Sistem kerja mengingat dan melupakan pada otak manusia telah dirancang oleh Allah SWT dengan mekanisme yang sangat efektif , Abu Hurairah RA merupakan salah satu sahabat Rasulullah yang memiliki kelebihan terkait daya ingatannya yang sangat kuat, karena Abu Hurairah RA memiliki kemampuan mengingat dengan mudah, termasuk semua perkataan dengan detil betapapun panjangnya, kemampuan mengingat tersebut bisa beliau pertahankan hingga akhir hayatnya.
Manusia memang kadang kala panik ketika sebuah informasi terlupakan, untuk menghadapi keterbatasan kemampuan dalam mengingat, manusia terkadang menyiasatinya dengan menggunakan catatan, perekam digital, atau upaya lainnya.
Saat ini banyak Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik yang “abadi” sebagai “Jejak digital” ditambah pencarian pada Google yang semakin memudahkan informasi dapat diakses dengan cepat serta tumbuh subur penyelenggara Sistem Elektronik berupa ratusan ribu situs-situs atau akun-akun yang menghasilkan konten, mesin pencarian pada Google harus diakui memudahkan manusia untuk mencari informasi lalu mengingatnya namun ada juga sisi lainnya berpotensi membebani proses mental seseorang apabila sesorang menginginkan “Hak untuk dilupakan” atau “Right to be Forgotten” atas Informasi atau dokumen elektronik masa lalu yang mengandung data pribadi karena berasumsi informasi elektronik tersebut sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini.
Undang- Undang Privasi Perancis 1978 yang menetapkan prinsip utama dari Hak untuk dilupakan atau Right to be Forgotten dengan menggambarkan tujuan Hak untuk dilupakan atau Right to be Forgotten adalah untuk menjadi sarana bagi subjek data untuk meminta pengontrol data agar dapat memperbaiki, melengkapi, memperbaharui, mengunci, atau melakukan penghapusan data pribadi yang berkaitan dengan subjek data, dan diketahui bahwa data tersebut tidak lagi akurat, ambigu, kedaluwarsa atau pengumpulan, penggunaan dan penyimpanan data tersebut terlarang Hak untuk dilupakan atau Right to be Forgotten namun tidaklah bersifat mutlak, lantaran diperlukan pembatasan yang sangat hati-hati guna menghindari benturan dengan hak lainnya, seperti hak untuk berbicara atau hak untuk mendapatkan informasi.
Secara historis “Hak untuk dilupakan” atau Right to be Forgotten muncul ketika seorang warga Negara Spanyol bernama Mario Costeja Gonzales melayangkan Gugatan terhadap surat kabar Spanyol bernama La Vanguardia, dan Perusahaan Google karena berdalil hasil pencarian atas Namanya pada mesin pencarian Google tidaklah tepat ,karena hasil pencarian atas keyword “Namanya” memunculkan hasil pencarian berupa tautan peristiwa pada masa lalu terkait kepemilikan hutang dan berita pelelangan rumah miliknya, sebab ia telah menjalani keputusan hukum dengan melunasi hutang tersebut.
Mario Costeja Gonzales lalu mengajukan dua Permohonan kepada La Agencia Espanola de Proteccion de Datos atau Badan perlindungan data pribadi Spanyol adapun permohonannya Pertama,meminta surat kabar La Vanguardia menghapuskan berita terkait dirinya yang terpaksa menjual asetnya karena terlilit hutang serta Kedua meminta Google Spain dan Google Inc untuk menghapuskan tautan yang terkait dengan berita surat kabar La Vanguardia yang berisi informasi data pribadinya dengan alasan berita yang dimuat oleh La Vanguardia terjadi lebih dari satu dekade yang lalu ,sehingga sudah tidak relevan lagi dengan kondisinya sekarang,namun atas permintaan tersebut pihak Google membela diri dari permintaan tersebut sebab mereka ingin menjadi platform informasi yang bersifat netral.
Melalui keputusan Penetapan Agensi Perlindungan Data Spanyol memutuskan menolak permohonan Mario Costeja Gonzales terkait permohonan surat kabar La Vanguardia menghapuskan berita terkait dirinya yang terpaksa menjual asetnya karena terlilit hutang, namun pihak Agensi Perlindungan Data Spanyol mengabulkan permintaan Kedua yakni berita Costeja di La Vanguardia tetap dapat diakses namun Google harus menghapuskan tautan ke berita tersebut dari hasil mesin pencarinya atas keyword nama Mario Costeja Gonzales.
Atas Penetapan Agensi Perlindungan Data Spanyol tersebut pihak Google tidak tinggal diam dan membawa kasus ini sampai ke European Court of Justice “ECJ” atau Pengadilan Eropa namun hasilnya pihak Google kalah karena Pengadilan Eropa dalam pertimbangannya tetap menguatkan penetapan dari Agensi Perlindungan Data Spanyol adapun salah satu pertimbangan dari Pengadilan Eropa yang dapat dilihat dalam putusannya menyatakan:
“Setiap individu memiliki hak – dalam kondisi tertentu – untuk meminta mesinpencari menghapuskan tautan yang mengandung informasi pribadi mereka. Halini berlaku ketika informasi tersebut sudah tidak akurat, tidak lengkap atauberlebihan dalam tujuan pengolahan data.
Selanjutnya pada tahun 2018, Uni Eropa menerapkan General Data Protection Regulation (GDPR) yang mana dalam Pasal 17 GDPR menetapkan 'Hak untuk menghapus' yang serupa dengan hak yang telah diakui Mahkamah Eropa berdasarkan hukum lama yang digantikan oleh GDPR. Berbagai literasi sejumlah negara di luar Uni Eropa juga telah menerapkan hukum yang serupa beberapa contohnya pada bulan Juli 2015, Rusia mengeluarkan hukum yang memungkinkan warga negaranya menghapus link dari mesin telusur Rusia jika link tersebut “melanggar hukum Rusia atau jika informasinya salah atau sudah tidak berlaku ada juga Turki dan Serbia juga telah mengakui hak untuk dilupakan versi negara mereka.
Dari uraian diataslah kemudian dikenal dengan istilah Right to be Forgotten, dan Melalui GDPR inilah istilah Right to be Forgotten berdampingan dengan istilah Right to Erasure serta dari keputusan tersebut menjadi bukti lahirnya kesetaraan antara individu dan penyedia layanan multinasional yang besar di mata hukum serta memunculkan pertanyaan “nakal” yang bersipat riset terkait objektivitas Google dalam merilis hasil pencariannya bagaimana Google menyusun algoritma menilai suatu halaman agar dapat tampil pada hasil mesin pencarian.
LALU BAGAIMANA PENGATURAN “HAK UNTUK DILUPAKAN” ATAU RIGHT TO BE FORGOTTEN UNTUK DI INDONESIA
Berdasarkan Pasal 26 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik bahwa Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.
Pasal 26
1)Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan.
2)Setiap Orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini.
3)Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.
4)Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sudah tidak relevan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
5)Ketentuan mengenai tata cara penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam peraturan pemerintah.”
Ketentuan kewajiban menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan diatas tentu berkaitan dengan data pribadi karena data pribadi adalah privacy rights yang diartikan dalam UU ITE sebagai hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam gangguan ,hak untuk dapat berkomunikasi dengan Orang lain tanpa tindakan memata matai, hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi dan data seseorang
Secara Eksplisit memang tidak disebutkan oleh UU ITE “Hak untuk dilupakan” atau Right to be Forgotten karena yang ada adalah pengaturan kewajiban Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.
Namun pengaturan penghapusan ini memunculkan Potensi multi tafsir kalimat “data pribadi yang tidak relevan” serta menjadi salah satu ketakutan karena jika keputusan hakim tidak tepat maka dapat berdampak terjadinya praktik penyensoran terhadap informasi, khususnya terhadap karya jurnalistik, serta potensi manipulasi sejarah atau penulisan ulang sejarah secara tidak benar walaupun Masalah penyensoran sesungguhnya tidak lahir karena adanya Hak untuk dilupakan atau Right to be Forgotten Namun, jauh sebelumnya, persoalan terkait penyensoran telah hadir dan menjadi salah satu pemicu lahirnya “freedom of expression”
Ketakutakan terkait Hak untuk dilupakan” atau Right to be Forgotten pernah dikomentari oleh Ketua Tim Panitia Kerja (Panja) Revisi Undang-undang (RUU) Informasi dan Transaksi Eletronik, Henry Subiakto, saat berkunjung ke Kantor Redaksi Kompas.com di Gedung Kompas Gramedia, Palmerah Selatan, Jakarta Pusat, pada Rabu (30/11/2016)
“Hak untuk dilupakan yang ada di Pasal 26 itu diutamakan untuk situs pemberitaan non pers, karena mereka yang biasanya membuat berita yang tidak bertanggungjawab dan secara identitas tidak jelas"serta ia mengatakan dengan anonimitas tersebut, situs pemberitaan nonpers merasa bebas memberitakan tanpa proses verifikasi mendalam.
Akibatnya, berita yang secara faktual di masa ini sudah tak relevan, bisa dimunculkan kembali oleh mereka untuk mendiskreditkan pihak tertentu. "Itu seperti kasus di Spanyol. Ada pengusaha yang dulu punya utang di bank tapi sudah dilunasi, tapi masih diberitakan kalau masih punya utang. Akhirnya di tahun-tahun berikutnya ia kesulitan saat meminjam uang di bank. Makanya DPR mengusulkan pasal itu muncul ungkap Henry Subiakto
Lalu bagaimana dengan situs yang memampaat kebebasan pers tetapi tidak mematuhi kode etik jurnalistik dalam produksi beritanya ?
Ketegangan Hak untuk dilupakan atau Right to be Forgotten di antara hak privasi dan kebebasan berekspresi nampaknya perlu dilihat lebih cermat, khususnya yang terkait dengan kedudukan Hak untuk dilupakan atau Right to be Forgotten karena Benturan ini bukan hanya terjadi di indonesia tetapi berdasarkan beberapa refrensi terjadi juga di amerika terkait catatan kriminal di Amerika yang saat ini dapat dengan mudah diakses pada laman internet serta menjadi salah satu pemicu lahirnya website yang secara khusus mempublikasikan catatan-catatan kejahatan yang telah dan tengah berlangsung Bagi warga pada umumnya, hal ini merupakan wujud hak atas informasi dan menjadi perlindungan dini terhadap potensi kejahatan yang mungkin akan dihadapinya, namun dari sisi subjek yang dipublikasikan (terdakwa, narapidana, ataupun yang telah selesai menjalani hukuman), pengungkapan tersebut dapat menyulitkannya untuk beralih dari kesalahan yang telah lama terjadi. Hal demikian turut berimbas pada rendahnya kesempatan kerja, persoalan keuangan, kesulitan untuk menetap (tempat tinggal), dan lainnya.
Ada sejumlah persoalan untuk menerapkan Hak untuk dilupakan atau Right to be Forgotten apabila pelaksanaannya tidak dipandu oleh peraturan yang rinci dan jelas salah satunya adalah gesekan dengan hak warga negara untuk mendapatkan informasi karena Bagaimana hendak menegakkan hak untuk mendapatkan informasi jika ada hak lain untuk menghapus informasi?
Informasi dan dokumen elektronik yang dimaksud pun perlu diperjelas secara rinci karena Tanpa ada penjelasan dan pendefinisian yang jernih, karya jurnalistik dan karya ilmiah juga bisa dituntut untuk dihapus ,Kita patut menghormati privasi orang lain. Tetapi sangatlah absurd untuk menugaskan orang lain melupakan peristiwa yang pernah terjadi ,belum lagi Menghalangi orang untuk mengakses informasi saja sudah tergolong melanggar hak asasi, apalagi jika menghapus informasi dan dokumen yang secara legal tidak melanggar hukum?,namun harus kita jujur ditengah kondisi “bebas” seperti ini diperlukan juga pengaturan kewajiban menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik menyangkut data pribadi yang sudah tidak relevan apabila penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi dilakukan tidak berdasarkan undang undang seperti yang dilakukan akun atau situs anonim yang menyebarkan data pribadi.
Alfa dera*
Mahasiswa Program Doktor Ilmu hukum Universitas Jayabaya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H