Nama besar Malcolm Gladweltentunya tidak hanya bergaung di tanah kelahirannya di Kanada sana, tetapi juga sampai di Amerika Serikat dan di Indonesia sini. Buku-bukunya - sebut saja "Outliers", "Tipping Point" dan "David and Goliath"- yang beraliran nonfiksi itu amat bermutu, ditulis untuk menerangkan sejumlah fenomen menarik dalam kehidupan nyata dengan gaya jurnalisme yang bertutur layaknya storytelling.
Bedanya cerita itu semua disajikan dengan berdasarkan pada data dan fakta yang diriset secara tekun, disajikan dengan baik dan manis. Jauh dari kesan membosankan (kecuali memang Anda bukan pembaca tipe buku nonfiksi seperti ini). Nama gaya menulis seperti ini bahkan sudah dijadikan genre tersendiri. Namanya Gladwellian genre.
Seperti penulis kaliber dunia lain, Gladwel juga memiliki ciri khas eksentriknya. Rambutnya yang keriting dan dibiarkan membubung tinggi seperti Ahmad Albar atau Edi Harapan Jaya cuma salah satunya.Â
Berikut ialah 5 'ritual' menulis mantan jurnalis The New York Times ini  yang saya dapatkan dengan penelitian kecil-kecilan setelah mendengar beberapa podcast-nya. Selamat menyimak.
MAKAN SECUKUPNYAÂ
Hal pertama yang unik dari penulis ini ialah kebiasaannya di pagi hari sebelum menulis untuk tidak makan sampai kenyang sekali. Ia bahkan mengaku hanya makan sepertiga croissant (roti berbentuk sabit, yang asalnya dari  Prancis)sebelum beraktivitas. Tidak ada alasan khusus. Ia hanya berpendapat bahwa seseorang tidak seharusnya makan sampai kenyang sekali di pagi hari. Dan memang ia ada benarnya. Kalau Anda pikir lagi, kekenyangan di pagi hari setelah makan dengan menu berat biasanya membuat orang cenderung statis dan lemah dalam berpikir.Â
Apalagi kalau pekerjaan itu tidak membuat kita banyak bergerak seperti menulis di kursi (kecuali yang menulis dengan berdiri di standing desk), makan banyak (apalagi makanan yang tinggi karbohidrat dan lemak) akan membuat jauh lebih susah berpikir.Â
Akhirnya diperlukan zat stimulan bernama kafein agar tetap melek dan tidak mengantuk. Padahal dengan membatasi porsi makan saja sebetulnya kita tidak akan mudah mengantuk di pagi hari saat harus mulai bekerja. Cukup banyak bergerak agar peredaran darah lancar dan makan secukupnya (terutama bahan makanan yang segar dan bergizi) akan membuat otak siap bekerja keras menuangkan ide di layar laptop.
BANYAK BERPIKIR TENTANG MENULIS SEBELUM MENULIS
Mungkin Anda menggumam,"Ya ini juga sudah jelas lah!" Menulis memang aktivitas yang menguras tenaga otak. Tetapi yang dimaksud di sini ialah bagaimana sebagai penulis kita tidak asal menulis. Menulis tanpa perencanaan yang matang sebelumnya ialah suatu kekeliruan.Â
"Menulis buku sebenarnya 20% menulis dan 80% pengaturan gagasan. Untuk setiap satu jam menulis, saya menghabiskan 3 jam hanya untuk memikirkan tentang apa yang akan saya tulis," terang pria kurus yang dulunya juara olahraga lari itu. Dengan kata lain, Gladwel sudah berpikir keras soal apa yang akan ia tulis sebelum ia menuangkannya dalam bentuk tulisan.
Jadi, ada yang kurang tepat kalau Anda pikir bahwa menulis itu semudah menggenggam pulpen lalu menggoreskannya di kertas atau menekan papan ketik di laptop dan abakadabra, sebuah tulisan tercipta! Memang bisa menulis seinstan itu tapi hasilnya tentu akan berbeda jauh dari tulisan yang dipikirkan secara matang, sistematis, dan penuh pertimbangan.Â
Perlu diketahui bahwa tidak semua tema tulisan memerlukan pemikiran yang rumit sebelum dituangkan. Ada tema-tema yang bisa tertuang dengan alami tanpa banyak usaha intelektual dari penulisnya.Â
Penulis tinggal mengetik saja, tulisan sudah siap dicerna pembaca. Namun, ada juga jenis tema yang lebih berat dan perlu kemampuan riset dan analisis yang lebih mumpuni agar bisa dituangkan secara baik, agar yang rumit itu menjadi lebih mudah dipahami (bukannya merumitkan apa yang sudah simpel! Itu ciri penulis yang payah sebetulnya).
BERMEDIA SOSIAL
Banyak penulis menyalahkan media sosial atas mengendurnya produktivitas menulis mereka. Sederhana saja, karena menulis di media sosial lebih mudah dan tidak butuh banyak proses berpikir, dan begitu unggah, penulis akan langsung mendapatkan kepuasan instan. Ini berbeda dengan proses menulis dahulu kala sebelum era internet yang harus lebih lama dan melewati proses penyuntingan yang berlapis dan segala tahapan hingga akhirnya bisa dicetak dan buku sampai di tangan pembaca.Â
Bagi Gladwel, media sosial bukan musuh bebuyutan yang mesti dimusnahkan agar penerbitan buku  kembali seperti sediakala. Ia merengkuh media sosial dengan keluwesan penulis di era digital. Ia tidak menolak perkembangan zaman dan memilih menyatukan diri dengan arus dan mampu memanfaatkan perubahan zaman dengan agendanya sebagai penulis.Â
Media sosial dipakai Gladwel sebagai cara untuk mendapatkan ide, melaksanakan riset dan banyak hal lain yang bermanfaat sekali bagi karier kepenulisannya. Ia juga tidak menolak untuk membuat kanal podcast sendiri, sesuatu yang jarang dipergunakan secara maksimal oleh penulis kebanyakan.
Satu contoh kasusnya ialah saat Gladwel menemukan tulisan di Facebook dari seorang lansia yang ternyata disukai banyak orang dan dibagikan sampai banyak sekali. Intinya konten itu viral. Gladwel tertarik untuk menulis cerita yang disuguhkan orang tersebut dan ia pun mendapatkan ide tulisan dengan relatif mudah tanpa harus berpusing-pusing ke lapangan. Yang ia cukup lakukan hanya memberikan sedikit konteks dan memungkasi inti cerita dengan profesional agar pesan tulisan lebih kuat.
MERINGKAS YANG PANJANG
Sebelum menulis bukunya, Gladwel banyak melakukan riset yang juga berarti dalam bentuk wawancara. Dan untuk mendapatkan intisari wawancara itu (yang biasanya panjang bukan kepalang), ia mesti berupaya keras meringkas transkripsi percakapan (yang isinya semua kata dalam wawancara) menjadi ekstrak yang padat, ringkas dan mengena. Mirip seperti mengayak tanah sampai menemukan bijih emas. Harus benar-benar tekun dan sabar dan teliti.
Untuk menekankan betapa pentingnya ini, Gladwel bahkan mengatakan besaran bayaran seorang penulis tergantung pada kemampuannya dalam mengekstrak intisari informasi dari lingkungan sekitarnya, baik itu dari pengamatan, wawancara, riset pustaka, survei lapangan, dan sebagainya.Â
Itulah kenapa menulis panjang demi terlihat cerdas itu lebih mudah. Saya kerap geli dengan anggapan bahwa seseorang yang mampu menulis panjang pastilah orang yang pintar. Salah! Itu justru mirip seperti orang yang hanya tahu sedikit tapi berusaha terlihat sebagai pakar dan ingin menciptakan citra palsu bahwa ia adalah cendekia.Â
BERTANYA SOAL HAL-HAL 'REMEH'
Gladwel beruntung sebab memiliki ayah yang seorang dosen yang memberikannya fondasi kokoh soal cara berpikir kritis, yang sangat penting bagi seorang penulis jika ingin lebih dari sekadar penulis biasa. Tentang ayahnya ini, ia berseloroh bahwa ayahnya bahkan tidak malu saat ingin melontarkan pertanyaan-pertanyaan mendasar yang bagi kebanyakan orang konyol hanya karena berpikir,"Ya ampun gitu aja nggak tahu sih!" atau "Itu kan udah jelas kali! Kenapa ditanyain lagi?"Â
Justru seorang penulis haruslah berpikir kritis dan skeptis, artinya tidak cuma menerima asumsi atau dugaan yang sudah ada dan meyakininya begitu saja tanpa berusaha memastikannya lagi dengan menanyai orang lain atau melakukan riset.
Dan jika tidak tahu, penulis harus tidak malu untuk berkata,"Saya tidak tahu. Tolong jelaskan." Lalu jika masih tidak paham juga, mintalah tolong sampai benar-benar paham. Itulah teladan dari ayah Malcolm Gladwel yang patut kita tiru bila ingin menjadi penulis hebat.
Mengetahui ritual menulis Gladwel saja tidak akan membuat kita menjadi penulis kampiun. Nah, Anda dan saya bisa memulai mempraktikkannya mulai dari SEKARANG. (sumber foto:Â Wikimedia Commons/ akhlis.net)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H