan bahwa inilah  cara Yang Maha Kuasa  mengingatkan bangsa Indonesia. Mengapa ? Karena anak bangsa ini sepanjang perjalanan mengisi kemerdekaan itu seringkali terpecah belah. Setiap ada ketidak-cocokan, penyelesaiannya selalu berlarut-larut karena tidak ada kejujuran dan keterbukaan. Akibatnya energi bangsa ini tidak  bisa fokus untuk memperjuangkan kesejahteraan bersama.

Ketika pemerintahnya punya peluang emas, ternyata  juga salah jalan. Kekayaan minyak dijual sebanyak-banyaknya, tetapi uangnya tidak jelas entah ke mana. Karena ternyata untuk ongkos pembangunan itu dananya banyak yang dari utang LN, dan hasil utangnya banyak dikorupsi. Akibatnya terjadilah KESENJANGAN SOSIAL  yang mencolok di masyarakat, dan hasil  pembangunannya tidak menghasilkan penerimaan  negara yang lebih besar. Sebaliknya penerimaan negara semakin berkurang, sehingga  pemerintah kesulitan dalam mencicil pembayaran utangnya. Jadinya kemudian cicil utang dengan gali  utang yang baru.

Kesenjangan sosial itu telah menjadi  malapetaka baru bagi bangsa ini, yang lebih berbahaya dari sebelumnya, yaitu KEMISKINAN. Sebab kalau cuma kemiskinan, semua negara itu berawal dari negara yang miskin, kemudian secara bersama-sama mereka bisa memperbaiki nasibnya. Tetapi, karena Indonesia sudah salah jalan dan  terlanjur terjadi kesenjangan sosial, maka yang sudah kaya ini biasanya akan menjadi penghalang untuk kebaikan bersama.

Setiap ada pemerintahan baru selalu berjanji untuk memperbaiki tentang hal ini, tetapi mereka selalu gagal. Kenapa ? Karena  mereka  yang tergolong sudah kaya ini tak rela kalau harta kekayaannya  jadi berkurang, walaupun itu mungkin cara mendapatkannya tidak benar. Terbukti mereka baru mau mendaftarkan kekayaannya lagi setelah ada Tax Amnesty. 

Sementara yang belum kaya dan memiliki kesempatan untuk bisa kaya akan memanfaatkan peluang tersebut, tak peduli walaupun itu caranya mengabaikan larangan Tuhan  YME, misalnya korupsi (mencuri uang ) itu jelas dilarang dalam ajaran agama dan ancamannya neraka. Tetapi apa yang terjadi ? Mereka tidak peduli, bahkan terus korupsi. Supaya aman dilakukan secara ramai-ramai kemudian sebagian harta yang tidak halal itu disedekahkan atau dizakati. Kita yang mengetahui hal itu, hanya bisa mengelus dada saja !

Sampai kemudian muncullah Pak Ahok (seorang gubernur  DKI non muslim) yang berani melawan semua itu. Dia sangat berhasil, sehingga membuat marah mereka semua yang terlibas. Karena begitu inginnya agar warga Jakarta ini bisa lebih sejahtera, terlontarlah ucapan untuk meyakinkan masyarakat Kep. Seribu  agar mau menerima program kesejahteraan rakyat yang direncanakan Pemda DKI  tanpa ada rasa takut nanti dalam Pilkada diwajibkan  untuk memilihnya. Karena  selama ini, dia dikategorikan kafir. Sehingga kemudian ditekankan, bahwa yang menerima program ini tidak berarti harus memilih dia. Hanya kemudian beliaunya ini “terpeleset”, yaitu mengucapkan kalimat yang menyinggung perasaan sebagian ulama dan orang Islam. Kemudian jadilah “pernyataan yang silap tersebut “ dinilai sebagai penistaan agama, dan dilakukan demo besar-besaran.

Saya  ingin bertanya:” Apakah pernyataan Pak Ahok itu benar-benar merupakan penistaan agama ? Bagaimana kalau kita bandingkan dengan perilaku Gatot Brajamusti, Dimas Kanjeng, dll,  yang sok alim ternyata hanya memanfaatkan agama sebagai kedok untuk menutupi perilaku buruknya ?  Kenapa kita tidak pernah demo besar-besaran untuk orang-orang seperti mereka ?

