Mohon tunggu...
Adi Arwan Alimin
Adi Arwan Alimin Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku

Aktif mengampanyekan urgensi keterampilan menulis bagi anak-anak dan generasi muda. Penggagas Sekolah Menulis Sulawesi Barat. Kini bekerja sebagai editor dan menulis buku.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mereka Memanggilnya Daeng

7 Juli 2023   13:33 Diperbarui: 7 Juli 2023   13:37 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagang yang menjorok di atas sungai Saliki selalu menjadi tempat kami berbicara. Anakan sungai Mahakam yang dijajari pohon-pohon sejenis palm liar seperti panggung yang menampung rumah ayah. Kayu ulin yang menopang belasan tahun setiap hari digemburi lumpur sungai dan kerang.

Mungkin itu yang membuat rumah ini makin kukuh.Di sanalah setiap usai makan malam dua kursi plastik menemani kami bertukar kisah.Tapi sebenarnya aku lebih banyak mendengar daripada menumpahkan isi kepala di hadapannya.Aku takzim sebagaimana seorang murid bagi gurunya. Tak elok lebih banyak bercuap-cuap di depan orangtua.

Bila mulai mengantuk, ayah akan segera pamit ke ruang dalam. Udara yang bertiup dan desir lembab dari arus sungai tak baik bagi kesehatannya. Luas rumah panggung dari ulin ini cukup lapang. Hingga beberapa kapal motor dapat ditambat. Kapal-kapal itu biasanya lebih banyak milik orang-orang Mandar yang berlayar dari jauh. Mereka datang usai melintasi pelayaran di ujung pandang melampaui rindu paling kesumat. Selat Makassar yang kerap amuk itu seperti rumah bagi pelaut.Mereka sampai di sini sejak puluhan dekade, menyusuri lekuk purba jejaring sungai Mahakam.

Aku menandai setiap ikatan perahu itu dari jumlah slof rokok Bentoel yang diletakkan di depan teras. Itu bukan pajak tapi tanda terima kasih para pemilik kapal.Mereka tahu ayah kami.Ayah pun tak pernah meminta apa-apa.

"Mereka mengenal ayah jadi berani mengikat kapal di sana," tutur ayah suatu malam setelah aku meletakkan beberapa slof di atas meja kayu ruang tamu.

Mulanya aku terkejut ketika sesosok laki-laki yang melompat dari perahu ke bagang seperti berjalan menyongsongku.Mesin kapalnya masih terdengar.Namun tubuhnya yang janggung membuatku agak waspada.Dalam keremangan sungai Saliki figur seperti lelaki ini memberi kesan berbeda.Tapi baris senyumannya yang tumpah begitu makin dekat ke tempatku duduk membuat buyar setiap terawangan.

"Taweq Ndi, apakah bapak ada?" Katanya sopan. Jauh dari prasangka bahwa ia akan melontarkan kata-kata yang seperti cadas.

"Ya, ada di dalam..."

"Salam saja pada kandaeng..." Lelaki itu pun pamit bersama kegelapan malam yang menampung di punggungnya.Hanya seruas kata atau kalimat demikian. Setelah itu bunyi kapal motor mereka pun akan menyatu dengan keheningan malam sungai ini. Mengalir. Diam.

Rokok.Daeng.Dua kata ini seperti hal baru bagiku.Istilah yang seperti pagar berdaun jarak memisah kebiasaan di keluarga.Sejak kapan ayah disahuti seperti itu.Tapi aku memang belum lama di sini.Telingaku masih berusaha bercengkrama dengan semua hal.Tidak hanya dinding rumah yang coklat-kehitaman karena semua dari ulin, juga ruap udara sebab rumah ayah ini berada di atas sungai.

Karena orang-orang itu mengenal ayah, tumpukan bungkus rokok yang diburai dari slof seperti puzzle yang tak habis di ruang tamu.Kotak tembakau berwarna biru itu hilir-mudik hampir setiap malam.Disetor dengan kesopanan mengikuti jadwal kedatangan perahu-perahu itu.Namun tembakau berfilter ini pun selalu berkurang di tempatnya.Rupanya rokok hadiah dari pelaut itu tak pernah dihabiskan ayah.Siapa saja yang datang ternyata boleh mengambil seperlunya. Jadi pemberian berangkai pada orang lain yang girang melihat gratisan. Ayah seperti biasa. Ia terlalu baik.

