Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Penulis Indonesia Amat Butuh Patronasi Sastra

18 September 2024   06:59 Diperbarui: 18 September 2024   10:18 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Patronasi sastra masih asing di Indonesia padahal penting. (Sumber gambar: Freepik)

Menyebut kata "patron", orang Indonesia merasa asing. Istilah "patron" merujuk pada seorang individu, organisasi atau lembaga yang berfungsi sebagai penyedia dukungan sumber daya dan keuangan atau bentuk dukungan lain bagi kelompok tertentu untuk menghasilkan karya kreatif mereka, misal kelompok pemahat, pelukis, penulis, dan sebagainya. 

Jika dikaitkan dengan bidang kepenulisan di Indonesia, keberadaan patron untuk para penulis saat ini sangat amat didambakan karena belum ada sosok maupun lembaga yang bisa secara ideal menjalankan fungsi patronasi tersebut.

Akibat dari ketiadaan atau minimnya patronasi di Indonesia, para penulis Indonesia susah berkembang dan menerbitkan karya-karya terbaik mereka. Hal ini tentunya menjadi kerugian bagi dunia kesusastraan sebuah bangsa.

Karena itulah, kita bisa belajar dari sejarah patronasi yang sudah lama terbentang dan memikirkan bagaimana menciptakan lembaga serupa di tanah air jika kita mau para penulis bisa berkarya lebih baik dan sejahtera. 

Sejarah Panjang Patronasi Sastra

Bila dirunut di catatan sejarah, patronasi di dunia seni sudah ada sejak lama. Kita bisa menemukan patronasi di sejumlah budaya besar dunia dan tersebar di periode waktu yang berbeda-beda. 

Patronasi khusus kaum penulis dan sastrawan yang paling tua dalam catatan historis menurut claude.ai ialah Patronasi Romawi Kuno di masa hidupnya seorang pejabat bernama Gaius Maecenas (70-8 SM).

Maecenas dikenal sebagai seorang diplomat dan penasihat politik yang kaya raya dan menjadi salah satu tangan kanan Kaisar Augustus yang berkuasa saat itu.

Namanya cukup penting karena ia berperan sebagai patron bagi sejumlah penyair Romawi terkenal yakni Horace dan Virgil yang karya-karyanya masih dibaca dunia hingga detik ini. 

Sang patron Romawi Kuno ini sangat royal dalam dukungannya bagi kaum penyair Romawi kala itu, yang dibuktikan dengan pemberian pendanaan dan akses sebuah villa khusus sastrawan di perbukitan Sabine.

Di villa eksklusif tersebut, para penyair Romawi dipersilakan bermalam, merenung mencari ilham, dan menulis karya-karya terbaik mereka secara leluasa. Tak heran, namanya menjadi sangat lekat dengan patronasi kesusastraan yang dianggap ideal hingga sekarang.

Contoh patronasi kedua yang kita bisa temui dalam sejarah dunia ialah Keluarga Medici di Italia abad ke-15 dan abad ke-16. Keluarga kaya raya ini, terutama Lorenzo de' Medici, dikenal sebagai patron para penulis dan penyair di kota Florence seperti Angelo Poliziano dan Luigi Pulci. Berkat patronasi Keluarga Medici, Italia saat itu berhasil mencapai masa kebangkitan dalam dunia sastranya (Renaissance).

Teladan lainnya ialah Ratu Elizabeth I (1558-1603) yang mengayomi para seniman dan sastrawan saat ia memerintah Inggris Raya saat itu. Ia memberikan dukungan bagi para penulis seperti Edmund Spenser yang dikenal dengan puisinya yang legendaris "The Faerie Queene".

Patronasi Ratu Elizabeth I ini sedikit banyak mendorong tercapainya masa keemasan Kesusastraan Inggris kala itu. Patut kita tahu, karya-karya Shakespeare dihasilkan semasa ratu ini berkuasa.

Inggris di abad ke-18 juga menjadi saksi atas perubahan sistem patronasi dari sistem yang lama menjadi modern. Pergeseran ini dipicu oleh insiden munculnya surat penolakan patronasi dari kritikus sastra dan penyusun kamus terkenal Samuel Johnson terhadap patronasi setengah hati yang diberikan pejabat Lord Chesterfield. 

Tak cuma di Barat, Rusia juga punya contoh patronasi yang baik. Di abad ke-19 saat sastrawan terkenal Leo Tolstoy masih hidup dan aktif berkarya, ia juga memposisikan dirinya sebagai patron bagi para penulis lain. 

Tolstoy diketahui memberikan dukungan pada penyair dengan latar belakang petani gurem, Fyodor Shcherbina. Tolstoy juga membantu penerbitan karya-karya para penulis yang kala itu dianggap otoritas dan masyarakat sebagai para pengkhianat relijius. Karena persekusi yang luas, para penulis yang dicap sebagai pembelot itu susah menerbitkan karya.

Amerika Serikat di abad ke-20 juga memiliki patron sastranya sendiri, Gertrude Stein. Penulis Amerika ini di awal abad ke-20 berperan sebagai pengayom sekaligus mentor bagi para penulis dan seniman bergaya modernis.

Bar milik Stein menjadi tempat berkumpulnya para penulis terkenal saat itu dari penulis novel sekaligus jurnalis perang Ernest Hemingway hingga penulis novel The Great Gatsby, F. Scott Fitzgerald.

Tak cuma Stein, Amerika Serikat di abad ke-20 juga memiliki sistem patron lain yakni MacDowell Colony yang didirikan tahun 1907. Koloni (area tempat tinggal bersama) khusus para penulis ini berada di negara bagian New Hampshire. Koloni ini dikenal sebagai 'sarang' penulis berbakat misalnya Thornton Wilder, James Baldwin, dan Alice Walker.

Mendorong Patronasi di Indonesia

Dari sini, kita tahu bahwa adanya patronasi bisa mendorong perkembangan dan kemajuan dunia sastra dan kepenulisan di sebuah peradaban atau masyarakat sebuah negara. 

Untuk membangun sebuah sistem patronasi, Indonesia membutuhkan adanya pemenuhan sejumlah aspek penting yakni dukungan finansial bagi penulis/ seniman, adanya kesempatan residensi atau ruang berkarya, bantuan dalam proses penerbitan karya, pemberian kesempatan berjejaring dengan sesama penulis dan kalangan penerbit, peluang mendapatkan bimbingan dari penulis yang lebih senior, serta adanya pengakuan seperti pemberian penghargaan bagi penulis yang karyanya berkualitas di atas rata-rata.

Patronasi di era modern tak harus meniru patronasi tradisional ala Romawi karena bentuknya bisa bermacam-macam misalnya pemberian dana hibah dan beasiswa menulis bagi penulis berpotensi, program residensi bagi penulis di universitas atau lembaga budaya tertentu, pengumpulan dukungan finansial dari masyarakat luas untuk penulis melalui platform crowdfunding seperti Patreon, pemberian sponsor atau hibah bagi penulis, dan para individu yang memiliki dedikasi terhadap sastra dan berkenan mendukung para penulis-penulis anyar yang masih berjuang.

Patronasi yang Sudah Ada

Di Indonesia sendiri, sebenarnya sudah ada sistem patronasi yang sudah berkembang. Yang paling dianggap sukses ialah Kusala Sastra Khatulistiwa yang dikenal sebagai ajang penghargaan bagi para penulis puisi dan prosa Indonesia. Sudah dilaksanakan sejak 2001 kini penghargaan yang dulu dikenal sebagai Khatulistiwa Literary Award ini malah mandek sejak 2021. 

Meninggalnya sang penggagas utama Richard Oh di Juli 2022 menjadi lonceng kematian (suri?) bagi ajang satu ini. Hingga tulisan ini dibuat belum ada kabar berita bangkitnya KSK dari tidur panjang' selama 3 tahun ini.

Padahal penghargaan ini dipandang sangat bergengsi bagi dunia sastra kita dan hadiah untuk pemenangnya bisa menghidupi para penulis selama bertahun-tahun.

Tapi selain itu, kita juga sudah memiliki KaryaKarsa, sebuah platform untuk para kreator termasuk penulis. Di karyakarsa, para penulis bisa menyuguhkan karyanya secara berbayar sehingga mereka bisa mendapatkan pemasukan dari karya yang dihasilkan.

Jika banyak yang membaca, otomatis, penghasilan makin bertambah banyak. Dan penghasilan tadi bisa dicairkan dan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. (*/)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun