Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Begini Cara KPK Cegah Korupsi dan Suburkan Gotong Royong

10 Oktober 2017   13:23 Diperbarui: 10 Oktober 2017   13:54 742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang hadir di acara obrolan santai pemutaran film-film pemenang Anti Corruption Festival. (dok: pribadi)[/caption]

Film pendek "Tinuk" menceritakan sebuah konflik sepasang suami istri muda yang belum memiliki anak. Sang suami bekerja sebagai tukang parkir dan mereka tinggal di rumah kecil nan sederhana. Dalam film tersebut, sutradara Khodir Aprilingga Rahmat seolah ingin menekankan pentingnya integritas seorang suami  sebagai kepala rumah tangga. 

Sang istri yang sudah bosan hidup pas-pasan mulai tergoda untuk melakukan kecurangan (memakai uang jamaah pengajian) dengan tujuan untuk bisa membeli sebuah ponsel yang bisa dipakai berjejaring sosial seperti teman-temannya. Untungnya, sang suami teguh dalam berpendirian. Ia dengan tegas dan ajeg menolak bujuk rayu istrinya untuk membeli barang yang di luar kemampuan keuangan mereka. Tinuk, demikian nama sang istri, sempat terbujuk Maskur untuk mencoba ponsel baru tersebut. Tapi suaminya yang cuma tukang parkir menolak untuk membayarnya dan menyuruh segera mengembalikannya pada Maskur, yang ternyata juga pernah ingin meminang Tinuk tapi ditolak karena berkepribadian kurang jujur. Akhirnya melalui sebuah berita di televisi, terbongkarlah bahwa si Maskur memang penipu yang berupaya menjual ponsel palsu. Tinuk pun menyesali desakannya yang menggebu-gebu itu. Keduanya akhirnya rukun setelah suaminya memberikan uang yang meski tak sampai membelikannya ponsel Rp800.000 tapi cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hidup mereka memang sederhana tetapi tentram.

Film kedua "Pengen HP" ialah karya I Made Suarbawa dari Denpasar, Bali. Sekali lagi tema film berkaitan erat dengan tren ponsel pintar yang melanda berbagai kalangan di Indonesia. Ternyata ponsel pintar tidak hanya membawa kita kemudahan mengakses beragam informasi tetapi juga membawa berbagai konsekuensi negatif yang perlu diwaspadai, misalnya perdagangan manusia serta pelacuran lewat jejaring sosial. Dikisahkan dalam film seorang gadis bernama Sekar yang ditawari ponsel cerdas oleh seorang temannya yang genit. 

Ia pun kemudian tergiur untuk memakainya meskipun ia belum bisa membayar kontan. Karena malu tak melunasi juga, akhirnya ia curi anting maknya. Tapi temannya menolak karena tahu itu curian.  "Mengapa tidak menghasilkan uang sendiri?" ajak si teman yang berdandan tebal itu. Sekar pun hampir masuk ke pelacuran melalui temannya. Syukurlah ia bisa melarikan diri dari pria hidung belang yang sudah bersiap menemuinya di sebuah penginapan murah yang kemudian diserbu polisi. Ia putuskan pertemanan dengan teman itu dan kembali ke pelukan keluarganya dan meluruskan kembali jalannya yang sempat melenceng itu dengan taat menjalankan perintah agama.

"Mengadu Nasib di Negeri Orang" karya Anton Susilo menjadi film terakhir yang diputar dalam kesempatan tersebut. Jalan ceritanya cukup mengiris hati dan menunjukkan sisi gelap kemiskinan, eksploitasi ala paternalisme dan disfungsi birokrasi dalam melindungi para tenaga kerjanya yang mencari nafkah di luar negeri. Seorang ibu melakukan segala cara agar anaknya bisa menjadi TKW dengan cara memanipulasi umur di KTP anaknya yang masih di bawah umur. Ia pun meminjam uang ke lintah darat sampai akhirnya terlilit utang. Para pria di film ini diceritakan juga tidak memiliki integritas (seperti pacar sang tokoh utama Mae yang memotong uang yang sebenarnya harus diserahkan utuh ke ibu Mae) dan tidak berdaya mengambil keputusan (seperti tokoh ayah Mae yang hanya termenung saja dengan mulut tersumpal rokok sepanjang cerita). Masalah yang rumit dalam film ini diangkat dari kenyataan pahit sebenarnya yang menimpa sejumlah wanita muda di Sumbawa sana. 

Kampanye pencegahan korupsi lewat film ini memang belum begitu diketahui masyarakat secara luas. Apa pasal? Karena media lebih memilih untuk menyuguhkan berita penangkapan sosok-sosok pejabat publik yang terkenal karena lebih 'seksi'. Namun, patut dicatat bahwa upaya ini sebetulnya merupakan perjuangan jangka panjang KPK dalam mencegah munculnya mega koruptor di negeri ini pada masa datang. Sebab KPK hanya bisa bertindak jika tindak KKN itu melibatkan dana lebih dari 1 miliar. Jika di bawah itu, KPK tidak berdaya. Untuk itulah dibutuhkan peran serta semua elemen masyarakat untuk memerangi korupsi mengendalikan nafsu korupsi dalam diri mereka sendiri dan lingkungan terdekat mereka, dari keluarga sampai tempat kerja. (*/akhlis.net)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun