[caption caption="Ilustrasi: news.liputan6.com"][/caption]Tolong, Pak Jokowi dilepaskan dari "Jebakan Badman"
Terbongkarnya skandal “Panama Paper” membuat pemerintah dan DPR ingin segera menyelesaikan pembahasan RUU Tax Amnesty (pengampunan pajak) yang intinya, yaitu: pemerintah akan memberikan pengampunan kepada mereka yang mau melaporkan harta kekayaan yang selama ini disembunyikan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Pengampunan tersebut termasuk juga membebaskan mereka dari ancaman tindak pidana yang menyertainya, kecuali teroris, narkoba dan perdagangan manusia. Tindak pidana yang dibebaskan, yaitu: tindak pidana korupsi, pencucian uang, perbankan, penanaman modal, perjudian, kepabeanan dan cukai , illegal fishing dan kelautan, serta pertambangan. Pemerintah mengajukan RUU ini dengan alasan, kalau diterapkan maka pemerintah bisa mendapatkan uang tebusan dan nantinya juga bisa mendapatkan pajak dari sekitar 11.000 trilyun dana yang diperkirakan tidak dilaporkan oleh para pemiliknya. Serta bisa meningkatkan jumlah cadangan devisa negara. Selanjutnya dana ini akan dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur.
Pak Jokowi dan DPR harus diingatkan bahwa hancurnya negeri ini diawali dari penerimaan negara yang tidak mengindahkan asal-usulnya, misalnya : pajak rokok. Akibatnya sekarang, negara terjebak dalam kesulitan: mau menutup industri rokok tidak bisa karena banyak pekerja yang harus dipikirkan nasibnya, sementara membiarkan rakyat merokok itu berarti sengaja membuat rakyat menjadi tidak sehat. Mau menaikkan harga cukainya agar pembelinya semakin berkurang, pemerintah masih ragu-ragu bahkan mungkin tidak berani.
Kalau kemudian pemerintahan sekarang mengampuni mereka yang terlibat tindak kejahatan pencurian, penipuan, pembunuhan, perusakan lingkungan, pembakaran hutan, korupsi, dll, demi pembangunan infrastruktur, itu berarti pemerintah akan mengajari rakyatnya: “melakukan tindak pidana tersebut tidak apa-apa, asal kemudian disucikan dengan perbuatan amal baik, misalnya: menyumbang panti asuhan, membangun tempat ibadah, membangun jalan, dll”.
Konsekuensinya, demi keadilan sesama pelaku tindak kejahatan, maka negara tidak boleh menghukum mereka, kalau kemudian terjadi peristiwa yang sama. Bukankah nanti bisa diampuni ? Juga bagi yang saat ini sedang menjalani hukuman, seharusnya bisa bayar uang tebusan agar mereka bisa terbebas dari hukumannya.
Namun ternyata pemerintah dan DPR, berencana membatasi bahwa pengampunan tersebut tidak berlaku bagi mereka yang masih dalam proses penuntutan. Juga tidak berlaku bagi mereka yang saat ini sedang dalam proses menjalani hukum pidana atas tindak pidana perpajakan atau pidana tertentu yang rencananya akan diampuni tersebut. Di samping itu, pengampunan ini hanya berlaku untuk harta kekayaan yang diperoleh sebelum UU ini diberlakukan.
Kalau rencananya seperti itu, bagaimana dengan kepastian hukum di Indonesia, bagaimana dengan keadilan rakyat secara keseluruhan ? Apakah dalam masa-masa tertentu hukum di Indonesia ini memang bisa dibeli ? Apakah hukum di Indonesia ini dibuat hanya untuk melindungi orang-orang tertentu ? Apakah hukum di Indonesia ini tergantung dari kebutuhan pemerintahnya ? Apa penegakan hukum di Indonesia ini pilih-pilih ? Untuk orang miskin tidak ada ampun, kalau untuk orang kaya tergantung kebijakan pemerintah ? Untuk orang tertentu, tindak kejahatannya tidak dipublikasikan (dilindungi), sementara orang lain harus diekspos besar-besaran. Kalau pelaksanaan hukum di Indonesia jadi seperti itu, dimana letak keadilannya ? Tergantung sang penguasa ?
Padahal di tahun 2017 juga akan ada kerjasama pertukaran informasi data transaksi dan wajib pajak dengan negara-negara G 20. Jadi sebenarnya apa tujuan pemerintah memaksakan pelaksanaan Tax Amnesty itu ? Demi uang atau demi melindungi orang tertentu ? Belum lagi tentang kerahasiaan yang harus dijaga oleh para pejabat yang terkait dengan pengampunan pajak, ini bisa menimbulkan peluang korupsi baru, dalam bahasa ucapan terima kasih.
Dampak harta/simpanan WNI yang tidak dilaporkan
Kalau harta itu berada di dalam negeri, maka pengaruhnya hanya akan membuat penerimaan pajak menjadi berkurang. Namun, kalau harta itu berada atau disimpan di luar negeri, di samping penerimaan pajak pemerintah menjadi berkurang, juga akan membuat negara kehilangan banyak devisa. Akibatnya jumlah cadangan devisa negara menjadi sedikit. Padahal devisa negara itu diperlukan untuk membayar cicilan utang LN, membayar barang-barang impor, dan berbagai kegiatan WNI di luar negeri.
Kalau cadangan devisa kita sangat minim, maka nilai tukar rupiah menjadi sangat labil dan cenderung akan melemah terus. Sebagai perbandingan, nilai tukar mata uang Malaysia 1 $ = 3,83 ringgit, Singapura 1 $ = 1,34 dolar singapur, Thailand 1$ =34,86 bath, Philipina 1$ = 46,17 peso. Sedangkan Indonesia 1 $ = Rp 13.150. Karena nilai tukar rupiah terhadap dolar sangat lemah, kemudian dijuluki sebagai “uang sampah”. Dampaknya barang-barang impor menjadi mahal. Harga kedelai, susu, telur, ayam potong, dll yang banyak dibutuhkan rakyat ikut menjadi mahal karena harga pakan atau pupuknya mahal. Akhirnya, rakyat kecil jadi menjerit.
Sebaliknya barang-barang dari dalam negeri yang diekspor, harganya menjadi murah. Karena kita kebanyakan ekspor bahan mentah, maka SDA kita menjadi dieksploitasi besar-besaran agar bisa mendapatkan devisanya. Namun demikian, jumlah devisa yang diperoleh negara ternyata masih belum menculupi kebutuhan. Sehingga untuk mencukupinya, sampai-sampai negara rela mengirim TKW menjadi budak di negara lain. Ini benar-benar sangat memprihatinkan ! Sudah SDA jatah untuk generasi penerus dikuras oleh pemerintah, masih pula kehilangan harga diri bangsa. Ironis bukan ?
Tidak melaporkan harta kekayaan: tindak kejahatan atau bukan ?
Tidak melaporkan harta kekayaan kepada negara, ada yang mengatakan itu merupakan tindak kejahatan. Ada juga yang mengatakan itu belum tentu kejahatan. Pro kontra seperti ini tampaknya tidak bisa dihentikan. Pada sisi lain tidak ada larangan bagi warga negara untuk menyimpan dana di luar negeri , sehingga keadaan ini kemudian banyak dimanfaatkan oleh mereka yang ingin menghindari/ mengurangi beban pajak yang berlebihan atau menyembunyikan dana yang diperoleh dari kegiatan yang tidak legal atau tindak kejahatan. Karena itu penulis coba menganalisanya lebih mendalam, sehingga diperoleh kesimpulan sbb.:
1. Tidak melaporkan - tindak kejahatan
Kalau dana itu berasal dari tindak kejahatan/usaha yang dilarang, maka uang tersebut disimpan dimanapun juga merupakan bagian dari bentuk kejahatan. Apalagi kalau disimpan di luar negeri, maka kejahatannya menjadi berlipat-lipat, yaitu: mengurangi penerimaan pajak negara, merugikan yang terkena tindak kejahatannya, menyusahkan negara yang harus menanggulangi akibat dari tindak kejahatannya, membuat harga-harga barang impor naik sehingga menyusahkan rakyat kecil, membuat beban utang negara membengkak, membuat BI harus melakukan intervensi, dll. Karena itu, dana tersebut tidak layak dipajaki untuk dijadikan sumber pendapatan negara, walaupun dengan dalih untuk pembangunan infrastruktur atau untuk membayar utang LN.
Kalau pemerintah mau menerima dana haram tersebut, berarti pemerintah membuat hukum di negara ini menjadi tidak ada kepastian dan tidak memberikan rasa keadilan kepada semua orang. Nantinya, rakyatpun tidak boleh disalahkan kalau mau menerima dana dari perbuatan yang tercela: korupsi, jual makanan beracun, menipu, merampok, dll karena bisa “disucikan” dengan cara menyumbang pembangunan tempat ibadah, membangun jalan, menyumbang panti-panti sosial, membantu fakir miskin, dan beramal yang lainnya.
Tidak diberi contoh pemerintah saja, rakyat sudah “pintar”, apalagi kalau diberi contoh, maka negara/pemerintah menjadi semakin tidak berwibawa.Pemerintah saja boleh menerima dana kotor, kenapa rakyat yang hidupnya susah tidak boleh ? Bagaimana kalau setiap kali ada persidangan, kemudian terdakwanya protes demikian ? Sudahkah ini dipikirkan ?
Oleh karena itu, agar permasalahan bangsa ini tidak semakin runyam, maka pemerintah tidak boleh “menjual hukum” kepada para pelaku tindak kejahatan. Karena dampaknya akan menimbulkan kekacauan hukum dan kecemburuan di masyarakat luas. Juga, selamanya pemerintah akan mengeluarkan dana sendiri untuk memperbaiki lingkungan yang telah rusak atau merehabilitasi korban-korban akibat dari perbuatan jahat mereka.
Ini harganya jauh lebih mahal, dibanding dengan jumlah pajak dan devisa negara yang bisa diperoleh dari Tax Amnesty. Apalagi sekarang ini pemerintah sudah memaksa bank dan rakyat untuk jujur menjelaskan asal-usul dananya, kalau mereka menerima/menyimpan uangnya dalam kisaran seratus juta ke atas. Kok pemerintah justru mau melakukan hal yang sebaliknya ? Apa hukum itu hanya berlaku untuk rakyat saja, sementara pemerintah dan DPR-nya boleh mempermainkan hukum ?
2. Tidak melaporkan - pengkhianat bangsa
Pejabat negara itu dibayar oleh negara/rakyat untuk bisa menemukan berbagai cara bagaimana bisa menyejahterahkan rakyat Indonesia. Bukan mencari cara untuk bisa meningkatkan kekayaan harta keluarganya. Mereka menyimpan dana halal (sebagian dari gaji) di luar negeri saja, itu sudah tidak pantas, karena mereka tahu akibat dari perbuatan tersebut bisa membuat nilai tukar rupiah menjadi bergejolak dan efeknya bisa menyusahkan rakyat. Apalagi kalau yang disimpan itu dana dari hasil korupsi atau hasil penyuapan atau tindak pidana lainnya ? Jelas mereka tidak layak untuk diampuni, karena mereka tidak lagi bekerja untuk kepentingan kesejahteraan rakyat, bahkan membuat rakyat Indonesia hidupnya tambah susah. Untuk itu, mereka harus mundur dari jabatannya, sebab sudah tidak bisa lagi diserahi untuk menata negara, bahkan pejabat seperti itu telah menjadi pengkhianat rakyat. Jadi hartanya harus dirampas (dikembalikan) kepada negara. Kalau mereka terlibat dalam tindak pidana juga harus dihukum sesuai dengan kesalahannya. Bukan justru ingin dibebaskan dengan Tax Amnesty.
3. Tidak melaporkan karena terpaksa
Tidak melaporkan simpanan harta kekayaan ada yang karena terpaksa. Benarkah ? Para pengusaha atau badan usaha di Indonesia ini memang seperti sapi perah. Mereka ditariki dengan berbagai macam pajak dan uang siluman. Padahal mereka ini sebenarnya mitra pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Kalau para pengusaha ini sedang kesusahan, pemerintah tidak pernah peduli. Bila ada pengusaha bangkrut, mereka harus menanggung semuanya sendiri, bahkan masih diharuskan membayar pesangon. Tetapi kalau ada keuntungan tambahan sedikit, mereka dikejar-kejar untuk menyumbang ini dan itu. Akibatnya, hal itu membuat para pengusaha harus berpikir untuk meyisihkan dananya dengan cara sembunyi-sembunyi, antara lain dengan tidak melaporkan jumlah yang sebenarnya atau disimpan di LN dengan tujuan sebagai “cadangan”. Bandingkan dengan kalau pemerintah yang bangkrut, maka solusinya bisa menaikkan pajak. Bisa juga dengan utang, dan yang harus membayar nantinya yaitu rakyat, bukan yang utang. Enak bukan jadi pemerintah itu ?
Oleh karena itu, kita sebagai masyarakat umum, janganlah terlalu mencela kepada para pengusaha yang terpaksa melakukan hal seperti ini, saya yakin kita semua juga melakukan hal-hal yang dianggap tercela seperti ini, hanya mungkin porsinya saja yang berbeda-beda.
Untuk para pengusaha dalam kategori ini, jangan bebas begitu saja. Kurangi saja dendanya. Namun untuk pengusaha yang sudah baik, juga harus diberi insentif agar mereka tidak melakukan hal yang sama. Kalau pemerintah tidak berani memberikan insentif pada pengusaha yang baik, lebih baik tetap didenda sesuai dengan aturan saja agar tidak memicu kecemburuan. Bukankah dana itu asalnya dari memanfaatkan SDA atau SDM Indonesia ? Karena itu, mereka wajib hukumnya untuk memberikan kontribusinya kepada negara.
Kalau mereka tetap tidak mau, umumkan saja nama-nama mereka, panggil untuk melakukan klarifikasi, dan beri batas waktu untuk penyelesaiannya. Juga masyarakat bisa memberikan sangsi moral selama masih belum selesai permasalahannya. Namun, kalau mereka tetap nekat menyembunyikan dananya di luar negeri, berarti predikatnya berubah menjadi penjahat. Karena mereka telah dengan sengaja menyusahkan rakyat Indonesia. Biarkan saja mereka lari ke luar negeri, kalau ada negara yang mau menampungnya. Kita ekspor para penilap SDA kita.
Tak perlu takut kekayaan para perampok ini dimiliki oleh negara lain. Apalagi kalau negara tersebut tak punya malu menjadi penampung para penjahat Indonesia. Kita abaikan saja negara tersebut, asal kita juga berani tidak mengemis utang pada mereka lagi. Kemudian pemerintah bisa “mengakuisisi” perusahaan mereka (tentunya harus dibuat UU-nya), sebagai ganti simpanan dana yang dibawa lari itu. Untuk selanjutnya bisa diserahkan kepada pihak-pihak yang mampu mengelola perusahaan tersebut secara profesional.
Pada sisi lain, pemerintah jangan lagi hanya menjadikan para pengusaha/badan usaha ini sebagai “sapi perah”. Sebaliknya dukung mereka agar bisa semakin berkembang usahanya, misalnya: hapuskan PPh badan usaha dan ganti menjadi tabungan wajib bagi perusahaan yang sewaktu-waktu bisa dimanfaatkan kalau perusahaan sedang mendapat kesulitan. Hapuskan/kurangi PPN untuk produk-produk yang banyak dibutuhkan rakyat. Ini akan lebih menguntungkan negara, karena rakyat bisa lebih sejahtera dan negara bisa mendapatkan pemasukan pajak dari banyaknya produksi yang terjual, serta mungkin juga pengembangan ekspornya.
Sesungguhnya, keberadaan para pengusaha ini sangatlah dibutuhkan oleh pemerintah dalam jumlah sebanyak-banyaknya. Kalau tidak ada para pengusaha, negara ini tidak bisa melakukan apa-apa ! Kalau banyak pengusaha yang baik dan hebat, pasti negara akan berjaya. Merekalah, pahlawan-pahlawan bangsa di era modern ini. Sebaliknya kalau pemerintah melindungi pengusaha-pengusaha nakal, maka pemerintah telah menanam bom waktu yang suatu saat bisa meledak.
4. Tidak dilaporkan karena serakah
Perorangan yang menyembunyikan hartanya karena takut dikenai pajak yang lebih besar itu disebabkan oleh keserakahan. Untuk itu mereka harus didenda. Kalau mereka nekat tidak peduli, maka segala bentuk pelayanan administrasinya bisa dipersulit.
5. Tidak melaporkan - harus kembalikan semua
Siapa yang masuk kategori ini ? Tentunya bagi pengusaha/perorangan yang dengan kesadarannya rela mengembalikan semua harta dari hasil tindak kejahatannya. Mengapa boleh diampuni ? Karena harta yang dikembalikan tersebut bisa dimanfaatkan oleh pemerintah untuk memperbaiki berbagai kerusakan yang telah terjadi. Juga, apabila ada tuntutan dari pihak lain, pemerintah bisa melakukan hal yang sama. Dan, mereka sebenarnya masih tetap terhukum dengan “hilangnya sumber kekayaan” tidak halal yang selama ini dimilikinya.
Kalau yang seperti itu, dan rakyat bisa menerima, masih bolehlah dikatakan sebagai upaya rekonsiliasi bangsa di bidang perpajakan. Namun, untuk mereka ini harus ada syaratnya, yaitu memberi kuasa kepada pemerintah untuk bisa mengetahui semua harta yang dia simpan.
6. Tidak melaporkan – bukan harta kekayaan
Para pengusaha/badan usaha yang bergerak dalam bisnis ekspor – impor, tentunya butuh kemudahan dalam berbagai aktivitas yang terkait dengan bisnis tersebut. Karena itu mereka butuh menyimpan dananya di luar negeri untuk kepentingan biaya opasionalnya, bukan sebagai simpanan harta kekayaannya. Karena selama ini tidak ada aturan tentang simpanan di LN, maka mereka kemudian menyimpan sesuai dengan keinginannya.
Namun setelah kita mengetahui adanya dampak simpanan di luar negeri yang bisa memberikan pengaruh negatif terhadap nilai tukar rupiah, maka untuk ke depannya, pemerintah harus membatasi jumlah dana yang boleh disimpan di luar negeri ini. Juga, mereka diharuskan rutin lapor pada lembaga yang berwenang mengurusi hal ini.
7. Tidak melaporkan – diberi insentif “spesial”
Selain pengusaha yang menjalankan usahanya di dalam negeri, ada juga pengusaha Indonesia yang berhasil menjadi pengusaha di luar negeri, namun dengan “tidak membawa uang” dari negeri sendiri, tetapi mereka didanai oleh bank luar negeri. Pengusaha-pengusaha seperti ini mungkin jumlahnya tidak banyak. Mereka inilah yang dalam kategori tidak boleh didenda, bahkan kalau mau menyimpan dananya di Indonesia harus diberi “insentif kehormatan”. Kalau mereka tidak mau, harus terus diupayakan agar mereka mau. Bukankah mereka itu WNI ? Ini sama dengan pengusaha asing yang diharapkan mau menyimpan hasil keuntungannya di Indonesia, kalau ada insentif yang menarik.
Jadi memiliki harta kekayaan yang tidak dilaporkan itu, tidak serta-merta mereka harus dicap sebagai penjahat. Karena kalau dananya tidak diperoleh dari tindak kejahatan, mereka hanya dikategorikan sebagai orang yang tidak jujur. Hal tersebut mereka lakukan, bisa jadi diakibatkan oleh sikap pemerintah sendiri yang seringkali memperlakukan para pengusaha itu hanya sebagai sapi perah, tanpa pernah memahami bahwa para pengusaha ini sebenarnya juga sangat membutuhkan dukungan dari pemerintah, apabila mereka sedang menghadapi permasalahan. Sebagaimana yang telah dilakukan banyak negara terhadap para pengusahanya.
Terkait dengan RUU Tax Amnesty, Pak Jokowi dan DPR janganlah gegabah “mengampuni” para pelaku tindak kejahatan tersebut. Jangan hanya tergiur oleh besarnya dana saja ! Pertimbangkan konsekuensi ke depannya terhadap penegakan hukum di Indonesia. Jangan sampai setiap kali polisi atau KPK bersusah payah untuk menegakkan hukum, ternyata kemudian dijawab ini sudah dapat pengampunan. Jangan sampai kita semua mengatakan ternyata penegakan hukum di era Pak Jokowi dan DPR 2014 - 2019 bisa dibeli oleh orang-orang jahat yang memiliki uang banyak. Jangan sampai di era Pak Jokowi dan DPR 2014 – 2019, kita tidak bisa membedakan mana para pelaku tindak kejahatan dan mana yang bukan pelaku tindak kejahatan, karena sebagian penjahat telah mendapat “perlindungan” dari pemerintah. Jangan sampai di era Pak Jokowi dan DPR 2014 – 2019, para pejabat koruptor menjadi tidak diketahui dan menjadi aman.
Pak Jokowi dan para anggota DPR, pembangunan infrastruktur itu memang penting untuk menyejahterakan bangsa Indonesia, tetapi membangun mental rakyatnya itu jauh lebih penting lagi. Apalah artinya memiliki infrastruktur yang maju, kalau citra penegakan hukumnya menjadi kacau balau. Ini akan menjadi sejarah kelam dalam dunia penegakan hukum di Indonesia. Apalah artinya memiliki infrastruktur yang maju, kalau kemudian mental warga negaranya menjadi rusak karena dipicu oleh sikap pemerintah sendiri yang menghalalkan segala cara demi mendapatkan uang.
Pak Jokowi dan para anggota DPR, negara- negara maju itu awalnya juga berasal dari negara yang miskin. Tetapi karena pimpinan negaranya tidak mau dibeli dengan apapun, kemudian membuat bangsa-bangsa tersebut berjaya. Terbukti mereka akan mundur kalau terindikasi melakukan tindak kejahatan atau hal yang memalukan. Jadi jangan justru "berkomplot" dengan para penjahat walaupun hanya sekali. Karena itu merupakan titik hitam yang akan mencoreng bangsa Indonesia selama-lamanya.
Khusus untuk Pak Jokowi, Bapak merupakan aset bangsa Indonesia. Mohon dibaca dan dipikirkan ulang tentang rencana Tax Amnesty terhadap para penjahat yang belum ketahuan itu. Jangan sampai Bapak tergiring untuk masuk perangkap jebakan badman ! Untuk saat ini, sebenarnya kita masih bisa menyelamatkan bangsa Indonesia dengan cara lain yang halal, sebagaimana pernah saya bahas pada artikel-artikel sebelumnya, bahkan sudah saya kirimkan ke Bapak.
Nasib bangsa ini tidak ditentukan oleh adanya dana dari para penjahat yang akan diampuni, tetapi tergantung dari kesadaran seluruh warga bangsa Indonesia untuk bekerjasama dalam mewujudkan kesejahteraan bersama. Walaupun infrastrukturnya maju, kalau perilaku warga bangsanya tidak mencintai negaranya, maka infrastruktur maju tersebut justru menjadi pemicu kehancuran bangsa yang lebih parah. Walaupun infrastrukturnya belum maju, kalau warga bangsanya patuh pada hukum dan kompak, maka kesejahteraan bangsa itu secara bertahap akan bisa diwujudkan. Jadi jangan porak-porandakan hukum di negeri ini, hanya demi uang dari para pelaku tindak kejahatan tersebut ! Atau, ini memang skenario untuk membebaskan dan melindungi para pejabat dan para pengusaha yang terlibat tindak pidana ?
Juga, kepada para ahli hukum di Indonesia, kenapa Anda semua tidak terdengar bersuara lantang ??? Penegakan hukum di negeri ini akan tercabik-cabik, tetapi Anda semua seperti tidak peduli. Apa Andapun rela, kalau hukum ini dibeli atau dikendalikan oleh para pelaku tindak kejahatan ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H