"Itu seperti hadiah.Cara mereka menghormati pemilik rumah..." ayah terkekeh sendiri ketika aku bertanya sejak kapan kebiasaan orang-orang kapal itu.Tawanya seperti itu.Agak khas dengan jejer giginya yang rata.Raut gagahnya tetap meninggalkan kesan mendalam.

"Itu kebiasaan dari kampung yang mereka bawa.Seharusnya kita juga membalasnya dengan hadiah, tapi begitu, diajak ngobrol pun tak pernah lama.Jadi biasa saja.Mereka senang dapat berlabuh di sini."Kata ayah sambil membaca majalah terbitan bulan lalu.

***

"Mengapa mereka memanggil ayah Daeng?"Pertanyaan itu seperti batu apung.Terombang-ambing sesaat.

Beberapa lama ayah terlihat lebih fokus pada jembatan kayu yang dirajut darurat.Seperti tak mendengar pertanyaanku.Pagi itu kami melewati area perkampungan yang menjorok di tepi sungai Saliki.Di beberapa titik ruas permukiman ini hanya ditaut semeteran jalan yang hanya cukup bagi dua pejalan bersisian.

"Ayah tak pernah meminta dipanggil demikian, orang-orang itu sendiri." Rupanya ayah mendengar hanya saja ia terus memperhatikan setapak papan atau balok yang di sana-sini berlubang. Salah injak sedikit saja, minimal alas kaki yang bakal cemplung ke air berawa-rawa yang menggenangi seputaran kampung ini.

"Tapi kan..." Aku menggugatnya dari balik bahu ayah. Kami tak berjalan bersisian, selain jalur sempit, itu juga cara menghormati beliau.

"Yang nggak boleh itu, jika ayah yang meminta dipanggil Daeng. Meski itu  pantas saja." Beberapa orang yang kami lewati atau melewati terlihat membungkukkan badan.Atau terlihat melambai dari pintu rumah mereka.

"Dengan siapa Daeng..." seorang warga malah menambah daftar pertanyaanku. Pria dewasa yang sedang rehat di terasnya bergegas menyalami ayah.

"Ini dengan adikmu, baru datang dia..."

"Mampirki dulu Daeng..."

"Nanti ya, aku ajakin keliling dulu.Agar tahu keadaan di sini," jawab ayah sambil berhenti.Lalu mengajak aku mengikutinya lagi.

"Ayah, itu siapa?"

"Orang Selatan juga..."

"Selatan?"

"Hmmm..."

"Sulawesi Selatan."Singkat ayah kemudian.

"Di Tanah Borneo ini, Mandar, Bugis, Makassar itu semuanya disebut orang dari Selatan.Tapi sering dianggap Bugis semua."

"Oya, mengapa begitu?"

"Ayah kurang paham juga, begitulah. Tapi kalau ingin lebih tahu baca referensi mengenai diaspora orang-orang Sulawesi Selatan di Nusantara," jawabnya saat berhenti di sisi dermaga.

Dari sini kami dapat melihat rumah ulin ayah.Jaraknya mungkin sekitar seratusan meter.Sebenarnya itu basecamp yang dibeli ayah setelah tak lagi digunakan pemilik pertamanya. Modelnya seperti sepetak kantor di atas air yang dikelilingi tambatan kapal. Tak heran bila kapal-kapal kayu dari Mandar gemar sandar di sana.

"Kalau tentang Daeng itu?"

Aku tahu ayah kutu buku sejauh ini.Selain setumpuk majalah di ruang tamu rumahnya, beberapa judul buku tebal juga dikoleksi.Ia sepertinya tidak tinggal jauh dari Samarinda yang harus ditempuh beberapa dengan kapal motor klotok. Meski di pedalaman Kutai seperti ini ayah terus mengikuti perkembangan informasi.Ia pembaca surat kabar serius. Dapat membahas halaman demi halaman majalah terbitan Jakarta sambil ditemani kopi bubuk.

"Ayah sebenarnya menolak disapa begitu. Mereka tetap saja memanggil Daeng. Ayah tak membayar mereka kan..." ayah malah bercanda. Kami jadi tertawa. Selorong sirene tanda jam kerja bagi karyawan perusahaan di beberapa titik terdengar seperti salvo. Kapal besi yang hendak mengangkat sauh pagi itu pun membunyikan klakson saat ditarik pemandu.

"Di Mandar, Daeng itu sapaan bagi bangsawan raja atau keturunan mereka. Tapi rakyat bisa saja tak lagi menyapa mereka dengan sebutan Daeng bila mereka melanggar adat dan kebiasaan.Mungkin itu bentuk sanksi sosial bagi mereka yang pantas 'dipedaeng', tapi berperilaku tidak seperti layaknya daeng."

"Lalu ayah..."

"Nah itu.Yuk, kita balik ke rumah.Tuh Mamamu menunggu," telunjuk ayah dilencang ke arah rumah ulin itu.

Ada beberapa rumah warga yang menjorok ke sungai, juga jemuran yang menghalangi sebagian pemandangan, tapi dari tepi dermaga kecil yang sekaligus halaman rumah ayah, mama yang berkulit hitam manis itu dapat menemukan kami. Meski berdiri jauh ia terlihat girang menemukan kami. Mungkin ia telah menyuruh orang-orang mencari kami yang sejak bakda subuh keliling kampung.

Aku melihat seorang perempuan tinggi semampai dengan hidung mancung melambai-lambaikan tangan.Tutup kepalanya seperti hendak diterbangkan angin.Pagi mulai hangat.

Mama yang berdarah Bugis itu memanggil sarapan.Aku langsung membayangkan ikan bakar, sayur labu bersantan, dan sambal yang diulek di atas batu.

***

Seperti sore yang lalu.Hilir-mudik perahu bermotor terlihat sibuk di daerah aliran sungai Saliki. Ada yang baru kembali dari pekerjaan di tepi hulu atau tengah pergi ke tempat lain. Lalu-lalang yang dipandang dari dermaga milik ayah ini seperti kotak besar televisi, gambarnya beriak dan memiliki volume dari mesin-mesin tempel itu.

Sebuah kapal motor melaju beberapa tombak dari tepi dermaga. Dari jauh terlihat lambaian tangan berusaha lebih tampak sebab suara mesin kapal yang pekak.

"Tabeee Daeng..." seru seorang pria yang berdiri di luar atap klotok.Ia berseru hingga suaranya yang terasa parau didengar ayah yang sedang melempar kail ke sungai. Ayah membalas sambil melambai tangan. Pria di perahu itu kemudian membalas dengan dua tangannya di udara.

Jelang senja begini orang-orang lepas kerja biasanya berjejal membuang mata pancing di sekitar dermaga.Memancing seperti pekerjaan kedua bagi warga.Pemandangan ini membuat aku lebih cepat mengenal banyak penduduk sekitar Saliki, apalagi mereka tahu aku anak laki-laki ayah yang baru datang dari kampung.Sulawesi.Pemilik dermaga.

Tak lama kemudian, deru sepeda motor terdengar dari arah daratan. Seorang laki-laki turun dari ojek ketika hampir menyentuh ujung tiang rumah yang dipatok di tepi sungai.Aku melihat ayah segera merapikan pancingnya.Kail itu dikaitkan pada sisi tiang setengah meter.Ia menyambut tamu itu penuh hormat. Aku baru melihatnya sejak berada di sini.Langkah cukup gagah hingga terdengar reot kayu yang dilindas sepatu bootnya.

"Masuki Daeng..." ayah merentang tangan lalu menjabatnya erat.

"Masih suka memancing?"Nadanya agak tinggi hingga dapat kudengar.

"Iye Daeng, hobilah. Syukur-syukur bila dapat ikan sekiloan hehehe," kelakar ayah sambil membuka pintu rumah. Aku juga mundur ke teras sambil memperhatikan orang-orang dari sana. 

"Darimana saja Daeng, kok barusan mampir lagi ke sini." Ayah seperti sangat ramah pada tamu jelang senja ini.

"Iyalah... aku baru pulang dari Balikpapan ini, jenguk anakku yang kerja di sana. Ada manajer perusahaan Amerika yang ingin melamarnya, jadi aku mesti ke sana. Anak-anak sekarang tak mau dijodohkan begitu saja, meski calon suaminya itu sudah jelas pekerjaannya," laki-laki yang dipanggil Daeng itu cepat sekali membangun ruang bicaranya.Sementara ayah seolah murid sedang mendengar gurunya yang pandai bercerita.

"Jadi, ia setuju Daeng?"

"Ya tentulah. Aku ingin agar ia mengikuti jejak kakak sulungnya. Yang bersuami orang Medan itu, mereka kan sudah di Jakarta menetap. Zaman begini kalau sudah ada yang suka pada anak-anak, segera kawinkan saja, apalagi kalau calon mantu berkantong tebal."Lalu terdengar tawa dari ruang tamu yang lebih banyak dihimpun Daeng itu.Salah satu giginya yang dibalut emas tampak berkilau.Topi lakennya juga tak dilepas sejak datang.

"Kalau resepsi pernikahannya nanti digelar, tentu akan datang semua keluarga besar dari Sulawesi.Bisa ramai Balikpapan kalau keluarga yang bikin acara begini."

"Maharnya naik berapa Daeng?"

"Hmm... seratusan lebih yang kami minta.Kalau mengundang seribu tamu, pasti butuh gedung atau ballroom yang luas.Butuh biaya tak sedikitlah itu.Ya, kita sudah cari-cari tempat memadailah.Yang kira-kira tak bikin malu kita.Apalagi mau mengundang pak Walikota segala."

"Ee... datangki Daeng," ujar mama yang tiba-tiba bergabung.

"Ada sedikit urusanlah... hehe," balasnya.Dalam gerakan amat lambat wajah ayah dan mama seolah bertaut sepersekian detik.Petang itu si Daeng memakai jaket bermerek "BOSS", bersepatu kulit yang tetap dipakainya hingga ke ruang tamu. Alas kaki itu kabarnya kiriman menantu yang tinggal di ibukota. Ia terlihat hanya menggesek dua-tiga kali di keset sebelum memasuki rumah.

"Saya bikin kopi dulu di belakang Daeng." Mama kemudian berjalan ke arah dapur. Aku yang duduk di bangku teras dapat menguping obrolan yang kemudian rasanya seperti kelokan sungai di depan rumah. Berliku-liku.Namun percakapan itu mengalir amat hangat bagai permukaan sungai jelang siang.Orang ini seperti memiliki tempat khusus di mata ayah.

"Aku mau dibantu dulu..." ujarnya kemudian setelah silang obrolan itu menemukan titik temu.Kalimatnya sedikit merendah meski disampaikan dalam posisi duduk bersandar di kursi.

"Dibantu apa Daeng..."

"Begini.Besok pagi aku mau ke Samarinda, tapi ini lagi tanggal tua.Kalau kamu ada sedikit, bantulah.Bila kiriman dari Jakarta sudah ada, aku segera lunasi.Maklumlah anak sulungku itu sering lupa kalau sedang sibuk-sibuknya, jadi transferannya sering lambat.Yang di Balikpapan juga begitu.Orangtua seperti kita ini sepertinya harus lebih sabar."

"Berapa Daeng? Soalnya lagi tanggal tua juga.Tapi kalau tak banyak, mungkin ada di mamanya."

"Barang dua, atau dua setengah jutalah."Katanya sambil menjentik-jentik meja dengan jemari, bunyinya bak gendang walau amat tipis.

"Sebentar Daeng," ayah terlihat berjalan menyusul mama yang masih di ruang belakang.

***

"Dia itu siapa, ayah memanggilnya Daeng."Tanyaku, begitu ojek yang mengantar lelaki itu ditelan keramaian kampung.

"Puang Daeng!"

Seperti biasa ayah hanya tersenyum.Aku tak bertanya lagi. (*)

GA676 Jogyakarta, 24 November 2019

Ket: Daeng sapaan bagi bangsawan Raja di Mandar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun