Patronasi di era modern tak harus meniru patronasi tradisional ala Romawi karena bentuknya bisa bermacam-macam misalnya pemberian dana hibah dan beasiswa menulis bagi penulis berpotensi, program residensi bagi penulis di universitas atau lembaga budaya tertentu, pengumpulan dukungan finansial dari masyarakat luas untuk penulis melalui platform crowdfunding seperti Patreon, pemberian sponsor atau hibah bagi penulis, dan para individu yang memiliki dedikasi terhadap sastra dan berkenan mendukung para penulis-penulis anyar yang masih berjuang.
Patronasi yang Sudah Ada
Di Indonesia sendiri, sebenarnya sudah ada sistem patronasi yang sudah berkembang. Yang paling dianggap sukses ialah Kusala Sastra Khatulistiwa yang dikenal sebagai ajang penghargaan bagi para penulis puisi dan prosa Indonesia. Sudah dilaksanakan sejak 2001 kini penghargaan yang dulu dikenal sebagai Khatulistiwa Literary Award ini malah mandek sejak 2021.Â
Meninggalnya sang penggagas utama Richard Oh di Juli 2022 menjadi lonceng kematian (suri?) bagi ajang satu ini. Hingga tulisan ini dibuat belum ada kabar berita bangkitnya KSK dari tidur panjang' selama 3 tahun ini.
Padahal penghargaan ini dipandang sangat bergengsi bagi dunia sastra kita dan hadiah untuk pemenangnya bisa menghidupi para penulis selama bertahun-tahun.
Tapi selain itu, kita juga sudah memiliki KaryaKarsa, sebuah platform untuk para kreator termasuk penulis. Di karyakarsa, para penulis bisa menyuguhkan karyanya secara berbayar sehingga mereka bisa mendapatkan pemasukan dari karya yang dihasilkan.
Jika banyak yang membaca, otomatis, penghasilan makin bertambah banyak. Dan penghasilan tadi bisa dicairkan dan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. (*/)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H