Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kesejahteraan Buruh di Lebak dari Masa Multatuli hingga Era AI

1 Mei 2024   11:53 Diperbarui: 1 Mei 2024   13:38 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masalah penindasan buruh tani di Lebak telah diangkat sejak abad ke-19. (Foto: Wikimedia)

SEBAGAI warga pendatang di kota mandiri yang berlokasi di kabupaten Lebak, Banten, yang berjuluk Bumi Multatuli, saya merasa haram hukumnya jika saya tidak membahas soal daerah tempat saya bermukim sekarang ini di momen Hari Buruh (May Day) sekarang.

Sebagaimana kita tahu, pada abad ke-19 terbit sebuah novel berjudul "Max Havelaar" yang ditulis Eduard Douwes Dekker (1820-1887) dengan nama samaran Multatuli. Saya sudah belajar soal ini sejak duduk di bangku sekolah dan tak terbersit bahwa di masa depan saya akan tinggal di tempat yang menjadi latar novel tersebut.

Secara singkat, novel itu mengangkat isu sosial eksploitasi dan penderitaan rakyat Lebak akibat sistem kolonial Belanda pada abad ke-19. 

Dan meskipun sudah lebih dari 160 tahun berlalu, saya merasa bahwa isu buruh pertanian yang diangkat dalam novel tersebut masih sangat relevan hingga hari ini.

Dulu Belanda

Dalam novel, tokoh utama Max Havelaar membuka tabir ketidakadilan tersembunyi di balik praktik kolonial. Ia menyaksikan petani kecil di Lebak dipaksa bekerja dalam waktu sangat panjang, menerima bayaran rendah tidak sepadan, serta terpaksa menyerahkan hasil panen mereka kepada penguasa Belanda. Kehidupan buruh di ladang-ladang terkuras habis untuk memenuhi tuntutan eksploitatif kolonialisme.

Meski berlatar era penjajahan, esensi pergulatan buruh dalam novel itu masih terasa dekat dengan realita saat ini. Masih banyak pekerja di dunia yang mengalami kondisi tidak manusiawi, jam kerja panjang tanpa kompensasi layak, tereksploitasi untuk keuntungan pihak berkuasa. Perbudakan modern, pekerja anak, pelanggaran hak buruh, serta upah rendah di bawah standar hidup layak masih menjadi isu krusial di abad ke-21.

Untuk mendorong praktik yang lebih adil, organisasi nirlaba Fairtrade Max Havelaar (diilhami oleh isu etika perburuhan dalam novel tersebut) meluncurkan label sertifikasi Fairtrade pertama di dunia pada 1988. Label ini membedakan produk-produk Fairtrade dari konvensional, dengan tujuan memperbaiki kondisi hidup dan kerja petani kecil serta pekerja pertanian di wilayah kurang beruntung.

Sekarang Ciptakerja

Di Indonesia sekarang ini, kesejahteraan buruh di beragam sektor juga masih di bawah standar kelayakan. Apalagi setelah disahkannya UU Cipta Kerja saat pandemi lalu.

Tak heran kelompok aktivis buruh mengkritik masalah dalam UU Cipta Kerja yang berdampak buruk bagi kesejahteraan buruh. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun