Korupsi...
Mendengar kata itu, bayangan kita menuju ke kantor-kantor pejabat, hotel dan restoran-restoran mahal yang kerap menjadi tempat berlangsungnya pertemuan koruptor dengan berbagai komplotan maupun korbannya.
Tetapi jangan salah, korupsi itu sebetulnya lebih dekat dengan kita daripada yang kita kira. Â Korupsi itu bisa berawal dari rumah, pergaulan pertemanan, kata Saut Situmorang, wakil ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Di Singapura, ada juga komisi yang bertugas sama dengan KPK. Bedanya, komisi itu lebih bertenaga karena diperkuat dengan undang-undang. Di sana, tindak korupsi yang melibatkan dana kurang dari Rp1 miliar bisa ditindak, tetapi di Indonesia, tidak bisa.
Karena adanya 'celah' legalitas seperti ini, KPK Indonesia pun berupaya keras untuk merangkul berbagai pihak agar mencegah bibit-bibit korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) menjadi lebih besar. Bila bibit-bibit KKN yang masih dianggap sepele dan remeh temeh ini bisa ditangkal dan ditangani, tindak korupsi yang melibatkan dana yang jauh lebih besar akan bisa dicegah juga dalam jangka panjang.
Saut di sela acara obrolan santai film pemenang Anti Corruption Film Festival di Erasmus Huis di Jakarta, Jumat (22/9/2017) itu menjelaskan panjang lebar bahwa pihaknya mendatangi berbagai elemen masyarakat, termasuk pemerintah daerah, parpol, dan sebagainya, dalam rangka memperkuat pencegahan tindak korupsi.
Di Jabar, misalnya, ia baru saja bertandang ke kantor Ridwan Kamil. Keduanya membahas tentang bagaimana menangani para pelaku tindak korupsi 'kelas teri' yang tidak bisa dijerat oleh KPK karena nilai dana yang disedot untuk kepentingan pribadi mereka jauh dari kisaran Rp1 miliar.
Indonesia menurut Saut gagal dalam memberantas korupsi karena upaya yang dilakukan kurang berkelanjutan (sustainable). Tahun 1971 Indonesia sudah memiliki undang-undang anti korupsi, yang esensinya sama dengan UU tahun 1999 yang diterapkan sekarang.
Sejarah Pemberantasan Korupsi
Sebetulnya sejak dulu lembaga-lembaga sejenis KPK juga sudah ada. Tetapi seiring jalannya waktu, satu persatu roboh karena tunduk pada kemauan penguasa.
Lembaga pertama yang ada di Indonesia ialah Panitia Retooling Aparatur Negara dan Komando Retooling Aparat Revolusi. Di zaman Orba, ada tim Pemberantasan Korupsi di komisi IV yang dipimpin oleh Bung Hatta, tokoh proklamator yang dikenal jujur dan berintegritas tinggi. Jika kini kita mengenal Operasi Tangkap Tangan (OTT), dulu juga sudah ada yang namanya Opstib (Operasi Penertiban). Tetapi sebagaimana kita ketahui, semua lembaga pemberantas korupsi tadi tak berusia lama.
KPK pun dibentuk sebagai satu lembaga yang independen dan memiliki kewenangan yang cukup luas untuk mencegah dan memberantas korupsi. Sejak awal dibentuknya, KPK menanggung lima tugas pokok: koordinasi, supervisi, monitoring, penindakan dan pencegahan korupsi.
Satu poin penting yang patut diketahui terkait maksud dan tujuan pendirian KPK ialah bahwa lembaga ini diamanati untuk menjadi pemicu dan pemberdaya terhadap lembaga-lembaga sejenis yang sudah ada sebelumnya. Keberadaan KPK diharapkan menciptakan sebuah mekanisme pemicu (trigger mechanism) yang dianggap jauh lebih efektif daripada cuma menangkapi dan memenjarakan mereka yang sudah terbukti secara meyakinkan sebagai koruptor.
Kekeluargaan dan Gotong Royong = Bibit KKN?
Tulis Elizabeth Pisani, konon korupsi, kolusi dan nepotisme di Indonesia begitu mengakar dan susah sekali diberantas (bahkan lebih susah dari memberantas komunisme setahu saya), karena ada satu konsep yang sudah diyakini masyarakat Indonesia bahwa mereka semua adalah sebuah keluarga besar. Dan sebagai keluarga besar, haruslah saling tolong menolong. Di mana-mana, setiap saat rasa kebersamaan ini haruslah dipupuk karena gotong royong kan bagian jati diri bangsa, alasan kita.
Masalahnya cakupan perkara tolong menolong ini dibawa juga sampai ke urusan-urusan yang secara moral dan etika salah. Tetapi karena dilakukan bersama-sama sebagai sebuah keluarga, jadi lebih merasa 'ringan' karena toh ini kan dilakukan bukan demi kepentingan pribadi. Karena itulah, orang Indonesia vokal soal korupsi yang merugikan mereka dan menutup kelima indra begitu suatu tindak korupsi itu menguntungkan diri pribadi dan kelompoknya yang ia anggap keluarga besar itu. Cekaknya begini. "Kalau korupsi terus dibagi-bagi, okelah. Yang dosa itu, Anda korupsi, saya tidak kebagian. Tapi kalau ketangkep tangan ya saya jangan diseret-seret, kan situ yang mulai," batin orang Indonesia. Jadilah efek bola salju itu terus membesar. Sampai seperti sekarang.
Lalu kepada Saut Situmorang sang wakil pimpinan KPK, saya tanyakan,'Bagaimana agar orang Indonesia bisa tetap mempertahankan nilai luhur gotong royong itu dan di saat yang sama, memberantas KKN?"
Menurut Saut, kita perlu bijak dan cermat dalam mencermati kasus per kasus untuk menentukan apakah termasuk dalam tindak KKN atau tidak. Pernah ia ditegur oleh seorang temannya semasa SD yang sekarang ini bekerja di NASA. "Kamu selalu koar-koar melawan KKN di Indonesia, tetapi tahu tidak di Amerika ini, KKN juga banyak tahu!" Celetuk teman Saut itu,"Lihat saja Donald Trump di sini. Ia ajak keluarganya masuk ke posisi-posisi penting negara."
Kita semua pasti mengira bahwa negara-negara maju di Barat dikenal bersih dan minim tindak KKN. Â Bisa jadi itu benar, tetapi untuk menentukan apakah sesuatu kasus merupakan tindak KKN atau tidak, diperlukan definisi yang lebih ketat daripada sekadar mengajak anggota keluarga dekat untuk masuk ke dalam tempat kerja.
Saut menggarisbawahi bahwa untuk menentukan apakah suatu tindakan termasuk KKN diperlukan pemahaman selanjutnya apakah tindakan tersebut bertujuan untuk menciptakan sebuah nilai positif bersama. "Apakah kerjasama itu dilakukan untuk mencapai tujuan agar kita lebih jujur dan adil dan benar serta menghindarkan dari konflik kepentingan. Memang agak sulit jika anggota keluarga Donald Trump sendiri menjabat di posisi strategis kenegaraan tetapi secara keseluruhan terdapat pengendalian melalui sebuah sistem. Ada standar dan prosedur yang sudah ditetapkan."
Saut menyatakan KKN terjadi saat sistem pengendalian, prosedur dan standar tidak ada, atau tidak dijalankan sebagaimana mestinya. "Jadi, kejujuran, kebenaran dan keadilannya itu mendorong secara keseluruhan tegaknya nilai-nilai integritas," ujarnya tegas. Intinya, KKN terjadi saat seseorang mengambil sesuatu yang bukan haknya dan melanggar sistem yang sudah ditetapkan.
Untuk melestarikan nilai luhur gotong royong sekaligus membasmi KKN, KPK menurut Saut juga melakukan pendekatan-pendekatan preventif yang bersifat lebih kekeluargaan. Selama ini kita hanya menyaksikan KPK sangat menonjol dalam perannya sebagai badan pemberangus KKN. KPK bercitra sangar dan ganas karena menyeret dan menangkapi para tersangka KKN dan menyeretnya ke meja hijau dengan disertai bukti-bukti kuat.
Saut menjelaskan salah satu langkah kekeluargaan KPK yang baru-baru ini dilakukan ialah upaya untuk mencegah tindak KKN di lingkungan partai politik dengan mendatangi parpol-parpol yang terdaftar di Indonesia dalam rangka sosialisasi pencegahan tindak KKN. Di sektor swasta, kita juga mungkin jarang mendengar bahwa KPK mulai masuk untuk menyebarkan konsep integritas dalam berbisnis.
Cegah KKN lewat Sinema
Dialog dengan Saut di atas berlangsung di sela Pemutaran Film dan Ngobrol Santai. Dalam acara ini, diputar 3 film pendek yakni "Tinuk", "Pengen HP" dan Mengadu Nasib di Negeri Orang". Ketiganya merupakan karya yang menyabet gelar film terbaik dalam Festival Film Antikorupsi tahun 2015 yang digelar KPK.
