Lebih lanjut Metta membeberkan kisah pelarian Vincent saat di negeri jiran Singapura. Ia mengembara dengan tinggal di hotel-hotel mungil di sana agar tidak mudah terlacak aparat Indonesia. Vincent juga bisa lolos ke Singapura karena paspor miliknya dibuat secara manual.
“Saat itu Vincent memiliki 3 pilihan:bunuh diri dari kamar hotelnya yang berada di ketinggian, atau menyerahkan diri ke aparat penegak hukum Singapura yang menurutnya lebih adil atau kembali ke Indonesia,” ujar Metta yang kemudian meminta bantuan ke Bambang Harimurti di KPK. Metta belum bisa berlega hati karena keselamatan Vincent masih terancam, apalagi KPK mengatakan pihaknya belum pasti bisa menanganinya. Metta pun meyakinkan Vincent untuk membuka diri dan bekerjasama dengan pemerintah Indonesia membongkar kasus pajaknya hingga semaksimal mungkin agar terhindar atau setidaknya tidak dihukum sangat berat.
Mendengar bujukan Metta tadi, Vincent pun memutuskan kembali ke tanah air dengan bantuan intelijen agar takterendus aparat kepolisian Indonesia. Namun, siapa sangka informasi itu bocor. Kepolisian menguntit Vincent dan KPK yang mengawalnya. Akhirnya KPK harus menyerahkan Vincent ke Kepolisian juga.
Tidak hanya dalam diri sang whistleblower konflik bisa terjadi, dalam diri Metta sebagai wartawan pun ikut bergolak konflik batin. Apakah ia harus membantu Vincent atau pasrah begitu saja karena toh tugasnya hanya sebagai wartawan yang tak bisa membantu dalam urusan hukum? Metta memutuskan pada akhirnya bahwa dirinya “membuka baju jurnalisme” yang ia sandang dan berdiri sebagai seorang manusia yang merasa kurang etis dan bermoral jika membiarkan orang yang dalam bahaya dimangsa begitu saja. “Seolah memberikan daging mentah ke seekor anjing yang lapar,” kata Metta memberikan analogi.
Metta mengemukakan betapa melelahkannya penelusuran bukti agar si tersangka tak bisa berkelit dari tuduhan. Dan masalahnya bukan karena bukti itu terlalu sedikit, tetapi karena bukti itu ada begitu banyak (bayangkan ribuan lembar dokumen berupa bukti transaksi di sebuah gudang misalnya) dan harus dirangkai sedemikian rupa agar menjadi sebuah kumpulan fakta yang tidak terbantahkan dan bisa diverifikasi ke pihak-pihak lain secara empiris dan meyakinkan. Waktu, tenaga dan pikiran jurnalis akan sangat dibutuhkan di sini.
Dari beberapa truk dokumen tersebut, Metta pun akhirnya menemukan bukti transaksi yang membuktikan adanya aliran dana dari hulu ke hilir yang terjadi tanggal 1 November 2004. Transaksi ini menyangkut biaya fiktif alias rekaan dan kemudian dibengkakkan (mark-up) agar bisa menekan jumlah pajak yang harus dibayarkan perusahaan.
Asian Agri telah menyiapkan semuanya dengan baik agar pembukuan mereka rapi. Di kantor pusat Asian Agri di Medan, Sumatra Utara, ditemukan satu lantai khusus yang diperuntukkan bagi kegiatan pembuatan faktur dan dokumen palsu sehingga jika diaudit oleh akuntan publik. Semuanya terkesan ‘clear’ karena memang sudah didesain untuk saling melengkapi.
Sebuah artikel peliputan investigatif bisa ‘diturunkan’ ke publik jika memang sudah didapatkan konfirmasi dari dua pihak yang terkait: si penuduh dan tertuduh. Dalam kasus Asian Agri, bukti dari Vincent itu tidak ditanggapi lebih lanjut oleh Asian Agri yang menurut Metta cuma mengatakan:”Kami tidak mau menanggapi pencuri seperti Vincent”.
Meski mengakui bahwa dalam hal kecepatan para jurnalis investigasi masih kalah cepat dibandingkan pewarta media online dan jejaring sosial semacam Facebook dan Twitter, Metta bangga bahwa karya jurnalisme investigatif biasanya lebih terverifikasi dengan baik sehingga lebih dapat dipercaya. Ia menyayangkan banyak orang yang begitu saja percaya dengan kabar yang beredar luas begitu saja di jejaring sosial padahal belum tentu terverifikasi sesuai dengan kaidah jurnalistik profesional. Biaya dan waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan karya-karya jurnalistik investigatif memang sangat besar. Namun, tetap saja jurnalisme investigasi harus tetap dilakukan untuk mempertahankan tradisi penggalian berita yang terancam musnah di era informasi instan seperti sekarang. Dengan optimisme tinggi, Metta mengatakan apa yang ia lakukan itu hanya upaya nyatanya untuk tidak merutuk kegelapan tetapi juga menyalakan lilin.
(Disarikan dari presentasi Metta Dharmasaputra dalam ‘Corporate Governance, Ethics and Journalism: The Benefits of Good Media Reporting” yang digelar IFC dan Antara, Hotel Kempinski Bali Room, tanggal 21 Mei 2013)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H