Mohon tunggu...
Herdita Widyasmara
Herdita Widyasmara Mohon Tunggu... wiraswasta -

hanya seorang yang ingin terus menulis karya....

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Guru...ku

1 Februari 2011   13:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:59 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tok...tok...tok, ku ketuk pintu ruang kelasku.


"Permisi pak, maaf saya terlambat. Tadi....." kataku menjelaskan

"Tak perlu kau jelaskan, ku sudah tahu. Pasti alasannya cuma itu - itu saja to?!" sentak pak Sutomo, guru Sains di SMA ku ini, di Semarang.

Aku Rasya, murid yang bisa dibilang paling dibenci oleh pak Tomo. Entah karena apa, tapi yang pasti sejak aku kelas X dan sejak  selalu juara di setiap perlombaan musik yang aku ikuti atas nama sekolah, nah sejak itu pula pak Tomo selalu memandangku sebelah mata. Mungkin karena aku bukan siswa yang jago sains ya, hahaha.... Emang aku tak mahir dalam sains, tapi aku tetap bukan golongan anak yang bodoh alias tak pandai. Sejak ku duduk di bangku SD hingga kelas XI kini, aku tak pernah mendapat angka merah membara, tapi memang aku sangat suka bahkan cinta dengan musik apalagi menyanyi.

"Hei, melamun aja kamu, sya!? lagi mikirin pak Tomo ya? hahaha..." sindir wulan, sahabatku sejak SD.

"Akh, kamu..Lan, bikin kaget saja! Eh kamu kok tahu aku lagi mikirin pak Tomo?" jawabku sambil tersenyum.

"Emang bener ya? nebak aja aku ini. Kenapa kamu mikirin pak Tomo, mulai pikir - pikir buat nyerah ya sama janjimu dulu?" tambah Wulan sedikit menyindirku.

"Enggaklah, aku ini kan Rasya. Tidak ada kata menyerah dalam kamus hidupku, non!? Ehm... aku cuma lagi mikir terus nih, sampai kapan aku bisa kasih bukti ke pak Tomo secara beliau gak pernah slow kalau berhadapan ma aku so mau ma siapa ku cari topiknya. Jadi dongkol tambah sebel ma pak killer yang satu itu."  jawabku sedikit sebal.

"Jangan gitu juga. Kan salah kamu sendiri kenapa dulu kamu jawab tantangan pak Tomo dengan emosi, sekarang jadi bingung deh..." tambah Wulan mengingatkanku.

"Ya...gimana gak emosi, secara pak Tomo duluan to yang bikin aku jadi mati gaya waktu itu. Mana ada orang yang mau diremehin di depan umum, saat terima penghargaan pula...gimana tanggapan temen - temen dan para guru ke aku kalau aku cuma diam aja?! Meski aku sadar, itu gak sopan, tapi aku kan udah minta maaf juga ma pak Tomo, ya kan?" jelasku membela diri.

"Terus sekarang kamu mau gimana coba...?" tanya Wulan.

"Ehm...belum tahu juga. Tapi, kamu harus denger ya, Wulan sahabatku. Mulai detik ini aku akan lebih semangat lagi buat dapat topik tepat yang bakal aku ikutin ke Olimpiade, ntar. Pokoknya...cayooo!!?" ucapku lantang menyemangati diri sendiri.

"Ya deh, percaya. Enggak perlu segitunya juga, non?!" tukas Wulan.

Sudah 3 bulan, aku mencoba menjadi seorang siswa yang gemar meneliti, yah seperti teman - teman yang hobi betul sama sains itu. Tiga bulan aku tak lagi sibuk dengan hobi musikku, tidak lagi les vokal, tidak lagi les piano, semua itu kulakukan demi pak Tomo, ups tepatnya sih demi harga diriku di depan teman - teman dan para guru. Padahal kalau ditanya aku tak pernah tertarik dengan yang namanya sains apalagi gurunya super duper killer denganku. Pak Tomo itu memang guru teladan, sudah hampir 30 tahun beliau mengabdi pada dunia pendidikan, jadi sudah pasti jenius, kan. Tapi tetap saja aku tidak bisa suka dengan guru yang satu itu. Pernah suatu hari aku mengerjai pak Tomo karena saking sebelnya aku, mana ada siswa yang tiap hari harus lari keliling lapangan karena gak bisa jawab pertanyaan? kelewatan gak thu? Meski aku juga salah karena tidak pernah bisa tapi mau gimana lagi, mungkin itu yang namanya takdir.

"Gimana cah ayu, sudah dapat bahan yang bisa kamu teliti? sudah 4 bulan, wah kurang 2 bulan lagi. Pasti gak pernah bisa to?" sindir pak Tomo, suatu siang di perpustakaan.

"Jangan seperti itu, pak. Saya terus berusaha kok, cuma emang belum ketemu saja." jawabku sedikit tidak rela.

"Terserah kamu saja, deh!" tambah pak Tomo

"Jangan sinis gitu,pak. Bapak tidak suka saya bisa? maaf ya, pak, kalau saya kasar bicaranya?" jawabku sengit.

"Heem...ini perhatian saya buat siswa kaya kamu, nduk?!" ucap pak Tomo dengan nada yang sedikit berbeda.

Mendengar ucapan itu aku hanya diam dan sedikit tersentak kaget dalam hati, karena baru kali itu pak Tomo berkata seperti itu padaku.

Akhirnya, satu minggu kemudian aku mendapat topik penelitian yang tepat. Sebenarnya bukan aku tapi bu Siska, salah satu guru sains juga yang baru 6 bulan mengajar di SMA ku. Beliau yang membantuku menyelesaikan penelitian ini. Bu Siska juga yang mengajukan surat permohonan ke UNNES untuk menggunakan Lab disana, tempat penelitian yang kulakukan. Ini baru guru yang baik, bukan seperti pak Tomo. Proses penyelesaiannya berlangsung selama 1 bulan, alhamdulillah aku punya waktu untuk membuat proposal tertulisnya.

"Bu Siska, kok sudah hampir satu bulan pak Tomo tidak mengajar, apa sakitnya parah?" tanyaku pada bu Siska.

"Pak Tomo harus istirahat saja, Sya. Jadi ibu yang menyaksikan kemajuan kamu ini." jawab bu Siska dengan sedikit memujiku.

"Akh...ibu bisa saja. Saya itu pengen pak Tomo lihat langsung, kalau aku ini bisa membuktikan tantangan pak Tomo dulu itu." jawabku sedikit malu.

"Kamu benci sama pak Tomo, Sya?" tanya bu Siska.

"Gimana ya, bu, dibilang benci tapi saya tetap saja semangat ma tantangan beliau dulu. Jadi gak tau juga, bu..." jawabku sedikit ragu.

"Asal kamu tahu, pak Tomo itu tidak seperti yang ada di pikiran kamu. Dia guru yang baik dan profesional." kata bu Siska membela.

Aku hanya tersenyum, sedikit tak rela ada yang bilang seperti itu.

"Sudah, sekarang kamu selesaikan proposalnya, lusa akan ibu kirim ke panitia Olimpiade Sains Nasional di Jakarta." kata bu Siska mengingatkan.

"Baik, bu, siap selalu." tukasku seraya tersenyum bangga.

Dua Minggu kemudian aku mendapat kabar dari Olimpiade yang aku ikuti. Ternyata proposalku diterima dan itu berarti aku akan berangkat ke Jakarta, sungguh kabar yang membanggakan buatku. Tanpa pikir panjang, aku cari pak Tomo, guru yang sudah menantangku itu.

"Bu Siska, pak Tomo mana? apa masih belum bisa masuk ya,bu?" tanyaku sedikit mendesak dan bangga diri.

Bu Siska hanya diam dan tiba - tiba beliau meneteskan air mata.

"Ada apa, bu?" tanyaku

"Sya, sebenarnya sudah 3 minggu ini pak Tomo koma di rumah sakit, beliau terkena serangan jantung. Dan sebenarnya juga beliau itu ayah ibu." jelas bu Siska padaku.

"Apa....? kenapa ibu tidak cerita sama aku, kenapa bu?"  tukasku penuh rasa kaget dan hati yang tak karuan.

"Sya, ibu tahu sebenarnya kamu itu tak pernah benci sama bapak tapi atas permintaan bapak, ibu tidak diizinkan cerita sama kamu. Bapak itu sebenarnya perhatian sama kamu tapi memang seperti itu cara beliau." tambah bu Siska meyakinkanku.

"Sudah, bu..antar saya ke rumah sakit."

Selama perjalanan menuju rumah sakit banyak yang bu Siska ceritakan padaku tentang pak Tomo. Ternyata pak Tomo yang meminta bu Siska memberi tahuku tentang topik penelitian itu. Pak Tomo juga yang menyuruh bu Siska mendampingiku selama penelitian dan ternyata juga pak Tomo yang mengajukan permohonan untuk menggunakan Laboratorium di UNNES. Sungguh malunya aku, guru yang selama ini kupikir tak pernah suka bahkan benci padaku ternyata seorang guru yang benar - benar baik. Semua diluar dugaanku, tak pernah terbesit sedikitpun kalau itu cara pak Tomo dalam menghadapi murid seperti aku ini. Kata bu Siska, pak Tomo seperti itu karena beliau tahu kalau aku sebenarnya anak yang mampu berprestasi secara akademis. Menurut beliau juga, aku ini hanya terlalu memandang sempit kemampuan pribadiku. Memang benar apa yang pak Tomo perkirakan, selama ini hanya ada satu hal dalam pikiranku yang dapat aku banggakan dan menjadi harapan masa depanku, yaitu musik. Padahal otak muda sepertiku ini masih sangat mampu berkembang dan mendalami bidang akademis, lebih singkat dan tepatnya aku ini malas dan cuek. Sungguh kau guru yang baik pak Tomo.

Sesampainya di rumah sakit, kami langsung menuju ICU tempat pak Tomo kini dirawat.

"Bu izinkan saya menemui pak Tomo?" tanyaku pada bu Siska.

"Silahkan, Sya, mungkin kamu yang selalu dinanti bapak." jawab bu Siska.

"Maksud ibu apa?"

"Sudah sana masuk, nak!?" suruh bu Siska sedikit menyela pertanyaanku.

Aku pun segera masuk dan mendekat ke tempat pak Tomo berbaring.

"Pak Tomo, maafkan saya ya, pak? Saya sudah sering bikin sebel dan marah bapak. 2 tahun menjadi murid pak Tomo, saya belum pernah bikin bangga. Tapi kali ini saya yakin bapak akan bangga sama saya. Pak tantangan bapak dulu bisa saya buktikan. Pak Tomo harus sadar dan sembuh, ya buat melihat hasil penelitian saya ini. Saya dan teman - teman masih membutuhkan guru seperti bapak. Ayo bangun, pak." kataku di depan pak Tomo dengan penuh harap agar baliau sadar.

Tiba - tiba. Tiiiiit........Suara ECG mengagetkanku. Dokter pun datang dan aku di suruh keluar tapi aku tak mau aku ingin tetap di samping pak Tomo. Perawat bekerja sekuatnya untuk mengembalikan denyut nadi dan detak jantung pak Tomo. Ku menangis, tak terasa air mata yang menetes di pipiku. Terlihat dari kaca isteri dan anak - anak pak Tomo termasuk bu Siska, juga menangis sambil membacakan doa.

Lima menit, sepuluh menit,dua puluh menit dokter dan perawat terus berusaha. Ku memandang kosong wajah pak Tomo...Hingga dokter memastikan bahwa pak Tomo harus kembali ke hadapan Ilahi, beliau meninggal dunia karena mengalami gagal jantung juga. Pak Tomo meninggal di usia 64 tahun.

Pak Tomo, sekali lagi saya minta maaf pada bapak dan saya juga ingin berterima kasih atas semua yang sudah bapak lakukan untuk saya meski saya tidak pernah meyadari hal itu. Kau tetap menjadi guru yang profesional buat kami semua. Terima kasih, pak.

Semenjak hari itu, aku sadar kalau aku harus terus belajar dan mengasah otakku ini. Setelah apa yang sudah kualami ini, aku mendapat pelajaran penting dari bapak guruku ini. Aku mulai memahami akan pentingnya arti dari saling menghargai dan kepedulian diri. Maka dari itu, aku mulai berpikir untuk memiliki cita - cita sebagai seorang musisi sekaligus dokter.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun