SEBAGAI warga pendatang di kota mandiri yang berlokasi di kabupaten Lebak, Banten, yang berjuluk Bumi Multatuli, saya merasa haram hukumnya jika saya tidak membahas soal daerah tempat saya bermukim sekarang ini di momen Hari Buruh (May Day) sekarang.
Sebagaimana kita tahu, pada abad ke-19 terbit sebuah novel berjudul "Max Havelaar" yang ditulis Eduard Douwes Dekker (1820-1887) dengan nama samaran Multatuli. Saya sudah belajar soal ini sejak duduk di bangku sekolah dan tak terbersit bahwa di masa depan saya akan tinggal di tempat yang menjadi latar novel tersebut.
Secara singkat, novel itu mengangkat isu sosial eksploitasi dan penderitaan rakyat Lebak akibat sistem kolonial Belanda pada abad ke-19.Â
Dan meskipun sudah lebih dari 160 tahun berlalu, saya merasa bahwa isu buruh pertanian yang diangkat dalam novel tersebut masih sangat relevan hingga hari ini.
Dulu Belanda
Dalam novel, tokoh utama Max Havelaar membuka tabir ketidakadilan tersembunyi di balik praktik kolonial. Ia menyaksikan petani kecil di Lebak dipaksa bekerja dalam waktu sangat panjang, menerima bayaran rendah tidak sepadan, serta terpaksa menyerahkan hasil panen mereka kepada penguasa Belanda. Kehidupan buruh di ladang-ladang terkuras habis untuk memenuhi tuntutan eksploitatif kolonialisme.
Meski berlatar era penjajahan, esensi pergulatan buruh dalam novel itu masih terasa dekat dengan realita saat ini. Masih banyak pekerja di dunia yang mengalami kondisi tidak manusiawi, jam kerja panjang tanpa kompensasi layak, tereksploitasi untuk keuntungan pihak berkuasa. Perbudakan modern, pekerja anak, pelanggaran hak buruh, serta upah rendah di bawah standar hidup layak masih menjadi isu krusial di abad ke-21.
Untuk mendorong praktik yang lebih adil, organisasi nirlaba Fairtrade Max Havelaar (diilhami oleh isu etika perburuhan dalam novel tersebut) meluncurkan label sertifikasi Fairtrade pertama di dunia pada 1988. Label ini membedakan produk-produk Fairtrade dari konvensional, dengan tujuan memperbaiki kondisi hidup dan kerja petani kecil serta pekerja pertanian di wilayah kurang beruntung.
Sekarang Ciptakerja
Di Indonesia sekarang ini, kesejahteraan buruh di beragam sektor juga masih di bawah standar kelayakan. Apalagi setelah disahkannya UU Cipta Kerja saat pandemi lalu.
Tak heran kelompok aktivis buruh mengkritik masalah dalam UU Cipta Kerja yang berdampak buruk bagi kesejahteraan buruh.Â
Salah satunya adalah sistem pengupahan yang belum mencerminkan upah layak.Â
Sejak 2021, pemerintah menghapus variabel kebutuhan hidup layak sebagai pertimbangan penetapan upah minimum.Â
Ini dianggap menggeser konsep perlindungan pengupahan dan membuat kenaikan upah tidak akan pernah mencapai kebutuhan hidup layak.
Dalam aksi May Day 2024, tuntutan utama buruh adalah mencabut Omnibus Law UU Cipta Kerja dan menghapus outsourcing serta menolak upah murah. Alasannya, aturan tersebut dinilai mengembalikan konsep ke upah murah.
Kondisi masyarakat Lebak sendiri setelah 160 tahun berlalu masih memprihatinkan. Data BPS menunjukkan persentase warga berstatus buruh/pekerja di Lebak cukup tinggi (22,64%), namun Indeks Pembangunan Manusia Lebak terendah di Banten.Â
Jumlah penduduk miskin juga belum pulih seperti sebelum pandemi Covid-19, menunjukkan masih panjangnya perjalanan menuju kehidupan layak.
Beralih ke Buruh Bangunan
Sebagai pendatang, saya sendiri mengamati bahwa sebagian warga lokal yang dulunya bekerja sebagai buruh tani atau pekerja ladang saat perumahan kota mandiri di Maja belum dibangun kini terpaksa bekerja sebagai tukang ojek, atau buruh bangunan yang mengerjakan proyek rumah atau ruko.
Hal ini diamini oleh Adi, seorang warga Maja, yang bercerita bahwa dulunya Maja dikenal sebagai daerah yang memiliki banyak kebun dan sawah. Fasilitas dan prasarana umum seperti jalan dan pasar memang masih memprihatinkan saat itu.
Hal ini perlahan  berubah saat kota mandiri direalisasikan pemerintah dan pengembang swasta di Maja. Namun, konsekuensinya mereka harus rela menyingkir demi pengembangan ini dan berganti profesi.
Berkaca dari kondisi di masyarakat lokal inilah, rasanya semangat Max Havelaar dalam membebaskan rakyat Lebak dari ketidakadilan dan kemiskinan struktural tampaknya masih sangat relevan hingga saat ini. Perjuangan melawan eksploitasi buruh merupakan perjuangan kemanusiaan yang tak kunjung usai. Â (*/)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI