Mohon tunggu...
Adi Arwan Alimin
Adi Arwan Alimin Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku

Aktif mengampanyekan urgensi keterampilan menulis bagi anak-anak dan generasi muda. Penggagas Sekolah Menulis Sulawesi Barat. Kini bekerja sebagai editor dan menulis buku.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepenggal Kisah dari Laut

30 Agustus 2014   17:07 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:05 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dari jendela rumah panggung yang dibangun dari rangkai kayu besi Kalimantan seluruh garis pantai terlihat penuh, juga horison yang membentang dimana setiap nelayan dan perahu datang-pergi akan tampak bagai titik lalu seperti ditelan teluk. Atau, garis memanjang itu menjadi penanda siapa yang bakal segera merapat pulang. Orang-orang sungguh tahu meski hanya bermula noktah di sepemamdangan mata, perahu siapa yang sedang membelah ombak.

Di jendela itulah, Fatimah setiap kali bisa memandang seluruh apa yang terjadi di luar rumahnya. Ia menyukai tanah kelahirannya itu, sebagaimana ia menjadi kecintaan hampir seluruh warga. Gadis itu sedang beranjak gadis pujaan, dan buah cerita serta rasa cemburu gadis-gadis sekampung yang berharap dilahirkan seperti dirinya.

Dari jauh ia melihat seorang gadis sebaya berjalan dalam gegas. Fatimah tahu langkah itu sedang menuju ke rumahnya.

"Tadi dia menanyakanmu, aku bilang tidak tahu..." kalimat itu mengalir dalam tekanan rendah.
Yang ditanya merapat ke sudut kesayangannya, jendela yang berbingkai kayu nomor satu hasil ulir kerajinan seorang tukang kayu dari Balanipa. Rona wajahnya memendar sedikit merah seperti jelang matahari terbenam.

"Dia hanya mengatakan itu?"
"Aku melihat perahunya datang. Tapi tak bisa melihat orang-orangnya secara jelas dari sini."

Dua perempuan muda itu cukup lama berbicara dalam kamar yang tertutup rapat. Tak satu pun kata atau kalimat tentang lelaki itu, yang boleh terdengar melewati kisi-kisi udara termasuk setiap lubang sekecil apapun di rumah Fatimah. Hanya kesibukan-kesibukan kecil yang terdengar juga tawa cekikan lalu suasana senyap. Angin terasa cukup mewakili bahwa kesiur yang dikirimnya mengabarkan kegalauan dari kamar cukup besar itu.

"Aku ini bukan kakekmu Nak. Yang boleh memenjaramu hingga harus dikungkung di rumah sendiri. Kamu boleh melakukan apa pun, kamu juga boleh bergaul dengan siapa saja di kampung ini. Apakah Bapak pernah melarangmu?"

Suara bariton itu menggema di ruang tamu beberapa waktu lalu. Percakapan yang meletakkan satu garis penting di rumah terpandang itu. Tentang garis darah, tentang nasab, tentang kehormatan keluarga. Ibunya yang turut hadir dan duduk di kursi, dimana Fatimah membenamkan wajah di pangkuan ibunya, terlihat diam. Memilih irit bicara, dan hanya mengelus rambut legam dan panjang Fatimah.

Sikap Ayahnya yang begitu dicintainya, membuat hatinya menjadi rapuh. Ia memang bagai puteri yang tinggal di rumah berpenjaga sejumlah anak buah ayahnya. Mereka bukan tukang pukul tapi pekerja yang setia dan bekerja di rumahnya. Tak heran, Fatimah sedikit pun tak bisa bersembunyi atau pergi diam-diam tanpa tatapan sejumlah pria yang mengawasinya kemana pun.

"Berikan surat ini, katakan pula saya ingin menemuinya..." Fatimah terlihat mengangsur sepucuk surat ke tangan sahabatnya ketika rembang petang mulai turun. Itulah satu-satunya cara bertemu, berbicara dalam untaian kata yang mengalahkan debur ombak.

Ia lebih banyak menulis apa yang berkecamuk, dan ingin ditumpahkan pada Bahrun pujaannya. Anak muda tangkas, dan mulai bekerja membantu ayahnya di laut itu juga menaruh harapan serupa. Tapi orang yang mencari dan menyambung hidup di atas perahu milik ayah Fatimah ibarat misteri laut dalam yang setiap waktu menyerap rasa kalutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun