Pada sisi lain, penulis melihat selama ini ada “kelompok masyarakat” yang selama ini tidak jelas posisinya dalam kenegaraan, tetapi memiliki peran luar biasa dalam membangun mindset anak bangsa. Bahkan posisi mereka merasa lebih “diatas” dari peran lembaga-lembaga yang ada, namun mereka tidak ada yang menaungi, yaitu golongan penceramah agama dan seniman. Dimana penceramah agama ini ada yang radikal dan banyak yang berubah peran “menjadi artis”. Sementara seniman-seniman/pekerja seni Indonesia lebih banyak mementingkan uang dan tak lagi peduli dengan jatidiri bangsa Indonesia. Akibatnya negara ini seringkali dibuat "permasalahan", tetapi tak bisa melakukan pembinaan kepada mereka.
Jadi kesimpulannya, kinerja lembaga-lembaga negara ini buruk karena posisi, peran, dan dasar pembentukan masing-masing lembaga ini tidak jelas. Untuk itu kalau mau memperbaikinya berarti kita harus memperjelas konsep posisi, peranan dan dasar pembentukan lembaga-lembaga negara tersebut.
.
II. Prinsip Pembentukan Lembaga Tinggi Negara yang Ideal
Prinsip yang harus dipegang dalam penyusunan lembaga-lembaga tinggi negara (pelaksana kedaulatan) yang ideal, yaitu:
1) Penataan lembaga tinggi negara harus sesuai dengan kebutuhan negara dan berorientasi pada tujuan negara yaitu kesejahteraan rakyat. Bukan untuk kepentingan balas jasa. Artinya keberadaan lembaga tinggi negara benar-benar harus fungsional , efektif dan efisien, sehingga anggaran negara tidak terkuras untuk menggaji penyelenggara negara yang tidak diperlukan.
2) Pembentukan lembaga tinggi negara tidak boleh semaunya sendiri, tetapi harus sesuai dengan konsep bentuk negara NKRI, bukan konsep negara federal, karena masing-masing memiliki konsekuensi yang berbeda dan tidak bisa dipadukan, misalnya: keberadaan DPD ini sebenarnya tidak sesuai dengan konsep NKRI.
3) Penamaan lembaga tinggi negara tidak bias, atau sesuai dengan fungsi lembaga negara tersebut sehingga perannya jelas, misal: Dewan Legislatif, Dewan Pengawas bukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dimana perannya tidak jelas antara wakil rakyat atau wakil partai.
4) Tidak boleh ada lembaga tinggi negara yang berperan ganda, karena bisa menimbulkan konflik kepentingan, kerjanya menjadi tidak fokus, tidak efektif, tidak efisien, tidak optimal, serta pertanggung-jawaban kerjanya menjadi tidak jelas. Contohnya: DPR mempunyai fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Presiden juga mempunyai fungsi legislasi, pelaksana, pengawasan, dan anggaran.
5) Kewenangan lembaga tinggi negara tidak tumpang tindih, misalnya: dewan legislatif menyusun peraturan, eksekutif juga menyusun peraturan. Akibatnya, siapa yang sesungguhnya memiliki tanggung-jawab terhadap tugas tersebut menjadi tidak jelas.
6) Tugas lembaga negara yang terlalu luas harus dikurangi . Sebagai contoh tugas lembaga Presiden di Indonesia terlalu luas. Apalagi untuk negara Indonesia yang banyak memiliki kegiatan seremonial, maka perlu pemilahan kerja antara tugas kenegaraan dan tugas pemerintahan. Tugas kenegaraan menjadi tanggung-jawab presiden. Sedangkan tugas pemerintahan/kesejahteraan perlu dibentuk jabatan baru, yaitu Perdana Menteri. Perdana Menteri yang dimaksudkan bukan seperti dalam sistem parlementer, tetapi merupakan jabatan pimpinan negara untuk menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia yang dipilih oleh rakyat.