Film pendek "Tinuk" menceritakan sebuah konflik sepasang suami istri muda yang belum memiliki anak. Sang suami bekerja sebagai tukang parkir dan mereka tinggal di rumah kecil nan sederhana. Dalam film tersebut, sutradara Khodir Aprilingga Rahmat seolah ingin menekankan pentingnya integritas seorang suami  sebagai kepala rumah tangga.Â
Sang istri yang sudah bosan hidup pas-pasan mulai tergoda untuk melakukan kecurangan (memakai uang jamaah pengajian) dengan tujuan untuk bisa membeli sebuah ponsel yang bisa dipakai berjejaring sosial seperti teman-temannya. Untungnya, sang suami teguh dalam berpendirian. Ia dengan tegas dan ajeg menolak bujuk rayu istrinya untuk membeli barang yang di luar kemampuan keuangan mereka. Tinuk, demikian nama sang istri, sempat terbujuk Maskur untuk mencoba ponsel baru tersebut. Tapi suaminya yang cuma tukang parkir menolak untuk membayarnya dan menyuruh segera mengembalikannya pada Maskur, yang ternyata juga pernah ingin meminang Tinuk tapi ditolak karena berkepribadian kurang jujur. Akhirnya melalui sebuah berita di televisi, terbongkarlah bahwa si Maskur memang penipu yang berupaya menjual ponsel palsu. Tinuk pun menyesali desakannya yang menggebu-gebu itu. Keduanya akhirnya rukun setelah suaminya memberikan uang yang meski tak sampai membelikannya ponsel Rp800.000 tapi cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hidup mereka memang sederhana tetapi tentram.
Film kedua "Pengen HP" ialah karya I Made Suarbawa dari Denpasar, Bali. Sekali lagi tema film berkaitan erat dengan tren ponsel pintar yang melanda berbagai kalangan di Indonesia. Ternyata ponsel pintar tidak hanya membawa kita kemudahan mengakses beragam informasi tetapi juga membawa berbagai konsekuensi negatif yang perlu diwaspadai, misalnya perdagangan manusia serta pelacuran lewat jejaring sosial. Dikisahkan dalam film seorang gadis bernama Sekar yang ditawari ponsel cerdas oleh seorang temannya yang genit.Â
Ia pun kemudian tergiur untuk memakainya meskipun ia belum bisa membayar kontan. Karena malu tak melunasi juga, akhirnya ia curi anting maknya. Tapi temannya menolak karena tahu itu curian. Â "Mengapa tidak menghasilkan uang sendiri?" ajak si teman yang berdandan tebal itu. Sekar pun hampir masuk ke pelacuran melalui temannya. Syukurlah ia bisa melarikan diri dari pria hidung belang yang sudah bersiap menemuinya di sebuah penginapan murah yang kemudian diserbu polisi. Ia putuskan pertemanan dengan teman itu dan kembali ke pelukan keluarganya dan meluruskan kembali jalannya yang sempat melenceng itu dengan taat menjalankan perintah agama.
"Mengadu Nasib di Negeri Orang" karya Anton Susilo menjadi film terakhir yang diputar dalam kesempatan tersebut. Jalan ceritanya cukup mengiris hati dan menunjukkan sisi gelap kemiskinan, eksploitasi ala paternalisme dan disfungsi birokrasi dalam melindungi para tenaga kerjanya yang mencari nafkah di luar negeri. Seorang ibu melakukan segala cara agar anaknya bisa menjadi TKW dengan cara memanipulasi umur di KTP anaknya yang masih di bawah umur. Ia pun meminjam uang ke lintah darat sampai akhirnya terlilit utang. Para pria di film ini diceritakan juga tidak memiliki integritas (seperti pacar sang tokoh utama Mae yang memotong uang yang sebenarnya harus diserahkan utuh ke ibu Mae) dan tidak berdaya mengambil keputusan (seperti tokoh ayah Mae yang hanya termenung saja dengan mulut tersumpal rokok sepanjang cerita). Masalah yang rumit dalam film ini diangkat dari kenyataan pahit sebenarnya yang menimpa sejumlah wanita muda di Sumbawa sana.Â
Kampanye pencegahan korupsi lewat film ini memang belum begitu diketahui masyarakat secara luas. Apa pasal? Karena media lebih memilih untuk menyuguhkan berita penangkapan sosok-sosok pejabat publik yang terkenal karena lebih 'seksi'. Namun, patut dicatat bahwa upaya ini sebetulnya merupakan perjuangan jangka panjang KPK dalam mencegah munculnya mega koruptor di negeri ini pada masa datang. Sebab KPK hanya bisa bertindak jika tindak KKN itu melibatkan dana lebih dari 1 miliar. Jika di bawah itu, KPK tidak berdaya. Untuk itulah dibutuhkan peran serta semua elemen masyarakat untuk memerangi korupsi mengendalikan nafsu korupsi dalam diri mereka sendiri dan lingkungan terdekat mereka, dari keluarga sampai tempat kerja. (*/akhlis.net)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H