Mohon tunggu...
Adi Arwan Alimin
Adi Arwan Alimin Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku

Aktif mengampanyekan urgensi keterampilan menulis bagi anak-anak dan generasi muda. Penggagas Sekolah Menulis Sulawesi Barat. Kini bekerja sebagai editor dan menulis buku.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepenggal Kisah dari Laut

30 Agustus 2014   17:07 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:05 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

***

"Bicaralah Fatimah. Tak baik terlalu lama di tempat ini," ujar Bahrun dalam pertemuan langka di dermaga, dimana sejumlah kapal kayu milik meluarga Fatimah sandar. Ia mengatakan itu sambil mengerjakan sesuatu, dan tak ingin berdiri menjajari Fatimah.

"Saya tidak akan berbicara bila kau tetap duduk seperti itu," kalimatnya seperti bentakan yang memaksa Bahrun memberanikan setiap sendi kakinya tegak.

Tapi mata elangnya sangat awas dan terlihat gusar pada sekeliling. Ia hampir tak berani bersitatap dengan perempuan bemata jeli itu. Demikianlah adab yang membelit, dimana hamba tak boleh berdiri sejajar tuan, apalagi mencoba berenang di matanya. Namun bagi Fatimah Bahrun bukan anak buahnya, ia hanya bekerja pada ayahnya.

Bahrun, anak sulung Bohari punggawa lopi. Sebelum Bahrun lahir, lelaki itu telah menjadi anak buah punggawa kaiyyang atau juragan besar Haji Jafar. Warna inilah yang melukiskan masalah bagi dua anak muda itu. Kelas yang senyata berbeda dalam takar apapun. Kecuali tentang sisi lain, hati.

"Kenapa seperti menghindar dari saya. Kakak takut? Atau, tidak menyukai Fatimah?" Gugat perempuan itu. Lelaki yang ditanya masih belum banyak berbicara sejak Fatimah mendatanginya.

"Saya tidak takut dinda, saya hanya tahu diri. Semakin menyukaimu, bagi saya seperti gelombang yang terus memburu, dimana saya tidak tahu harus mencari arah," Bahrun singkat. Ia tahu beberapa orang mulai melihat semuka mereka dengan pandangan yang berbeda.

"Kenapa tak pernah menulis surat buatku?"

"Fatimah cukup tahu, setiap saat saya menanyakanmu, itu telah melebihi apapun..." Bahrun menurunkan pandangannya.

"Adakah kekasih yang terus menolak tatapan orang yang mencintainya?" Kalimat itu makin membuat Bahrun menundukkan wajahnya. Kedua tangannya mengepal. Bergetar.

Tak lama Fatimah pun berlalu dalam wajah tertunduk. Meninggalkan karang laut yang berdiri kokoh itu. Ia menyusuri jalan yang mengompas ke rumahnya. Sementara Bahrun masih berdiri di bawah bayang terik matahari yang melegamkan sebagian lengannya. Matanya nanar dalam kesedihan, hingga gadis itu digamit sahabatnya dan beberapa lelaki seumurnya yang sejak tadi mengawasi Fatimah mengantarnya pulang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun