Mohon tunggu...
Adi Arwan Alimin
Adi Arwan Alimin Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku

Aktif mengampanyekan urgensi keterampilan menulis bagi anak-anak dan generasi muda. Penggagas Sekolah Menulis Sulawesi Barat. Kini bekerja sebagai editor dan menulis buku.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepenggal Kisah dari Laut

30 Agustus 2014   17:07 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:05 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hoiiiii, hooiiii, hoiiiiiii....
Orang-orang segera berlari menuju laut. Begitu perahu bermotor itu tiba di ujung pasir yang dibelit buih dari laut yang jauh. Anak-anak kecil tak ketinggalan menjemput jatah untuk sekedar mendorong perahu hingga sandar. Mereka menarik tali sekuatnya meski ada orang dewasa yang membentang ototnya lebih perkasa dengan pekik yang tertahan di geraham.

Ada juga teriakan yang terdengar sebagai komando setiap kali perahu gemuk itu digeser perlahan-lahan. Kebiasaan itu menjadi pemandangan yang telah mengental seumur warga di kampung nelayan itu. Teriakan-teriakan itu sambutan kedatangan, atau keriangan yang dikirim dari reseki laut.

Pagi itu tetap gembira. Seperti pagi yang telah berlangsung bertahun-tahun, orang-orang tetap melakoni potret itu apa adanya. Pemandangan itu segera berakhir begitu setiap tangan yang turut membantu mendapat satu atau dua ekor ikan segar yang ditenteng pulang ke rumah. Tak heran setiap titik perahu dari kampung yang telah tampak di tengah laut, membuat orang-orang berkumpul, dan boleh memilih perahu mana yang hendak dijemputnya.

Bila musim sedang baik, pemilik perahu akan memberi lebih banyak ikan. Anak-anak pasti amat riang. Dapur pasti akan tetap menyuguhkan bau peapi yang lezatnya menyihir, dan selalu menjadi obat rindu siapa pun untuk pulang ke rumah.

Seorang lelaki dengan dada bidang sejak perahu itu merapat terlihat tak berhenti mengamati setiap orang yang datang ke pantai. Matanya seperti mencari tahu sesuatu yang jarang dilihatnya dalam keramaian. Aroma laut sepagi itu menghembuskan pias udara bergaram. Cahaya matahari menyisakan pantulan tapi tak menyilau mata.

"Apa kabarnya Fatimah?"

Tanyanya kemudian pada seorang gadis belia yang ikut berdiri meski tak ikut meramaikan keriuhan di sisi perahu. Bila para punggawa perahu sedang meraup untung dari hasil menjaring ikan, setiap orang yang melihat atau menyambut kedatangan nelayan juga akan mendapat ikan meski tak lebih banyak. Seperti gadis yang ditanya lelaki itu. Meski tak ikut mendorong perahu ia pun terlihat menenteng dua ekor ikan Cakalang.

Gadis itu menggeleng. "Dia di rumahnya Kak. Sejak tadi tidak ada bersama kami," jawabnya sambil bergegas meninggalkan awak perahu motor itu.

Pagi telah sedikit meninggi. Suasana seperti melipat halaman sebelumnya. Lelaki itu masih berdiri di sana. Setelah urusan di perahu itu berpindah tangan pada rekannya yang bertugas di darat, ia segera pergi. Menyisir kampung nelayan itu, lalu hilang saat berbelok di sebuah rumah panggung berdinding pelepa bambu.

Di tempat lain. Puluhan tombak dari keramaian pagi itu, sesosok wajah menyembul dari jendela yang sejak semalam sepertinya tidak tertutup. Ketika kokok ayam pertama subuh tadi menyelingi speaker yang melantungkan adzan ke segala penjuru angin, engsel bingkai yang selama ini menjadi pintu udara, dan segenap nyanyian rindu pemiliknya hanya disingkap gorden biru pupus.

Kain sebagai hijab dari laut itu berangin pelan. Berkelebat di jendela sewaktu-waktu sesuai angin barat. Wajahnya yang putih rembulan kontras dengan warna bingkai kayu kecoklatan itu. Tangannya memegang balok kecil yang menjadi penyangga. Ia terlihat menghirup udara laut sampai jauh.

Dari jendela rumah panggung yang dibangun dari rangkai kayu besi Kalimantan seluruh garis pantai terlihat penuh, juga horison yang membentang dimana setiap nelayan dan perahu datang-pergi akan tampak bagai titik lalu seperti ditelan teluk. Atau, garis memanjang itu menjadi penanda siapa yang bakal segera merapat pulang. Orang-orang sungguh tahu meski hanya bermula noktah di sepemamdangan mata, perahu siapa yang sedang membelah ombak.

Di jendela itulah, Fatimah setiap kali bisa memandang seluruh apa yang terjadi di luar rumahnya. Ia menyukai tanah kelahirannya itu, sebagaimana ia menjadi kecintaan hampir seluruh warga. Gadis itu sedang beranjak gadis pujaan, dan buah cerita serta rasa cemburu gadis-gadis sekampung yang berharap dilahirkan seperti dirinya.

Dari jauh ia melihat seorang gadis sebaya berjalan dalam gegas. Fatimah tahu langkah itu sedang menuju ke rumahnya.

"Tadi dia menanyakanmu, aku bilang tidak tahu..." kalimat itu mengalir dalam tekanan rendah.
Yang ditanya merapat ke sudut kesayangannya, jendela yang berbingkai kayu nomor satu hasil ulir kerajinan seorang tukang kayu dari Balanipa. Rona wajahnya memendar sedikit merah seperti jelang matahari terbenam.

"Dia hanya mengatakan itu?"
"Aku melihat perahunya datang. Tapi tak bisa melihat orang-orangnya secara jelas dari sini."

Dua perempuan muda itu cukup lama berbicara dalam kamar yang tertutup rapat. Tak satu pun kata atau kalimat tentang lelaki itu, yang boleh terdengar melewati kisi-kisi udara termasuk setiap lubang sekecil apapun di rumah Fatimah. Hanya kesibukan-kesibukan kecil yang terdengar juga tawa cekikan lalu suasana senyap. Angin terasa cukup mewakili bahwa kesiur yang dikirimnya mengabarkan kegalauan dari kamar cukup besar itu.

"Aku ini bukan kakekmu Nak. Yang boleh memenjaramu hingga harus dikungkung di rumah sendiri. Kamu boleh melakukan apa pun, kamu juga boleh bergaul dengan siapa saja di kampung ini. Apakah Bapak pernah melarangmu?"

Suara bariton itu menggema di ruang tamu beberapa waktu lalu. Percakapan yang meletakkan satu garis penting di rumah terpandang itu. Tentang garis darah, tentang nasab, tentang kehormatan keluarga. Ibunya yang turut hadir dan duduk di kursi, dimana Fatimah membenamkan wajah di pangkuan ibunya, terlihat diam. Memilih irit bicara, dan hanya mengelus rambut legam dan panjang Fatimah.

Sikap Ayahnya yang begitu dicintainya, membuat hatinya menjadi rapuh. Ia memang bagai puteri yang tinggal di rumah berpenjaga sejumlah anak buah ayahnya. Mereka bukan tukang pukul tapi pekerja yang setia dan bekerja di rumahnya. Tak heran, Fatimah sedikit pun tak bisa bersembunyi atau pergi diam-diam tanpa tatapan sejumlah pria yang mengawasinya kemana pun.

"Berikan surat ini, katakan pula saya ingin menemuinya..." Fatimah terlihat mengangsur sepucuk surat ke tangan sahabatnya ketika rembang petang mulai turun. Itulah satu-satunya cara bertemu, berbicara dalam untaian kata yang mengalahkan debur ombak.

Ia lebih banyak menulis apa yang berkecamuk, dan ingin ditumpahkan pada Bahrun pujaannya. Anak muda tangkas, dan mulai bekerja membantu ayahnya di laut itu juga menaruh harapan serupa. Tapi orang yang mencari dan menyambung hidup di atas perahu milik ayah Fatimah ibarat misteri laut dalam yang setiap waktu menyerap rasa kalutnya.

***

"Bicaralah Fatimah. Tak baik terlalu lama di tempat ini," ujar Bahrun dalam pertemuan langka di dermaga, dimana sejumlah kapal kayu milik meluarga Fatimah sandar. Ia mengatakan itu sambil mengerjakan sesuatu, dan tak ingin berdiri menjajari Fatimah.

"Saya tidak akan berbicara bila kau tetap duduk seperti itu," kalimatnya seperti bentakan yang memaksa Bahrun memberanikan setiap sendi kakinya tegak.

Tapi mata elangnya sangat awas dan terlihat gusar pada sekeliling. Ia hampir tak berani bersitatap dengan perempuan bemata jeli itu. Demikianlah adab yang membelit, dimana hamba tak boleh berdiri sejajar tuan, apalagi mencoba berenang di matanya. Namun bagi Fatimah Bahrun bukan anak buahnya, ia hanya bekerja pada ayahnya.

Bahrun, anak sulung Bohari punggawa lopi. Sebelum Bahrun lahir, lelaki itu telah menjadi anak buah punggawa kaiyyang atau juragan besar Haji Jafar. Warna inilah yang melukiskan masalah bagi dua anak muda itu. Kelas yang senyata berbeda dalam takar apapun. Kecuali tentang sisi lain, hati.

"Kenapa seperti menghindar dari saya. Kakak takut? Atau, tidak menyukai Fatimah?" Gugat perempuan itu. Lelaki yang ditanya masih belum banyak berbicara sejak Fatimah mendatanginya.

"Saya tidak takut dinda, saya hanya tahu diri. Semakin menyukaimu, bagi saya seperti gelombang yang terus memburu, dimana saya tidak tahu harus mencari arah," Bahrun singkat. Ia tahu beberapa orang mulai melihat semuka mereka dengan pandangan yang berbeda.

"Kenapa tak pernah menulis surat buatku?"

"Fatimah cukup tahu, setiap saat saya menanyakanmu, itu telah melebihi apapun..." Bahrun menurunkan pandangannya.

"Adakah kekasih yang terus menolak tatapan orang yang mencintainya?" Kalimat itu makin membuat Bahrun menundukkan wajahnya. Kedua tangannya mengepal. Bergetar.

Tak lama Fatimah pun berlalu dalam wajah tertunduk. Meninggalkan karang laut yang berdiri kokoh itu. Ia menyusuri jalan yang mengompas ke rumahnya. Sementara Bahrun masih berdiri di bawah bayang terik matahari yang melegamkan sebagian lengannya. Matanya nanar dalam kesedihan, hingga gadis itu digamit sahabatnya dan beberapa lelaki seumurnya yang sejak tadi mengawasi Fatimah mengantarnya pulang.

Dan. Kehidupan tetap berlangsung sebagaimana adanya. Setiap pagi pada setiap kali nelayan datang menyuguh hasil laut, pantai berpasir lembut itu tak bosan mengulang ritual yang sama. Orang-orang masih mendapat jatah pagi beberapa ekor ikan.

Beberapa hari setelah itu, Bahrun terlihat di pelabuhan Rangas, Majene. Kakinya menjejak buritan kapal berbadan bongsor yang akan bertolak ke barat. Para sawi terlihat sibuk menyiapkan keberangkatan. Nahkoda di ruang kemudi sedang membuka putika laut.

Dari jauh Bahrun melihat tumbaq layar rumah panggung yang berundak-undak itu, rumah besar yang menyimpan pujaannya. Rumah itu selalu menjadi tujuan kepulangan orang-orang yang pulang dari laut.

"Jangan kembali sampai kau bisa melamar Fatimah!" Sebuah tepukan kuat ditanam di bahunya. Bohari memeluk erat anak lelakinya dalam keharuan yang tertahan. Tak ada air mata yang tumpah, juga di kelopak Bahrun. Tak ada lenso yang dikibarkan. Lelaki Mandar tak boleh menangis. (*)

Jakarta, 26 Agustus 2014

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun