Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keragaman Karakter Warga Tionghoa Indonesia

29 November 2016   13:21 Diperbarui: 29 November 2016   13:32 2717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sebuah kelas kebudayaan Tiongkok, seorang guru melontarkan pertanyaan yang kira-kira bunyinya seperti ini pada kami yang hadir:"Watak paling khas apakah yang Anda kenali dari orang berdarah Tionghoa?"

Dengan percaya diri, entah karena kesurupan roh dari pemakaman mana, saya sebagai wakil kelompok minoritas yang berkulit cokelat, bermata lebar, dan berkelimpahan kelopak mata di kelas mengacungkan tangan lalu tanpa ragu-ragu lagi menjawab jujur,"Pekerja keras dan hemat." 

Saya hanya menjawab spontan, berdasarkan ekstraksi pengalaman dan bukti-bukti selama pergaulan dengan orang-orang tersebut di sekitar saya dari sejak masa sekolah sampai kerja.Tiba-tiba suasana agak hening. Satu detik, dua detik berlalu. Sebuah paku payung jatuh ke lantai pun mungkin akan terdengar jelas. Sampai-sampai saya ingin menjerit karena cemas apakah ada perkataan saya yang salah. Ah, jadi begini rasanya jadi minoritas yang vokal, salah ucap sedikit sudah takutnya setengah hidup. Untung dari lubuk hati terdalam, saya tak bermaksud menista dan tak ada juga yang merasa ternista oleh ucapan saya. Untung juga kecenderungan saya memakai gaya bahasa hiperbola tidak keluar di sini. 

Tukas sang guru kemudian,"Anda pasti dari Indonesia."

Rahang saya hampir jatuh. Saya jelas terperangah. Guru perempuan itu amat cerdas. Cerdasnya seperti bu Aminah yang kemarin saya ceritakan di cerita pendek anak-anak hasil saduran karya penulis yang saya lupa namanya. Ia bisa menerka asal saya dengan tepat, tanpa keliru mengira saya dari India atau Pakistan atau Bangladesh. Sangat mengesankan.

Kemudian saya pikir lebih dalam lagi. Rupanya ia menyimpulkan saya orang Indonesia bukan karena tampilan fisik saya tetapi lebih karena jawaban saya yang mencerminkan stereotip Tionghoa peranakan di nusantara.

Seperti juga kelompok etnis lainnya, masyarakat Tionghoa juga memiliki subgrup-subgrup yang masing-masing memiliki ciri khasnya sendiri. Dan sebagaimana penjelasan-penjelasan soal stereotip (cap), klaim-klaim yang muncul ialah hasil dari proses generalisasi yang sering kurang adil atau berimbang atau faktual. Sehingga dapat dikatakan ini bukan fakta tetapi asumsi dan prasangka yang bisa jadi betul atau salah. Dan yang paling menarik ialah bagaimana berbagai faktor dari geografis, linguistis, relijius, arsitektural sampai finansial berperan serta dalam stereotip-stereotip ini.

Tionghoa Jawa Tengah

Oleh sesama masyarakat Tionghoa Indonesia, mereka ini dianggap berpola pikir sederhana (tetapi masih pandai mencari uang), pelit, hemat, gaya berpakaian ketinggalan mode, sangat kebarat-baratan, berpikir mereka tahu segalanya dan cenderung menyembunyikan perasaan mereka (sama juga dengan karakter orang Jawa Totok). Dari pandangan orang Jawa Timur, kelompok satu ini dianggap selalu berlagak sok tahu semua hal. Mereka memiliki logat bahasa Jawa yang kental. Bahkan uniknya kadang lebih kental dari warga lokal sendiri.

Tionghoa Sumatra

Orang Tionghoa Jawa cenderung menganggap Tionghoa Sumatra sebagai orang yang agak kasar (mirip dengan opini yang dimiliki oleh orang Jawa Totok terhadap orang pribumi Sumatra), lebih suka berterus terang, agak mengesampingkan bersopan santun dan sangat percaya diri.

Tionghoa Jawa Timur

Kelompok ini dianggap oleh orang Tionghoa Jawa Tengah sebagai orang-orang yang lebih ramai, hingar bingar, kolot dan sangat percaya diri. Namun, mereka juga dikenal sangat mudah berkawan, gemar bertegur sapa, spontan, supel dalam pergaulan serta hangat dalam pertemanan. Seperti kelompok Tionghoa Jawa Tengah, mereka sangat piawai menyerap logat bahasa Jawa lokal. Sangat kental dan meyakinkan. Jika Anda tutup mata dan hanya mendengarkan suara mereka berbicara, Anda akan sangat yakin orang Jawa Totok yang berbicara. Namun, umumnya mereka sudah tidak bisa lagi berbicara bahasa Mandarin atau dialek apapun dari tanah seberang itu.

Tionghoa Medan

Mungkin inilah kelompok keturunan Tionghoa yang paling banyak membuat kontroversi di Indonesia. Kebanyakan orang keturunan Tionghoa di nusantara (bahkan yang tinggal di Sumatra) cenderung menganggap Tionghoa Medan sebagai orang-orang dengan kepribadian cenderung mengesampingkan tata krama, sangat percaya diri dalam bergaul, kurang berpendidikan, memiliki selera yang ‘berbeda’, rakus, manipulatif, suka pamer, otoriter. 

Di sisi lain,  banyak juga yang memandang mereka sebagai orang-orang yang hangat, suak berbagi, ekstrovert, supel, berani (bahkan meskipun risikonya tinggi sekali), dan pekerja keras. Karena keberanian mereka yang menonjol, sejumlah orang terkaya di Indonesia berasal dari kelompok Tionghoa Medan. Sebagian besar Tionghoa Medan kurang akur dengan orang Melayu lokal karena orang Melayu lokal dikenal rasis terhadap mereka. Karena itulah, kelompok Tionghoa Medan lebih dekat dengan orang Batak. Sebagian besar mereka yang berdarah Tionghoa di Jakarta berasal dari Medan (atau orang tua mereka berasal dari sana) dan mereka sebagian besar bermukim di Pluit dan Kelapa Gading. Mereka memiliki gaya bangunan rumah yang unik yakni bertingkat dua atau lebih dengan balkon lebar dan besar dengan pagar yang tinggi.

Dalam kelompok orang berdarah Tionghoa juga ada perbedaan pendapat. Seperti ketidaksetujuan sebagian orang keturunan Tiongkok yang berpikir bahwa kelompok Tionghoa Medan sudah menghancurkan reputasi orang keturunan Tionghoa secara umum di ibukota.

Mereka masih setia dalam memelihara budaya dan bahasa asli. Tak jarang mereka masih kerap menggunakan bahasa Mandarin atau dialek tertentu yang masih menandakan loyalitas pada akar budayanya meskipun mereka sudah beranak pinak di tanah Indonesia.

Tionghoa Riau

Mereka ini dikenal sangat percaya diri, suka membual, bergaya hidup sederhana meskipun sudah kaya raya, bersahabat dan suka menolong.

 Tionghoa Pontianak

Diketahui sebagai kelompok yang identik dengan “Tionghoa Eksotik” karena kebudayaan mereka yang berbeda dari budaya Tiongkok peranakan di Jawa dan Sumatra. Mereka biasanya sangat bangga dengan warisan budaya leluhurnya di Tiongkok. Mereka juga dikenal rupawan (baik laki-laki dan perempuannya). Stereotip yang dimiliki ialah berani, suka mengambil risiko, manipulatif, lucu, ramah, supel, suka pamer dan berbicara dalam dialek Tio Ciu (Pontianak ialah salah satu dari sekian banyak tempat di Indonesia yang warga keturunan Tionghoanya berbicara dialek ini).

Tionghoa Belitung

Mereka biasanya sangat menarik dalam penampilan fisiknya (baik pria dan wanitanya) dan agak berbeda dalam gaya. Populasi mereka tidak banyak.

Tionghoa Jakarta

Satu stereotip yang biasa diberikan pada orang keturunan Tionghoa di Jakarta ialah mereka pasti kaya raya. Padahal belum tentu juga.

Tionghoa Benteng

Mereka mirip duta besar bagi asimilasi warga keturunan Tionghoa dan budaya lokal karena sebagian besar orang Tionghoa Benteng sudah memiliki garis keturunan yang bercampur dengan warga setempat. Warga berdarah Tionghoa lainnya juga berpikir bahwa budaya Tionghoa Benteng sangat membumi dan lebih mirip orang lokal. Mereka dicap sebagai kelompok yang sangat tradisional (secara religi), rendah hati, hangat, supel, agak boros (meski tidak begitu kaya), suka berpesta, suka berkumpul (jika mengadakan pesta, mereka suka mengudang sebanyak mungkin tetangga), dan sayangnya mereka agak lemah dalam hal pendidikan untuk anak-anaknya.

Tionghoa Buddhis

Kelompok satu ini dikenal hemat dan sabar di atas rata-rata. Sejumlah orang Kristen menganggap orang keturunan Tionghoa Buddhis menghindari daging sapi, sebagaimana yang dilakukan orang Muslim yang berpantang apapun yang mengandung babi. Mereka juga memiliki stereotip bahwa pemeluk Buddha mengetahui seni beladiri kung fu. Seperti Muslim, orang Kristen memandang kelompok Buddhis ini sebagai agama paganisme yang dilarang Tuhan mereka.

Tionghoa Kristen

Saat mereka yang berdarah Tionghoa non-Kristen berbicara soal orang keturunan Tionghoa yang beragama Kristen, mereka akan spontan berpikir soal kekayaan dan fanatisme. Persepsi ini mungkin karena sebagian besar gereja di Jakarta dilengkapi dengan pendingin ruangan dan proyektor (karena vihara-vihara biasanya tidak memilikinya). Alasan lainnya ialah bahwa benda-benda teknologi khas Barat itu kerap diidentikkan dengan status dan kelas (sebagaimana persepsi orang pada mereka yang menamai anak-anaknya dengan nama-nama Barat sebagai sebuah simbol kesuksesan dan pendidikan tinggi). Kristen sering dipersepsikan sebagai ancaman, sebagian besar karena banyak generasi muda berdarah Tionghoa beralih keyakinan menjadi pemeluk Kristen. Mereka tidak begitu peduli dengan Islam karena tak banyak orang keturunan Tionghoa yang masuk Islam. Orang tua biasanya akan merasa malu jika anaknya beralih keyakinan ke Kristen karena mereka merasa kurang bisa mendidik anaknya dengan benar. 

Tionghoa Katholik

Tionghoa Katholik dikenal sebagai orang-orang yang lazimnya berpenampilan fisik rupawan, sebagian karena mereka dianggap membawa gen-gen orang Belanda (di Indonesia, hidung ala Kaukasia dianggap menarik).

Tionghoa Muslim

Kelompok warga berdarah keturunan yang memeluk Islam juga ada meskipun jumlahnya tak banyak. Banyak orang keturunan Tionghoa yang merasa bingung jika menemukan anggota keluarga atau teman mereka beralih keyakinan menjadi Muslim. Di Jakarta sendiri, kelompok ini bisa ditemui dengan mudah di Masjid Laotze, Sawah Besar. 

Tionghoa Atheis

Mereka adalah orang-orang yang dianggap sebagai antek komunis padahal belum tentu demikian. Orang keturunan  berdarah Tionghoa yang atheis cenderung menyukai kapitalisme atau sosialisme daripada komunisme. Cap lain ialah bahwa kaum atheis ini tidak memiliki kasih sayang atau empati pada sesamanya. Ini tak seluruhnya benar. Kaum atheis ini juga bisa menunjukkan kepedulian pada kemanusiaan dan kelestarian planet bumi.

Tionghoa Daratan

Warga Tionghoa Daratan adalah mereka yang lahir dan dibesarkan di China Daratan dan kemudian saat remaja atau dewasa pindah ke Indonesia. Budaya mereka sangat berbeda dari budaya Tionghoa Indonesia sehingga bahkan warga Tionghoa peranakan sendiri merasa asing dengan mereka.  Ada semacam kekaguman dalam diri orang Tionghoa peranakan kita pada mereka yang berasal dari Tiongkok Daratan tetapi Republik Rakyat Tiongkok saat ini memiliki reputasi yang relatif ‘miring’ karena dianggap suka menindas negara-negara tetangganya. Sebagian besar orang Tionghoa Daratan lebih menyukai hal-hal yang berbau Jepang atau Korsel daripada Tiongkok sendiri. Mereka yang sudah pernah ke Tiongkok sering mengkritik bagaimana warga Tionghoa Daratan bersikap manipulatif, kurang memelihara sopan santun dan kasar sementara di saat yang sama warga Tionghoa peranakan Indonesia cenderung menyukai hal-hal berbau Tiongkok sehingga muncul opini yang membingungkan di sini. Sebagian orang Tionghoa ada yang menganggap Mao Zedong sebagai pahlawan dan ada juga yang memvonisnya sebagai diktator jahat.

Tionghoa Taiwan

Warga Taiwan yang lahir di Indonesia cenderung berkumpul dengan sesamanya namun ada juga yang berkumpul dengan mereka yang selain anggota kelompoknya. Mereka biasanya bertubuh lebih tinggi dibandingkan sebagian orang Tionghoa keturunan di Indonesia. Mungkin karena orang-orang Tionghoa Taiwan ini sangat menggemari olahraga di luar ruangan. Mereka biasanya sangat hemat, bahkan lebih hemat daripada warga keturunan Tionghoa Jawa Tengah. Orang-orang Taiwan juga memiliki daya inovasi lebih tinggi dan suka menciptakan benda-benda pemenuhan kebutuhannya sendiri demi bisa berhemat.

Tionghoa Batam

Karena letak geografisnya, mereka menganggap diri mereka sebagai warga campuran antara Indonesia dan Singapura sebagian karena kemampuan mereka berbicara Mandarin, Hokkian, Kanton, dan Bahasa Inggris yang memadai. Mereka bisa berbahasa Indonesia tetapi hanya dengan sesama orang Indonesia totok. Mereka hidup dalam dunia imajiner yang di dalamnya Batam ialah pulau satelit dari Singapura. Transportasi umum mereka ialah kapal feri ke Singapura selama 45 menit. Mereka bangga dengan kedekatan ke Singapura, merasa tak masalah jika Batam tidak memiliki pusat perbelanjaan mewahnya sendiri karena di Singapura saja sudah ada. 

Tionghoa Bali

Warga keturunan Tionghoa di Bali memiliki capnya sendiri juga ternyata. Mereka dianggap sangat kaya, memiliki bisnis restoran dan spa mewah, bergaya hidup mirip ekspatriat dan piawai berbahasa Inggris. Anehnya, mereka mengidentikkan diri mereka dengan warga Singapura. 

Simpulan

Dari semua pengelompokan seperti ini, kita bisa memahami bahwa satu kelompok etnis juga bisa sangat beragam. Sekelompok manusia tidak bisa disederhanakan dan dicap sedemikian rupa karena berbuat seperti itu pasti memicu perilaku ketidakadilan dan prasangka yang belum tentu berbuah baik dalam pergaulan lintasetnis. 

Dan sekali lagi, keragaman ini bisa menjadi sebuah pisau bermata dua, yang bisa membuat bangsa kita lebih kuat (karena kelebihan satu kelompok bisa melengkapi kelemahan yang lain) atau lebih lemah (karena jika terus mencari perbedaan, manusia tidak akan ada habisnya memiliki perbedaan, bahkan dua saudara kembar identik sekalipun pasti memiliki perbedaan halus yang tidak kita sangka mereka miliki). (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun