“Kalau sudah kena penyakit, rumah bisa terjual” ungkapan itu bukan omongan kosong. Karena biaya pengobatan seseorang kalau sudah terkena penyakit yang parah itu bisa sampai ratusan juta. Akibatnya, suatu keluarga yang sebelumnya hidupnya sudah sejahtera, tiba-tiba bisa jatuh miskin. Karena itu demi melindungi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia, sejak 2014 negara berusaha meringankan beban semua rakyatnya, apabila sewaktu-waktu perlu mendapatanan pengobatan atas penyakitnya, melalui sistem Jaminan Kesehatan Nasional yang berbasis gotong royong secara nasional dengan membayar sejumlah iuran yang relatif murah. Penyelenggaraannya diserahkan dalam suatu badan yang dinamakan BPJS Kesehatan atau Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan.
Konsep Jaminan Kesehatan Nasional yang Saat Ini sedang Berjalan
Konsep jaminan kesehatan nasional yang saat ini sedang berjalan dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu: pelayanan jaminan kesehatan kelas I, kelas II, dan kelas III. Sebelum 1 April 2016 iuran gotong- royong tersebut, besarnya bervariasi tergantung yang bersangkutan masuk dalam golongan mana. Pembagiannya sbb.:
- Rakyat pekerja mandiri harus membayar sendiri dengan ketentuan:
- Kelas I sebesar Rp 59.500 (1 keluarga 5 orang = 297.500 + 12.500 = 310.000/bulan)
- Kelas II sebesar Rp 42.500 (1 keluarga 5 orang = 212.500 + 12.500 = 225.000/bulan)
- Kelas III sebesar Rp 25.500 (1 keluarga 5 orang = 127.500 + 12.500 = 140.000/bulan)
- Pekerja perusahaan membayar 5% gaji (1% gaji dibayar peserta, dan yang 4% dibayar perusahaannya)
- Pekerja negara membayar 5% gaji (2% gaji dibayar peserta dan 3% dibayar oleh negara)
- Mereka yang tergolong miskin ada 86,4 juta dibayari negara setiap bulannya sebesar Rp 19.225/orang
- dll
Dengan sistem pelayanan kesehatannya, dilakukan secara bertahap yang harus dimulai dari Fasilitas Kesehatan Primer, kemudian pelayanan kesehatan di Rumah Sakit rujukan Tipe B atau C, baru kalau belum teratasi kemudian di RSU rujukan. Namun apabila terjadi kondisi darurat, bisa langsung ke rumah sakit manapun.
Penerapan Pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional di Lapangan
Dengan konsep jaminan kesehatan nasional tersebut, realita pelayanan kesehatan terhadap para peserta BPJS yang terjadi di lapangan, baik yang saya alami sendiri dan saya saksikan sendiri, maupun yang diceritakan sesama peserta BPJS, sering terjadi hal-hal sbb.:
- Ketika sedang mendapatkan pelayanan pengobatan di Puskesmas, beberapa kali saya mendengar pasien ditanya ikut mandiri atau jamkesmas atau PNS.
- Pengobatan di Faskes Primer kurang optimal, penyebabnya a.l.: pasiennya banyak sehingga pemeriksaan tidak optimal; ketika pasien datang lagi karena belum sembuh, dokternya mengeluh bahwa jatah obatnya dikurangi; dokternya ada yang kualitasnya meragukan.
- Beberapa kali ditolak perawatan di RS rujukan dengan dalih kamar penuh. Padahal itu belum tentu penuh, sepertinya itu hanya sebagai modus operasi menggiring pasien untuk bayar sebagai pasien umum.
- Ketika mau masuk UGD harus menunggu lama, padahal oleh dokter di Faskes Primer sudah dinyatakan harus masuk UGD.
- Walaupun di rumah sudah pingsan beberapa kalipun masih dikatakan belum perlu perawatan rumah sakit, tetapi ketika pilih bayar umum langsung ditempatkan di UGD.
- Ketika mau rawat inap di rumah sakit dipersulit dan diarahkan untuk pelayanan umum (bayar sendiri lagi), terutama bagi mereka yang berasal dari luar kota dengan cara dilempar sana-sini sehingga yang bersangkutan akhirnya menyerah. Padahal ternyata yang dari luar kota itu ternyata cukup disuruh lapor ke BPJS setempat saja. Tidak harus kembali ke kota asalnya.
- Standar pelayanan kesehatan rawat inap antara peserta BPJS dan yang bayar sendiri tidak sama, walaupun kelasnya sama: baik dari sisi pelayanan dokter, obatnya, lamanya rawat inap.
- Ketikamenjalani rawat inap, obat yang diresepkan dokter habis, sehingga harus beli obat lainnya yang sejenis.
- Pasien lebih cepat pulang (walaupun sebenarnya keluarga justru senang karena tidak capai harus menunggu di rumah sakit), tetapi kondisi itu ternyata bisa menjadi peluang untuk korupsi obat yang berlebih ( obat infus, dll), karena sisanya tidak dikembalikan ke apotik.
- Setelah pulang dari rumah sakit, diminta kontrol dokter disuruh datang jam 9, tetapi dokternya baru datang jam 11.30 dengan alasan dokternya masih rapat.
- Beberapa kali ketemu pasien berobat di rumah sakit, ketika saya tanya kenapa tidak pakai BPJS, jawabnya: ndaftarnya antri panjang, kalau berobat pakai BPJS nggak cepat sembuh sehingga harus bolak-balik malas, yang mengejutkan lagi ada yang mengatakan dilarang oleh dokternya ?!.
Jadi penerapan sistem gotong- royong dalam Jaminan Kesehatan Nasional yang sudah berjalan ini, di samping ada pihak-pihak yang merasa terbantu, ternyata juga membawa dampak buruk pada pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan ini. Dampak buruknya, yaitu:
- Ada perbedaan pelayanan kesehatan terhadap peserta BPJS yang membayar secara mandiri, dibayari negara, dibayar oleh peserta + negara. Juga dengan pelayanan kesehatan yang pasiennya membayar langsung. Apalagi ketika dalam kondisi rawat inap, jelas dirasakan pelayanannya berbeda, walaupun kelasnya sama.
- Terjadi kecemburuan sosial di masyarakat yang diekspresikan dalam bentuk percakapan, misal: “enak PNS dibayari negara” (walaupun tidak dibayar 100%); atau negara ini juga menjamin kesehatan orang yang suka mabuk-mabukan, merokok, dll.
- Punya kartu BPJS tetapi masih bayar pelayanan pengobatan ataupun rawat inap secara umum. Hal ini terjadi karena kecewa dengan pelayanan pengobatan di Faskes Primer yang sering harus berulang, ataupun terpaksa dilakukan demi menjaga agar si sakit segera mendapat pelayanan rumah sakit.
- BPJS terancam bangkrut sehingga kemudian sejak 1 April 2016 Pemerintah menaikkan iuran peserta BPJS, kecuali yang mandiri kelas III sbb:
- Rakyat pekerja mandiri harus membayar sendiri dengan ketentuan:
- Kelas I sebesar Rp 80.000 (1 keluarga 5 orang = 400.000 + 12.500 = 412.500/keluarga)
- Kelas II sebesar Rp 51.000 (1 keluarga 5 orang = 255.000 + 12.500 = 267.500/keluarga)
- Kelas III sebesar Rp 25.500 (1 keluarga 5 orang = 127.500 +12.500 = 140.000/keluarga)
- Pekerja formal swasta membayar 5% gaji (1% gaji oleh peserta, dan yang 4% oleh perusahaannya
- Pekerja negara membayar 5% dari gaji ( 2% gaji oleh peserta, dan yang 3% dibayar oleh negara
- Pekerja BUMN/BUMD membayar 5% dari gaji (1% oleh peserta dan 4% dibayar perusahaan)
- Orang tua dan mertua pekerja penerima upah, anak ke-4 dst dari pekerja penerima upah membayar 1% dari gaji. Contoh: kalau ybs. merupakan pegawai golongan III dengan gaji 3 juta, maka untuk orang tua dan mertuanya ini akan mendapat jaminan fasilitas kesehatan kelas I, hanya dengan membayar 1% gaji yaitu sebesar Rp 30.000 per bulan.
- Mereka yang tergolong miskin ada 86,4 juta dibayari negara setiap bulan sebesar Rp 23.000/orang untuk fasilitas pelayanan kelas III.
- Aturan yang baru, peserta BPJS kelas III, bisa pindah kelas dengan tambahan pembayaran.
- Dll.
- Rakyat pekerja mandiri harus membayar sendiri dengan ketentuan:
Dari penjelasan tersebut bisa diketahui bahwa negara (BPJS) menyediakan jaminan pelayanan kesehatan kepada warga negaranya dalam tiga kelompok, yaitu: ada yang kelas I, kelas II, dan kelas III. Kemudian negara memberikan jaminan pelayanan kepada warga negaranya juga dengan cara yang berbeda-beda, yaitu: untuk pekerja negara diberikan jaminan pelayanan kesehatan dengan fasilitas kelas I – III dengan iuran sebagian besar ditanggung oleh pemerintah, untuk rakyat yang dianggap miskin dibayari pemerintah untuk fasilitas kelas III, untuk karyawan perusahaan sebagian besar disuruh membayari perusahaannya. Sedangkan rakyat lainnya yang bekerja secara mandiri dipersilahkan membayar sendiri-sendiri. Kalau tidak mau/tidak mampu membayar iurannya, silahkan akibatnya ditanggung sendiri !
Kalau sistem gotong-royongnya demikian, berarti terkesan bahwa orang-orang pekerja swasta (kecuali yang miskin) sepertinya hanya “diperalat negara” untuk menanggung biaya kesehatan orang miskin dan pekerja negara beserta keluarganya. Terbukti mereka harus membayar iurannya jauh lebih mahal dibandingkan dengan besarnya iuran yang harus ditanggung oleh pekerja negara. Sementara tanggung jawab jaminan pelayanan kesehatan yang baik belum dilaksanakan.
Karena itu konsep jaminan kesehatan nasional yang saat ini berjalan terasa tidak adil, sehingga harus diperbaiki dengan konsep yang lebih bijaksana sehingga bisa menekan terjadinya kegiatan pelayanan kesehatan yang sering mengecewakan peserta BPJS.
Merancang Konsep Gotong Royong yang Ideal dalam Sistem Jaminan Kesehatan Nasional
Sebelum membahas tentang konsep gotong-royongnya, harus dipertegas terlebih dahulu bahwa yang dimaksud dengan jaminan sosial kesehatan ini, bukan berarti pemerintah menjamin seluruh biaya pengobatan setiap warga negaranya ketika sedang sakit. Tetapi, pemerintah menjamin kepastian adanya pelayanan kesehatan, ketika warga negara tersebut mau mengikuti program jaminan sosial kesehatan nasional yang diselenggarakan pemerintah melalui BPJS. Hal tersebut perlu dikemukakan terlebih dahulu, karena selama ini juga ada pro-kontra tentang makna jaminan sosial kesehatan. Dalam hal ini, penulis sepakat dengan pemerintah bahwa jaminan pelayanan kesehatan hanya diberikan kepada mereka yang mengikuti program jaminan sosial kesehatan, atau lebih dikenal dengan istilah asuransi kesehatan. Masalah yang tidak mampu membayar untuk sementara harus dibayari oleh negara terlebih dahulu, itu tidak menjadi masalah, asalkan nantinya setelah mereka memiliki penghasilan yang layak, kemudian mereka harus bayar sendiri. Dengan demikian, anggaran negara tidak terkuras untuk membiayai orang sakit, karena dana pengobatan kesehatan rakyat diperoleh dari iuran peserta BPJS.
Kembali kepada pokok persoalan, mengapa jaminan kesehatan nasional dengan prinsip gotong-royong yang sudah berjalan ini menimbulkan permasalahan-permasalahan sebagaimana yang sudah dikemukakan tersebut. Jawabnya karena gotong- royong yang dilakukan itu ternyata mengabaikan prinsip-prinsip yang harus menjadi dasar pemikirannya. Akibatnya, manfaatnya tidak bisa maksimal dan banyak menimbulkan dampak negatif yang kurang menguntungkan bagi perjalanan bangsa Indonesia. Untuk itulah, sistem yang belum tepat ini perlu direvisi agar tidak semakin merugikan.
Prinsip-prinsip Gotong- royong yang Ideal dalam Jaminan Kesehatan Nasional
Prinsip-prinsip gotong- royong yang ideal dalam penerapan jaminan sosial kesehatan, mengandung makna bahwa sistemnya harus sederhana dan sistemnya harus adil untuk semua peserta BPJS. Mengapa harus sederhana ? Karena kalau sistemnya sederhana, itu mudah dipahami sehingga kalau masyarakat merasa cocok maka mereka akan mau menjadi pesertanya. Sebagai contoh: setiap peserta BPJS yang dibayar negara akan dapat fasilitas pelayanan kesehatan di kelas III. Kalau ingin naik kelas, maka dia harus membayar iurannya sesuai dengan yang diinginkan. Artinya pekerja negara atau siapapun yang mau dibayari negara harus ditempatkan di kelas III.
Sedangkan kalau sistemnya rumit itu sulit untuk dipahami masyarakat umum, sebagaimana yang sekarang ini berlaku, yaitu ada peserta yang membayar penuh, ada yang membayar 1%gaji, ada yang sebagian besar dibayar perusahaan, ada yang sebagian besar ditanggung negara, dan ada yang semuanya dibayar oleh negara. Sehingga, hal ini menimbulkan kecurigaan masyarakat umum terhadap oprasional BPJS, yang seolah-olah hanya dijadikan alat negara untuk “memeras” orang-orang swasta agar membiayai jaminan kesehatan pihak-pihak yang biaya kesehatannya ditanggung oleh negara. Karena itu, untuk membebaskan dari kecurigaan ini, pemerintah dan DPR perlu memperbaiki sistem BPJS yang sudah berjalan ini.
Kemudian, mengapa sistemnya harus adil untuk semua peserta BPJS ? Karena kalau sistemnya adil, maka dampaknya juga akan membuat masyarakat benar-benar merasakan manfaatnya. Dengan demikian, mereka mau terus menjadi peserta BPJS dan tidak putus di tengah jalan untuk pindah ke jaminan kesehatan yang lainnya ataupun tidak ikut sama sekali.
Berikut ini merupakan penjabaran dari keadilan yang harus diterapkan dalam sistem jaminan kesehatan nasional yang diselenggarakan oleh BPJS, yaitu:
1. Harus Ada Kesetaraan Jaminan Pelayanan Kesehatan
Harus ada kesetaraan/kesamaan jaminan pelayanan kesehatan, maksudnya bahwa jaminan pelayanan kesehatan terhadap semua warga negara Indonesia yang dibiayai oleh negara adalah sama, misalnya: semua di kelas III. Tidak ada perbedaan untuk warganegara yang memiliki profesi tertentu, misalnya kalau PNS golongan III akan dapat jaminan pelayanan kesehatan dari negara di kelas I, pejabat dapat jaminan pelayanan kesehatan di kelas I, karyawan perusahaan BUMN dapat jaminan pelayanan kesehatan di kelas II atau kelas I. Jadi, bagi warga negara yang ditetapkan untuk dibayari negara hanya di kelas III.
Kalau mereka merasa mampu, baik karyawan perusahaan ataupun pekerja negara dipersilahkan membayar sendiri sesuai dengan kelas yang diinginkannya. Dengan demikian negara tidak menanggung iuran BPJS pekerja negara terlalu besar, BUMN dan BUMD tidak membayari iuran BPJS karyawan BUMN dan BUMD terlalu besar. Perusahaan swasta juga tidak membayar iuran BPJS karyawannya terlalu besar. Juga negara tidak menutup peluang para pekerja negara atau karyawan perusahaan yang mampu ini untuk berkontribusi dalam kegiatan bergotong royong dalam membuat Indonesia yang lebih sehat. Sedangkan untuk pejabat negara sebagaimana yang disebut dalam UUD, nanti ada fasilitas kesehatannya tersendiri yang diatur oleh pemerintah.
2. Harus sama-sama melakukannya sendiri
Harus sama-sama melakukannya sendiri, maksudnya yaitu bahwa para peserta jaminan pelayanan kesehatan itu harus membayarnya sendiri. Bukan dibayari pihak lain, kecuali yang tergolong miskin. Karena, kalau membayar sendiri, atau dibayari sebagian, atau dibayari secara keseluruhan ini akan menimbulkan efek psikologis yang berbeda. Bagi mereka yang membayar sendiri akan merasakan bahwa mereka telah berpartisipasi dalam kegiatan gotong royong untuk menyehatkan bangsa Indonesia, dan ada usaha untuk melakukan hal tersebut. Sedangkan bagi mereka yang merasa dibayari oleh negara, atau sebagian besar dibayari oleh negara, atau sebagian besar dibayari oleh perusahaan; mereka akan merasa bahwa kalau sakit akan ada pihak yang membayari. Dengan demikian pihak yang tidak merasa membayar sendiri ini tidak merasa terlibat dalam gotong royong untuk menyehatkan bangsa Indonesia dan menjadi tidak atau kurang peduli terhadap perilakunya dalam menjaga kesehatan dirinya . Karena itu kalau ada pihak perusahaan swasta yang merasa perlu membayari, maka harus dimasukkan melalui gaji mereka, dan yang membayar iuran BPJS tetap harus yang bersangkutan sendiri. Sedangkan untuk masyarakat yang miskin, bantuan pemerintah itu hanya bersifat sementara, selama pemerintah belum mampu mengatasi masalah lapangan pekerjaan buat rakyatnya.
3. Besar iurannya harus sama
Besar iurannya harus sama, maksudnya setiap peserta BPJS harus membayar sejumlah iuran yang besarnya sama, misalnya untuk jaminan pelayanan kesehatan kelas III Rp 25.500. Maka jangan ada yang kurang, seperti untuk PBI, besar iurannya juga harus sebesar iuran kelas III. Demikian juga untuk iuran BPJS kelas I dan kelas II, iurannya besarnya harus sama. Ini diperlukan agar tidak terjadi kecemburuan sesama peserta BPJS.
4. Harus sama-sama mendapatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai
Harus sama-sama mendapatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai, maksudnya semua fasilitas jaminan pelayanan kesehatan di manapun di seluruh wilayah Indonesia harus memadai, misalnya: tentang kondisi Fasilitas Kesehatan Primernya, kondisi rumah sakit rujukannya, bagaimana pelayanan paramedisnya, kapan jam kerja pelayanan Faskes Primernya, bagaimana tingkat keramaian pasiennya sehingga tidak harus antri panjang yang melelahkan, dll. Kalau ada yang belum sama maka harus disamakan. Kalau ada yang fasilitas kesehatannya belum memadai harus segera diperbaiki oleh pemerintah. Jangan kecewakan pesertanya !
5. Harus sama-sama dikenai prosedur pengobatan bertahap
Harus sama-sama dikenai prosedur pengobatan bertahap, yaitu semua harus diawali dari Faskes Primer. Tidak boleh ada yang diistimewakan, kecuali untuk yang kondisi darurat bisa langsung ke rumah sakit mana saja. Jangan dipersulit, terutama bagi mereka yang dari luar kota.
6. Harus ada tranparansi dengan menerapkan sistem on-line
Harus ada transparansi dengan menerapkan sistem on-line, maksudnya publik bisa mengetahui dengan mudah secara on-line apa yang ingin dilihatnya, misalnya:
- Adanya ketersediaan tempat rawat inap di Rumah Sakit rujukan yang diperuntukkan bagi pasien peserta BPJS, sehingga peserta BPJS ini tidak gampang ditolak dengan alasan tempat sudah penuh. Sebab hal ini sepertinya menjadi modus operandi pihak Rumah Sakit agar pasien beralih ke pasien umum (membayar sendiri). Untuk mengatasi hal seperti ini, BPJS bisa menerapkan sistem on-line seperti yang diterapkan pada sistem ojek on-line.
- Penggunaan obat sehingga keluarga pasien tahu obat apa saja yang diresepkan dokter sehingga ketika terjadi kekeliruan bisa segera diatasi.
- Sisa obat yang tidak terpakai (biasanya yang berupa obat infus), ini harus benar-benar kembali ke apotik agar tidak dikorupsi pihak-pihak yang tidak bertanggung-jawab.
- SOP pelayanan dokter, misal berapa kali kunjungan dokter sehingga tidak ada perbedaan kalau pasien umum (bayar sendiri) rutin dikunjungi dokter, sementara pasien BPJS terkadang dikunjungi terkadang tidak.
7. Harus mendidik masyarakat untuk peduli kesehatan
Harus mendidik masyarakat untuk peduli kesehatan, maksudnya bahwa dengan adanya jaminan pelayanan kesehatan ini tidak membuat masyarakat menjadi abai dengan kesehatannya karena merasa sudah ada jaminan kesehatannya. Untuk itu perlu ada syarat tertentu yang harus dipenuhi ketika akan mendapatkan hak jaminan pelayanan kesehatannya, misalnya: sakitnya tidak disebabkan karena mabuk-mabukan, sakitnya tidak disebabkan karena narkoba, dll. Kalau penyebab sakitnya karena hal tersebut, berarti harus tetap membayar sendiri. Kalau tidak, maka uang hasil iuran peserta ini akan terkuras untuk membiayai pengobatan orang yang tidak bertanggung-jawab tersebut.
Kemudian kalau mau mendapatkan jaminan pelayanan kesehatan lagi, mereka harus dibebaskan dari kebiasaan mabuk-mabukan atau kecanduan narkoba terlebih dahulu. Hal ini juga bisa menjadi upaya untuk menekan maraknya mabuk-mabukan dan pemakaian narkoba di Indonesia.
8. Kalau tidak memenuhi persyaratan harus ditunda jaminan pelayanan kesehatannya
Kalau tidak memenuhi persyaratan harus ditunda jaminan pelayanan kesehatannya, misalnya:
- Kalau terlambat membayar iuran harus dikenai sangsi sementara penghentian jaminan pelayanan kesehatan sampai yang bersangkutan melunasinya.
- Bagi yang sakit akibat mabuk-mabukan atau sedang kecanduan narkoba juga dikenai sangsi penghentian sementara pelayanan kesehatannya, dan mereka harus membayar sendiri untuk kesembuhan penyakitnya. Hal ini dimaksudkan untuk menyadarkan masyarakat agar tidak terus terjebak dalam tindakan mabuk-mabukan atau terjerat dalam narkoba karena merasa sudah mengikuti BPJS. Dengan demikian, negara bisa menghentikan perilaku rakyat yang salah tersebut karena ybs. takut pelayanan fasilitas kesehatannya tidak bisa dimanfaatkan lagi.
9. Setiap peserta BPJS yang taat aturan tidak boleh dipersulit haknya
Setiap peserta BPJS yang taat aturan tidak boleh dipersulit haknya, maksudnya kalau ada yang bermasalah justru harus segera diberikan solusinya. Bukan justru dilempar ke sana ke mari sampai membuat keluarga pasien putus asa, dan akhirnya pilih membayar lagi biaya perawatan kesehatannya. Ini sangat mengecewakan !
10. Harus ada layanan pengaduan yang bersifat lokal
Harus ada layanan pengaduan yang bersifat lokal, baik melalui telepon atau secara langsung untuk menghindari adanya hal yang tidak menyenangkan, atau untuk mencari solusi dari permasalahan yang dihadapi.
Jadi tidak semua hal yang sudah dilakukan secara gotong-royong itu berarti sudah baik. Kalau penerapan gotong royongnya itu sudah tepat, maka akan memberikan manfaat yang luar biasa. Sebaliknya kalau pelaksanaannya kurang tepat, itu justru bisa mendatangkan permasalahan baru. Sebagaimana konsep gotong-royong Jaminan Kesehatan Nasional yang selama ini sudah dilakukan, sepertinya harus diperbaiki sehingga mencerminkan Konsep Gotong-royong yang ideal. Dengan demikian, manfaat dari Jaminan Kesehatan Nasional ini benar-benar bisa optimal dan ekses negatifnya bisa dikurangi.
Kalau nantinya sistem gotong-royong dalam Jaminan Kesehatan Nasional ini sudah menerapkan konsep gotong-royong yang ideal tersebut, tentunya pelayanannya akan memuaskan pesertanya. Maka, hal ini akan mendorong masyarakat untuk bergotong royong dengan senang hati dan ikhlas, serta tidak membuat kecemburuan sosial.
Akhirnya masyarakat juga melihat bahwa menjadi peserta BPJS benar-benar menguntungkan, dan tidak lagi merasa dibohongi. Sehingga ini akan menjadi daya tarik bagi mereka yang belum menjadi peserta BPJS untuk mendaftarkan diri menjadi peserta BPJS. Kemudian kalau semua sudah menjadi peserta BPJS dan rakyat juga peduli untuk menjaga kesehatannya, serta pengelolaan BPJS sudah profesional; maka BPJS tidak akan pernah merugi lagi. Kalaupun terpaksa merugi juga, negara tidak terlalu besar menanggung tambahan kekurangan bayar atas kesehatan rakyat ini. Bukan kemudian setiap BPJS merugi, lalu pemerintah menaikkan iurannya. Kalau demikian dimana tanggung jawab pemerintah terhadap kesehatan rakyatnya ? Semoga hal ini bisa mencerahkan kita semua !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H