Bagaimana juga dengan perilaku korupsi,  yang jelas-jelas mengabaikan ajaran agama Islam dan merugikan banyak orang,  tetapi sampai sekarang tidak ada fatwa MUI-nya ? Kenapa kita tidak pernah demo besar-besaran untuk menyelamatkan negara ini dari korupsi  ? Bahkan mohon maaf, sebenarnya perilaku korupsi itu  bukan saja menistakan ajaran agama, tetapi kita diam-diam secara bersama-sama sedang “melecehkan Tuhan”, karena  kita telah berani menjadikan korupsi sebagai bagian  dari mendapatkan "rejeki" yang disyukuri.

Andaikan kita ini mau demo besar-besaran untuk hal-hal seperti itu, maka perilaku munafik, yaitu pura-pura alim tetapi jahat, pura-pura terlihat taqwa tetapi sering maksiat, pura-pura religius tetapi korupsi, pura-pura  bersedekah tetapi hasil mencuri itu tidak akan berkembang pesat.  Sehingga akan jadi lebih baiklah cara hidup kita ini, dan  sejahterahlah bangsa  Indonesia. Sadarkah kita akan hal ini ? Kenapa tidak ada yang mau mengerahkan massa untuk tujuan yang mulia ini?

Kembali pada  kasus Pak Ahok, apakah “ucapannya” itu merupakan penistaan terhadap agama Islam ? Karena tindakan-tindakan atau kebijakan-kebijakan yang dilakukan beliaunya justru membuat orang-orang Islam itu bisa berubah menjadi lebih baik, yaitu: mau bekerja dengan baik, mau berperilaku sebagaimana ajaran Islam untuk tidak tidak korupsi, tidak melakukan pungli, mau melayani rakyat jelata dengan baik, dll.

Jadi sebenarnya siapa yang sedang menistakan agama Islam ?

Ini bukan berarti saya mendukung atau membenarkan  apa yang sudah dilakukan Pak Ahok. Tetap beliaunya salah, karena penggunaan kata     “ ... dibohongin orang pakai surat Al Maidah 51....”.  Itu telah  menyinggung  perasaan sebagian umat Islam. Sebab ada yang tidak tersinggung juga, bukan ?  Tapi  jangan kemudian kita bertengkar sendiri, dan  menilai yang tidak tersinggung itu “akan dilaknat Allah”. Nanti sesama muslim ganti “berperang” sendiri, dan memang inilah yang diharapkan oleh bangsa lain, agar rakyat Indonesia tidak pernah bersatu dan mereka tetap bisa “menikmati” Indonesia untuk kesejahteraan mereka.

Kalau kita mau jujur,  bagaimana dengan pidato-pidato yang dilakukan oleh “tokoh  yang sering menjelek-jelekkan”  ulama lainnya ? Kenapa tidak ada yang tersinggung dan melakukan  demo ? Apa  karena kebetulan yang melakukannya itu berbeda iman, dan tidak memiliki massa sehingga kita  berani demo ?  Salahkan kalau hal ini, kemudian dicurigai hanya sebagai  upaya untuk menjegal  pencalonan Pak Ahok dalam Pilkada DKI saja, sebab pada dasarnya kita tidak mau kalau Pak Ahok bisa dipilih oleh warga Jakarta ?

Karena itu seharusnya kita bisa lebih bijak dalam menyikapi hal ini. Apa untung ruginya kalau kita “menjegal” pencalonan Pak Ahok. Mari kita lihat apa yang sudah terjadi selama 2 tahun kepemimpinan Pak Ahok, a.l.:

  1. Rusun yang biasanya banyak dimiliki oleh “orang-orang tertentu” sekarang hanya bisa dimiliki/disewa oleh warga yang benar-benar membutuhkannya, dan kondisinya dirawat dengan baik.
  2. Mereka yang dulu tinggal di tempat-tempat kumuh bisa hidup lebih sehat dan mendapatkan fasilitas umum yang lebih baik.
  3. Banjir yang biasanya  menenggelamkan wilayah Jakarta sudah jauh berkurang sehingga dana milyaran rupiah yang biasanya “terbuang sia-sia” bisa dimanfaatkan untuk kepentingan lain yang lebih bermanfaat.
  4. Sungai-sungai  jadi bersih dan bisa menjadi lapangan kerja baru bagi warga sekitar.
  5. Masyarakat bisa menikmati bis gratis dan bis murah
  6. Penjaga masjid diumrohkan
  7. Tempat kumuh berubah menjadi taman-taman bermain
  8. Daerah pasar tanah abang ditertibkan
  9. Kalijodo dan tempat hiburan yang disinyalir terkait narkoba dibubarkan
  10. Pasukan kuning dan pasukan  oranye mendapat gaji UMR, padahal sebelumnya cuma sekitar Rp 600.000
  11. Ada biaya pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri bagi warga yang membutuhkannya
  12. Pelayanan kesehatan terhadap orang miskin juga dihargai
  13. Lahan makam yang dijual jutaan terbongkar
  14. E- budgeting diterapkan untuk meminimalkan korupsi.

Kalau kita mencermatinya, sebenarnya semua itu yang menikmati siapa ? Ternyata, yang banyak menikmati manfaatnya  tersebut,  sebagian besar justru umat muslim  di Jakarta, yang selama ini diabaikan oleh pemimpin-pemimpin sebelumnya yang kebetulan selalu seorang muslim. Bahkan kebijakan mereka,  justru memperkaya para pengusaha yang sudah kaya, sehingga tingkat kesenjangan sosial di Jakarta semakin meningkat saja. Keberadaan bangunan-bangunan megah, dan lingkungan kumuh  sama banyaknya.  Artinya kesejahteraan yang satu terjadi karena adanya pemiskinan pihak yang lain. Apakah kita tidak bisa melihat  hal tersebut ? Apakah warga Jakarta sebelumnya pernah mendapatkan fasilitas-fasilitas itu dari pejabat-pejabat terdahulu ?

Atau mungkin ada yang mengatakan:” Tidak apa-apa rakyat miskin, tidak apa-apa lingkungan kumuh, tidak apa-apa birokrasinya korup, tidak apa-apa pejabatnya tidak amanah, asal pemimpin Jakarta tetap seorang muslim”. Pertanyaan saya, “Bagaimana kalau kita sendiri yang berada dalam posisi rakyat yang hidupnya selalu kesulitan itu ?” Karena selama ini, yang sering “berteriak lantang" seperti itu, realitanya tidak sedang mengalami nasib yang sama susahnya. Karena penghidupan mereka  selalu lancar-lancar saja, bahkan ada yang hidup bermewah-mewah, dan kemana-mana naik mobil.

Sebagai orang yang lebih suka melihat sopan santun, saya juga ingin melihat Pak Ahok bisa berbicara lebih halus. Tetapi saya juga berpikir, apakah perilaku birokrat yang “sudah berkarat” dan preman-preman sungguhan serta preman-preman berdasi itu bisa diajak berbicara baik-baik ? Mohon maaf, terlihatnya Jakarta yang seperti ini, juga baru bisa dirasakan oleh warga Jakarta setelah Pak Ahok berani marah-marah karena sudah menjadi gubernur. Bahkan beliaunya ini siap mati, karena tindakan atau kebijakannya memang nyawa resikonya. Tetapi demi melihat rakyat kecil bisa  tersenyum, demi membuat Jakarta yang lebih baik, demi harapan perubahan untuk Indonesia; keluarganyapun rela menghadapi resiko yang mungkin bisa terjadi. Suatu pengorbanan  dan kepasrahan yang luar biasa !

Ketika beliaunya  masih menjadi wakil gubernur selama 2 tahun, belum terlihat prestasi-prestasi  “spektakuler” tersebut, selain adanya Kartu Jakarta sehat, kartu Jakarta pintar. Sidak ke kantor-kantor lurah dan camat. Kunjungan-kunjungan  ke berbagai wilayah untuk melihat permasalahan-permasalahan Jakarta. Bahkan Pak Jokowipun masih harus keliling meninjau banjir yang dimana-mana itu. Tetapi setelah Pak Ahok ditetapkan sebagai gubernur, tak lama kemudian terlihat banyak perubahan yang terjadi di Jakarta, walaupun saya hanya melihatnya dari berita-berita televisi dan media on-line.  Saya hanya bisa iri melihat semua itu. Kapan di tempat saya bisa begitu ?

Hal itulah yang membuat Pak Jokowi dan yang mendukungnya, mengajak banyak pihak untuk bisa merenungkan akan hal ini. Kalau sekedar emosi, yang penting gubernurnya bukan Ahok, kemudian di Pemda DKI  terjadi lagi hal-hal seperti di masa lalu, siapa yang akan bertanggung jawab ? Bisakah kita “menjamin” bahwa penggantinya akan lebih baik atau sebaik Pak Ahok?

Sayangnya Pak Jokowi “tidak mampu” menyampaikan pernyataan tersebut secara terbuka kepada semua pihak. Beliaunya hanya mengingatkan tentang perlunya  menjaga NKRI, sehingga respon silahturahmi yang sedang dilakukan ke ormas-ormas Islam itu justru dimaknai sebagai bagian dari intervensi.  Intinya sebenarnya, Pak Ahok inilah yang  bisa diharapkan untuk menjadi penyelamat  Indonesia  dari berbagai keterpurukan bangsa yang ada. Karena di samping dia mau bekerja keras, juga memiliki pemikiran yang cerdas dan kreatif, serta yang utama yaitu jujur dan berani menolak keinginan orang yang serakah. Andaikan Pak Ahok itu prestasinya sama saja dengan pejabat lainnya, maka situasinya tidak akan berlarut-larut seperti ini.

Itulah sebabnya Pak Jokowi dalam konferensi pers selalu mengatakan:” jangan mengorbankan NKRI”. Maksudnya kalau kita memaksa harus memenjarakan Pak Ahok,  berarti harapan Indonesia menjadi  lebih baik itu akan  hilang kembali. Sebaliknya preman-preman sungguhan dan preman-preman berdasi  itu kembali meraja-lela. Bahkan para preman berdasi ini  bisa bekerja sama dengan luar negeri untuk menguras kekayaan Indonesia. Padahal realitanya yang berani menghadapi mereka itu,  masih Pak Ahok saja. Ada memang beberapa tokoh baru muncul, tetapi tatarannya masih dalam pejabat yang bersih. Belum sampai pada berani melawan “penggarong” uang negara.

Apalagi  sudah terlihat dari calon-calon gubernur DKI yang sudah ada. Rekam jejaknya sudah terlihat. Yang satu sedang mengadu nasib, siapa tahu  berkat bapaknya bisa dapat “durian runtuh”. Satunya lagi sudah pernah juga menjadi pejabat, yaitu menjadi Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah selama 2 tahun dengan mengelola anggaran pendidikan  Rp 80 trilyunan. Tetapi, perubahan apa yang kita rasakan di dunia pendidikan ? Kenapa dunia pendidikan masih tetap mahal ? Kenapa sampai lolos  anggaran sertifikasi guru Rp 23,3 trilyun yang tidak jelas, sehingga dibatalkan oleh Menkeu Sri Mulyani ? Pengawasannya terhadap sertifikasi para guru-guru itu bagaimana ? Kenapa gurunya sudah disertifikasi dan dapat penghasilan besar, tetapi siswanya masih terpaksa harus ikut bimbingan belajar yang berbiaya mahal ? Kenapa ada pembatalan UN sebagai syarat kelulusan, tetapi tetap melaksanakan UN. 

Lalu manfaat UN itu untuk apa ? Supaya anggarannya tetap bisa keluar? Sebab kalau cuma untuk memetakan kualitas pendidikan  para siswa, tak perlu harus ada UN. Tetapi cukup dengan sidak atau membuka laporan  dari masyarakat. Realita inilah, yang membuat khalayak belum melihat prestasi Pak Anis ini bermakna buat kesejahteraan rakyat Indonesia.

Pada sisi lain, Pak Ahokpun juga sudah menyadari kekeliruannya, dan sudah meminta maaf. Tetapi sepertinya itu masih dianggap kurang oleh orang-orang Jakarta atau luar Jakarta ? Ini yang tidak jelas.

Oleh karena itu, saya cuma  bisa menyarankan: “Biarkanlah rakyat Jakarta yang menentukan nasibnya sendiri”. Kalau  mereka memang masih ingin dipimpin oleh Pak Ahok, jangan diputus harapannya. Janganlah mereka dihalang-halangi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Apalagi memang masih ada “janji”: Pak Ahok yang belum terwujud. Beliaunya ini ingin membangun rumah sakit mewah namun bukan untuk orang kaya, tetapi untuk warga masyarakat biasa yang keuangannya pas-pasan. Pak Ahok masih mau memperbaiki gizi rakyat kecil dengan program daging murah, dan tentunya akan muncul ide-ide  baru  lainnya, seperti adanya pasukan ungu yang  “ menangani lansia”, membuka lapangan kerja seperti di kepulauan seribu dengan disediakan modal dan tempat pemasarannya, dll.

Namun, kalau  ternyata rakyat Jakarta sendiri yang tidak lagi menghendaki Pak Ahok untuk menjadi gubernur DKI, maka kalau  mereka kemudian tidak mendapatkan pemimpin Jakarta yang sebaik atau lebih baik dari Pak Ahok,  berarti itu salah mereka sendiri. Bukan salahnya orang yang ikut demo karena telah “memaksa” menggugurkan pencalonan  Pak Ahok.  Jadi jangan rampas hak warga Jakarta untuk bisa memilih pemimpin yang disukainya. Ini akan lebih fair.

Karena itu dalam menyikapi kasus Pak Ahok ini kita haruslah bijaksana. Mari kita tanya hati nurani kita masing-masing ! Apakah benar Pak Ahok itu telah menistakan agama Islam, atau jangan-jangan justru kita sendiri yang  sedang dalam proses  menistakan agama Islam, sehingga sesungguhnya Tuhan lebih marah kepada kita karena  sudah “melecehkan-Nya", yaitu:  melanggar larangan-Nya untuk tidak maksiat dan korupsi, tidak mau berbagi  kesejahteraan dengan orang miskin, munafik tetapi sok suci bahkan ingin menghalangi orang lain untuk bisa terlepas dari penderitaannya, dll.  Tuhan itu tidak perlu dibela dengan wujud kemarahan  kita, karena Tuhan Maha Tahu siapa yang harus dihukumnya.

Kalau  dalam Pilkada nanti, ternyata Pak Ahok tidak terpilih jadi gubernur lagi, paling-paling beliaunya  merasa  bahwa tanggung-jawabnya untuk bisa menyejahterakan warga DKI sudah selesai.  Tapi kalau dia merasa perjuangannya untuk menyejahterakan warga Jakarta  dihalang-halangi, tentu dia akan berjuang  untuk mewujudkan cita-citanya itu. Bukankah Pak Ahok sudah mengatakan ikhlas, kalaupun dia harus mati muda demi perjuangannya menyejahterakan warga Jakarta ? Kalau itu terjadi, apakah itu tidak semakin merugikan kita semua ? Sebab sejarah Indonesia dan sejarah dunia akan mencatat peristiwa ini, sehingga justru namanya akan dikenang sepanjang jaman.

Sebaliknya, kalau misalnya Pak Ahok terpilih menjadi gubernur DKI bagaimana ? Tentunya,  beliaunya sudah mendapat pelajaran berharga dari kasus ini, sehingga tidak akan menyerempet hal-hal yang bisa menyinggung perasaan umat agama lain. Kemudian, dia akan bisa mengeksplor  kemampuannya semaksimal mungkin. Kita bisa melihat bagaimana caranya bisa meningkatkan penerimaan daerah, bagaimana caranya menghadapi preman berdasi dan preman sungguhan, bagaimana kiat-kiat menyejahterakan warganya, bagaimana caranya mau melayani warganya yang ingin mengadukan permasalahannya, bagaimana dia memperbaiki kinerja birokrasinya, dll.  

Dimana ini akan selalu menjadi bahan berita media massa sehingga rakyat di daerah lain bisa selalu memantau perkembangannya dan bisa terinspirasi oleh  gaya kepemimpinannya yang baik. Yang jelek tidak usah ditiru, kecuali terpaksa juga. Bu Rismapun kalau marah juga luar biasa, tetapi tidak ada yang pernah mencelanya. Karena sebenarnya, kita juga maklum. Dalam kondisi Indonesia yang demikian ini, tanpa kemarahan sepertinya tidak akan ada perubahan yang signifikan.

Demikian pemikiran saya, semoga kita bisa bertindak dengan bijaksana dalam melihat manfaat dan mudlaratnya, sehingga yang akan diuntungkan juga kita semua, bangsa Indonesia ! Bukan hanya kelompok tertentu, atau bahkan bangsa lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun