Salah satunya adalah sistem pengupahan yang belum mencerminkan upah layak.Â
Sejak 2021, pemerintah menghapus variabel kebutuhan hidup layak sebagai pertimbangan penetapan upah minimum.Â
Ini dianggap menggeser konsep perlindungan pengupahan dan membuat kenaikan upah tidak akan pernah mencapai kebutuhan hidup layak.
Dalam aksi May Day 2024, tuntutan utama buruh adalah mencabut Omnibus Law UU Cipta Kerja dan menghapus outsourcing serta menolak upah murah. Alasannya, aturan tersebut dinilai mengembalikan konsep ke upah murah.
Kondisi masyarakat Lebak sendiri setelah 160 tahun berlalu masih memprihatinkan. Data BPS menunjukkan persentase warga berstatus buruh/pekerja di Lebak cukup tinggi (22,64%), namun Indeks Pembangunan Manusia Lebak terendah di Banten.Â
Jumlah penduduk miskin juga belum pulih seperti sebelum pandemi Covid-19, menunjukkan masih panjangnya perjalanan menuju kehidupan layak.
Beralih ke Buruh Bangunan
Sebagai pendatang, saya sendiri mengamati bahwa sebagian warga lokal yang dulunya bekerja sebagai buruh tani atau pekerja ladang saat perumahan kota mandiri di Maja belum dibangun kini terpaksa bekerja sebagai tukang ojek, atau buruh bangunan yang mengerjakan proyek rumah atau ruko.
Hal ini diamini oleh Adi, seorang warga Maja, yang bercerita bahwa dulunya Maja dikenal sebagai daerah yang memiliki banyak kebun dan sawah. Fasilitas dan prasarana umum seperti jalan dan pasar memang masih memprihatinkan saat itu.
Hal ini perlahan  berubah saat kota mandiri direalisasikan pemerintah dan pengembang swasta di Maja. Namun, konsekuensinya mereka harus rela menyingkir demi pengembangan ini dan berganti profesi.
Berkaca dari kondisi di masyarakat lokal inilah, rasanya semangat Max Havelaar dalam membebaskan rakyat Lebak dari ketidakadilan dan kemiskinan struktural tampaknya masih sangat relevan hingga saat ini. Perjuangan melawan eksploitasi buruh merupakan perjuangan kemanusiaan yang tak kunjung usai. Â (*/)