Apalagi sudah terlihat dari calon-calon gubernur DKI yang sudah ada. Rekam jejaknya sudah terlihat. Yang satu sedang mengadu nasib, siapa tahu berkat bapaknya bisa dapat “durian runtuh”. Satunya lagi sudah pernah juga menjadi pejabat, yaitu menjadi Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah selama 2 tahun dengan mengelola anggaran pendidikan Rp 80 trilyunan. Tetapi, perubahan apa yang kita rasakan di dunia pendidikan ? Kenapa dunia pendidikan masih tetap mahal ? Kenapa sampai lolos anggaran sertifikasi guru Rp 23,3 trilyun yang tidak jelas, sehingga dibatalkan oleh Menkeu Sri Mulyani ? Pengawasannya terhadap sertifikasi para guru-guru itu bagaimana ? Kenapa gurunya sudah disertifikasi dan dapat penghasilan besar, tetapi siswanya masih terpaksa harus ikut bimbingan belajar yang berbiaya mahal ? Kenapa ada pembatalan UN sebagai syarat kelulusan, tetapi tetap melaksanakan UN.
Lalu manfaat UN itu untuk apa ? Supaya anggarannya tetap bisa keluar? Sebab kalau cuma untuk memetakan kualitas pendidikan para siswa, tak perlu harus ada UN. Tetapi cukup dengan sidak atau membuka laporan dari masyarakat. Realita inilah, yang membuat khalayak belum melihat prestasi Pak Anis ini bermakna buat kesejahteraan rakyat Indonesia.
Pada sisi lain, Pak Ahokpun juga sudah menyadari kekeliruannya, dan sudah meminta maaf. Tetapi sepertinya itu masih dianggap kurang oleh orang-orang Jakarta atau luar Jakarta ? Ini yang tidak jelas.
Oleh karena itu, saya cuma bisa menyarankan: “Biarkanlah rakyat Jakarta yang menentukan nasibnya sendiri”. Kalau mereka memang masih ingin dipimpin oleh Pak Ahok, jangan diputus harapannya. Janganlah mereka dihalang-halangi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Apalagi memang masih ada “janji”: Pak Ahok yang belum terwujud. Beliaunya ini ingin membangun rumah sakit mewah namun bukan untuk orang kaya, tetapi untuk warga masyarakat biasa yang keuangannya pas-pasan. Pak Ahok masih mau memperbaiki gizi rakyat kecil dengan program daging murah, dan tentunya akan muncul ide-ide baru lainnya, seperti adanya pasukan ungu yang “ menangani lansia”, membuka lapangan kerja seperti di kepulauan seribu dengan disediakan modal dan tempat pemasarannya, dll.
Namun, kalau ternyata rakyat Jakarta sendiri yang tidak lagi menghendaki Pak Ahok untuk menjadi gubernur DKI, maka kalau mereka kemudian tidak mendapatkan pemimpin Jakarta yang sebaik atau lebih baik dari Pak Ahok, berarti itu salah mereka sendiri. Bukan salahnya orang yang ikut demo karena telah “memaksa” menggugurkan pencalonan Pak Ahok. Jadi jangan rampas hak warga Jakarta untuk bisa memilih pemimpin yang disukainya. Ini akan lebih fair.
Karena itu dalam menyikapi kasus Pak Ahok ini kita haruslah bijaksana. Mari kita tanya hati nurani kita masing-masing ! Apakah benar Pak Ahok itu telah menistakan agama Islam, atau jangan-jangan justru kita sendiri yang sedang dalam proses menistakan agama Islam, sehingga sesungguhnya Tuhan lebih marah kepada kita karena sudah “melecehkan-Nya", yaitu: melanggar larangan-Nya untuk tidak maksiat dan korupsi, tidak mau berbagi kesejahteraan dengan orang miskin, munafik tetapi sok suci bahkan ingin menghalangi orang lain untuk bisa terlepas dari penderitaannya, dll. Tuhan itu tidak perlu dibela dengan wujud kemarahan kita, karena Tuhan Maha Tahu siapa yang harus dihukumnya.
Kalau dalam Pilkada nanti, ternyata Pak Ahok tidak terpilih jadi gubernur lagi, paling-paling beliaunya merasa bahwa tanggung-jawabnya untuk bisa menyejahterakan warga DKI sudah selesai. Tapi kalau dia merasa perjuangannya untuk menyejahterakan warga Jakarta dihalang-halangi, tentu dia akan berjuang untuk mewujudkan cita-citanya itu. Bukankah Pak Ahok sudah mengatakan ikhlas, kalaupun dia harus mati muda demi perjuangannya menyejahterakan warga Jakarta ? Kalau itu terjadi, apakah itu tidak semakin merugikan kita semua ? Sebab sejarah Indonesia dan sejarah dunia akan mencatat peristiwa ini, sehingga justru namanya akan dikenang sepanjang jaman.
Sebaliknya, kalau misalnya Pak Ahok terpilih menjadi gubernur DKI bagaimana ? Tentunya, beliaunya sudah mendapat pelajaran berharga dari kasus ini, sehingga tidak akan menyerempet hal-hal yang bisa menyinggung perasaan umat agama lain. Kemudian, dia akan bisa mengeksplor kemampuannya semaksimal mungkin. Kita bisa melihat bagaimana caranya bisa meningkatkan penerimaan daerah, bagaimana caranya menghadapi preman berdasi dan preman sungguhan, bagaimana kiat-kiat menyejahterakan warganya, bagaimana caranya mau melayani warganya yang ingin mengadukan permasalahannya, bagaimana dia memperbaiki kinerja birokrasinya, dll.
Dimana ini akan selalu menjadi bahan berita media massa sehingga rakyat di daerah lain bisa selalu memantau perkembangannya dan bisa terinspirasi oleh gaya kepemimpinannya yang baik. Yang jelek tidak usah ditiru, kecuali terpaksa juga. Bu Rismapun kalau marah juga luar biasa, tetapi tidak ada yang pernah mencelanya. Karena sebenarnya, kita juga maklum. Dalam kondisi Indonesia yang demikian ini, tanpa kemarahan sepertinya tidak akan ada perubahan yang signifikan.
Demikian pemikiran saya, semoga kita bisa bertindak dengan bijaksana dalam melihat manfaat dan mudlaratnya, sehingga yang akan diuntungkan juga kita semua, bangsa Indonesia ! Bukan hanya kelompok tertentu, atau bahkan bangsa lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H